Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Ardhito Pramono Kembali Berkarya, Luapkan Kecemasan di Lagu Wijayakusuma

Ardhito Pramono mempertanyakan makna hidup di lagu Wijayakusuma yang bernuansa pop Indonesiana dua babak seputar eksistensial diri.

8 Juli 2022 | 10.45 WIB

Ardhito Pramono. Dok. Aksara Records
Perbesar
Ardhito Pramono. Dok. Aksara Records

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Penyanyi, Ardhito Pramono kembali ke industri musik dengan merilis lagu terbaru berjudul Wijayakusuma setelah menyelesaikan masa rehabilitasi. Lagu tersebut diproduseri oleh Gusti Irwan Wibowo dan ditulis bersama Narpati ‘Oomleo’ Awangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Ardhito mulai menciptakan Wijayakusuma sejak awal 2021, ketika ia menjadi saksi penggusuran kawasan asri di Canggu, Bali, demi vila yang akan dibangun oleh warga negara asing. Awalnya, ia ingin mengritik peristiwa tersebut lewat sebuah lagu, sebelum Oomleo membalas kritik Ardhito sebab karya-karyanya yang minim sentuhan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ardhito pun menggeser perspektif idenya dan melahirkan Wijayakusuma, tembang pop Indonesiana dua babak bercerita seputar eksistensial diri. Di babak pertama, Ardhito mempertanyakan makna hidup dengan iringan khidmat piano, orkestrasi yang lirih, juga adakalanya sahut paduan suara.

Laju senja, pasrah gelap tiba. Tertunduk, termenung, terkulai, terlunta. Cemas akan guna,” begitu penggalan liriknya yang ia tuliskan dengan padanan aksara autentik, dinyanyikan melalui lekuk pop Indonesia kala 50 tahun silam.

“Banyak kecemasan gue akan ... ‘guna gue apa, ya? Gue musisi, main film, penyiar juga. Terus apa?’ Malah jadi mempertanyakan fungsi diri gue. Gue cerita banyak ke Oomleo, untuk itu akhirnya gue sertakan dalam lirik,” kata Ardhito tentang bagian awal Wijayakusuma, dalam keterangannya pada Kamis, 7 Juli 2022.

Liriknya kemudian berkembang seiring lagunya melaju mencapai babak kedua, ketika ia mengaitkan makna hidup dengan alam semesta yang digambarkan oleh kekayaan alam maupun budaya Indonesia. Aransemennya tumbuh selaras dengan semakin megahnya bagian orkestrasi maupun paduan suara, serta diramaikan oleh komposisi gamelan dan nyanyian sinden dari Peni Candra Rini, pelaku macapat asli Solo.

Ardhito Pramono. Foto: IG @ardhitopramono.

Jika digambarkan, Wijayakusuma selayaknya luapan energi eksploratif mendiang Chrisye yang terpantik berkat sejawatnya seperti Eros Djarot, mendiang Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution, hingga Guruh Soekarnoputra. Ardhito bukan berusaha mereplika zaman emas itu, tetapi ia menjembatani semangatnya untuk masa ini.

Ardhito mengaku kesulitan saat membuat Wijayakusuma. Awalnya lagu tersebut tidak bisa direkamnya karena dia tidak tahu cara menyanyikannya. "Di-take pertama, Oomleo merasa gue tidak nyaman dan terengah-engah. Jadi yang sudah dalam versi lagunya, itu setelah melalui take ke-100 sekian," kata Ardhito.

Ia pun mengaplikasikan metode satu kali rekam, demi menuai esensi olah vokal yang maksimal dalam situasi terbatas, selayaknya periode rekaman menggunakan pita. “Gue memang mencoba balik ke zaman dulu untuk proses A sampai Z-nya,” kata Ardhito. “Meski sudah banyak teknologi yang mendukung, metode yang gue gunakan masih bersemangat lawas. Meskisudah tersedia jasa orkestrasi yang lebih praktikal di Budapest, gue lebih memilih untuk merekamnya di Indonesia, dengan pemain-pemain dari Indonesia, dan beberapa alat rekamnya pun asli dari Indonesia.”

Konsep pop Indonesiana yang diusung Ardhito menjadi salah satu pemicu untuk Hanindito Sidharta, co-founder Aksara Records, membangkitkan kembali label rekaman yang sudah hampir 13 tahun tidak beroperasi tersebut. Dulu, Aksara Records didirikan dengan tujuan ingin mendokumentasikan band-band Jakarta yang tidak berpatokan kepada musik pop atau rock yang ada di pasar pada saat itu, seperti The Brandals, The Upstairs, The Adams, dan lainnya.

"Sekarang, Aksara Records kembali karena kancah musik pop Tanah Air hari ini sangat seru, dengan sentuhan pop 80’an atau 70’an. Musik-musik seperti ini bahkan digemari anak-anak gen Z dan milenial,” kata Hanin. Ia juga mengapresiasi industri musik Indonesia hari ini di mana telah memiliki infrastruktur lebih mumpuni, khususnya di spektrum digital.

Album penuh terbaru Ardhito Pramono yang direncanakan rilis pada pertengahan Juli ini juga akan berada di bawah label Aksara Records. Seperti Wijayakusuma, warna musik dalam album terbaru Ardhito itu nantinya juga akan bernafas ala pop Indonesia lama.

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus