Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Arie, seperti apa adanya

Arie hanggara, 7, yang mati ditangan ayahnya, machtino, difilmkan. tak ada protes. orang tua dan saudara-saudaranya diberi imbalan. sutradara: frank rorimpandey. peran utama: deddy mizwar dan joice erna. (fl)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARIE Hanggara, anak tujuh tahun yang mati di tangan ayahnya hampir satu setengah tahun yang lalu, kini bisa ditonton di gedung bioskop. Kisah murid SD Perguruan Cikini, Jakarta, yang meninggal pada 8 November 1984 itu bukan saja menjadi pembicaraan ramai. Bahkan masyarakat waktu rekonstruksi dan saat peradilan sempat menyatakan kebencian mereka terhadap si ayah dan si ibu tiri. "Bunuh saja mereka!" "Kok tega, ya, mereka," teriak khalayak. Dan film bikinan PT Manggala Perkasa dengan sutradara Frank Rorimpandey, 40, memang bercerita tentang itu -- dari ramainya massa waktu rekonstruksi dan persidangan sampai suasana rumah tangga Machtino Eddiwan -- ayah Arie -- dan, terpenting, bagaimana korban yang mungil itu dihukum dan dihajar ayahnya sampai pingsan dan kemudian mati. Apa pun alasan pihak produser melayarputihkan kisah ini, film ini bernasib lebih baik daripada patung Arie Hanggara. Tak ada heboh, kali ini, tak ada protes, baik dari keluarga Machtino maupun masyarakat. Pada kasus patung Arie dahulu -- gagasan Nugroho Notosusanto (almarhum) sebagai Menteri P & K -- muncul berbagai keberatan yang membuat Edhie Sunarso, pematung yang menerima pesanan, menghentikan pembuatannya. Mengapa reaksi berbeda? Kata Machtino, "Patung itu tak ada misinya, cuma menunjukkan kekejaman. Sedangkan film bisa memberikan gambaran jelas dan urut." Selain itu, "Supaya kejadian semacam saya ini jangan terjadi pada orangtua yang lain," kata Machtino kepada TEMPO yang menemuinya di LP Paledang, Bogor, tempat Tino menjalani hukumannya. Dan karena itu Henry Yosodiningrat, pengacara Machtino sewaktu diadili, lalu memperoleh izin dari pihak Machtino dan Dahlia (ibu kandung Arie). Satu hal lagi, bila bapak Arie itu setuju kisahnya difilmkan, karena yang menyutradarainya, Frank, kenalan lamanya. Dan untuk itu pihak produser memberikan imbalan kepada Machtino, Dahlia, dan Santi (si ibu tiri). Sedang untuk ketiga saudara Arie (seorang kakak dan dua adik) didepositokan sejumlah uang untuk biaya sekolah, seperti dituturkan Gunawan dari PT Tobali Film, pengedar produksi berbiaya sekitar Rp 300 juta ini. Berapa? Menurut sebuah sumber yang terlibat dalam produksi film ini, konon, pihak produser memberikan Rp 25 jta. Masih ditambah Rp 12 juta sebagai imbalan hak cipta cerita, yang didepositokan untuk biaya sekolah ketiga saudara Arie. Yang kurang jelas berapa bagian masing-masing -- Tino, Santi, dan Dahlia. Yang terakhir itu, ibu kandung anak-anak, kini mengurus ketiga anak itu, dan tinggal di kawasan Gunung Batu, Bogor, sekitar 1,5 km dari LP Paledang. Ia memberi izin film ini dibuat, "asal tak memojokkan saya". Yang menarik, film ini bersikap netral. Kata pembikin skenarionya, Arswendo Atmowiloto, 36, yang sehari-hari pemimpin redaksi majalah Hai itu, "Saya tak ingin menyalahkan semuanya, atau tak menyalahkan semuanya." Sepenuh kisah, katanya, berdasarkan keterangan Machtino -- yang oleh Arswendo diminta menuliskan kasus Arie secara kronologis. Ditambah bahan dari BAP, berita acara pemeriksaan. Tapi menurut Machtino, yang ditulisnya adalah skenario kasar sepanjang 45 lembar folio. Ia mengaku bisa menulis skenario karena pernah terlibat dua produksi film sebagai pengurus tranportsi, dan ia sempat membaca dua skenario film tersebut -- Lonceng Maut, 1977, dan Mutiara, 1978. Setelah membaca skenario Arswendo, katanya, bagian tengah dan akhir adalah skenarionya. Maka, film ini tak sepenuhnya hanya melukiskan bagaimana seorang ayah dan seorang ibu tiri menghajar anaknya -- karena di dalam tas sekolah anak itu mereka dapati uang Rp 8.000, yang mereka duga itu uang curian. Ada juga adegan yang melukiskan keluarga bahagia, ketika di suatu hari libur Arie, kakak dan adiknya, bersama Machtino dan Santi (diperankan oleh Joice Erna) berdarmawisata. Darmawisata itu sendiri mestinya pernah mereka lakukan, tapi adegan dalam film -- mengambil lokasi di pantai cagar alam Pangandaran tempat penyu bertelur -- tentu saja fiktif. Dan baru dalam film inilah tergambarkan bagaimana kehidupan sehari-hari keluarga Machtino. Ayah yang "kejam" itu ternyata cukup punya perhatian, dan cukup pula mendidik anak. Umpamanya, anak-anak itu diminta berani mengakui kesalahan dan berani minta maaf. Santi pun bukan tipe seorang ibu tiri dalam dongeng-dongeng yang tega merebus anak tiri. Ia hampir tiap malam memeriksa tas sekolah anak-anak, dan untuk hanya sampul buku yang sobek ia minta si empunya menggantinya saat itu juga. Film ini boleh dikata mendapatkan sutradara dan pemeran tak mengecewakan -- terutama Deddy Mizwar yang memerankan Tino. Frank Rorimpandey, sutradara, bukan cuma sekali ini menyutradarai film berdasar kisah nyata. Perawan Desa, kisah tentang Sum Kuning yang terkenal itu, yang disutradarainya, malah memperoleh Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1980. Toh, sekali ini yang disuguhkannya adalah sebuah film, yang kira-kira baru bisa diikuti bila penonton sedikit banyak mengetahui kisah Arie Hanggara. "Saya berasumsi bahwa penonton film Indonesia setidaknya sudah mendengar kisah tentang Arie Hanggara," kata Arswendo yang membuat skenario itu. Mungkin ini memang satu risiko buat sebuah film yang berangkat dari kisah nyata, dan sejak pagi penulis skenario beserta sutradara menolak interpretasi pribadi. Jadinya, sebuah film yang lebih kurang mirip isi berita beberapa kolom dalam surat kabar: sekali baca, habis. Bambang Bujono Laporan A. Luqman (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus