Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Balada Matinya Tabib Tjhia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
;Janji, janji, janji, jani, jani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerpen: Arif Purnama Putra
“Tapi, Tabib, bukankah ibu Rajo[1] sudah lama lenyap, jauh sebelum Banda Sapuluah dikuasai Yang Dipatuan Rajo Banda Sapuluah saat ini, dan ayah Saridano memilih mengasingkan diri?” Ampanglimo[2] Buhumati berkata dan membuat diam seisi istana.
“Dari mana Ampang Limo mengetahui itu?”
***
Sudah hampir setahun, malam-malam seperti tak pernah selamat di Desa Sikabu. Orang-orang hilang tanpa sebab, wanita-wanita mati telanjang di tepian sungai. Tapi tak ada yang tahu apa penyebab bala itu. Barangkali salak anjing tengah malam mengetahui. Tapi apalah daya seekor binatang, tak dapat ia menyampaikan apa-apa. Seorang tabib di Sikabu pun tak sanggup menerawang kejadian demi kejadian, selain kemungkinan-kemungkinan yang ia sampaikan. Rajo, yang berkuasa di Desa Sikabu, pun tidak bisa berbuat banyak. Semakin hari, orang-orang semakin lenyap. Masyarakat Sikabu kian berkurang.
Maka suatu waktu, berkirim pesanlah Rajo kepada penguasa di daerah Banda Sapuluah. Sebuah daerah pelabuhan yang berada di Pesisir Barat Sumatra, tempat berlangsungnya sentra perdagangan kala itu. Bangsa-bangsa asing berlabuh di sana sebagai pedagang, membawa berupeti barang-barang. Kadang dari negaranya, kadang dari Banda Sapuluah, kadang tak membawa apa-apa. Selain umpat. Dikirimlah pesan oleh Rajo Sikabu kepada pemimpin Banda Sapuluah kala itu yang berisikan permintaan bantuan untuk menyelesaikan bala yang terjadi di desa.
Kepada Yang Dipertuan Rajo Banda Sapuluah
Salam hormat,
Saya, Rajo Sikabu bernama Saridano mengadu kepada Yang Dipertuan Rajo Banda Sapuluah memohon bantuan. Sudah beberapa bulan terakhir kampung kami mengalami bala yang sangat mencekam, sampai untuk keluar rumah saja kami takut. Tidak ada aktivitas berarti di kampung kami, orang-orang hilang, wanita-wanita mati telanjang, anak-anak jadi kelaparan sepanjang hari. Saya Rajo Sikabu tak sanggup lagi menampung warga yang berada di kediaman saya. Saya memohon dengan sangat kepada Yang Dipertuan Rajo Banda Sapuluah mengirim bantuan berupa sembako dan para pandeka. Sekiranya Tuan Rajo berbaik hati, kami sangat tunduk sekali kepada kebesaran Tuan Rajo sebagai belahan kami dari Pesisir Barat Sumatra, sebagai pembesar yang menguasai sepuluh pelabuhan. Bila tak sempat lagi hamba berkirim surat ataupun membalas surat Rajo. Barangkali hamba sudah tiada sebagaimana warga hamba.
Hormat, Rajo Sikabu Saridano
Mendapati surat Rajo Sikabu memelas, Rajo Banda Sapuluah benar-benar terkejut. Bala dalam kampung tidak dapat dihambat apa pun, terlebih Sikabu hanya sebuah daerah yang notabene masyarakatnya sebagai petani. Sebagaimana sumpah Rajo saat penobatan, ia harus adil dan bijaksana sebagai pemimpin. Sikabu masih masuk ke dalam bagian kekuasaannya, walau pada kenyataannya Sikabu tak pernah bersumbangsih dalam jalannya Kerajaan Banda Sapuluah. Tapi, Saridano adalah anak dari karib Rajo Banda Sapuluah pada masa gejolak-gejolak bangsa asing ingin menguasai Banda Sapuluah. Ia ingat betul perjuangan ayah Saridano semasa hidup. Sehingga pada saat kemenangan mereka raih, ayah Saridano meminta ulayat di Sikabu. Ia tidak lagi ikut pergolakan politik di Banda Sapuluah.
Hingga Yang Dipatuan Rajo Bandar Sapuluah membalas surat Saridano;
Kepada Ananda Rajo Sikabu Saridano
Salam…
Saya sudah menerima pesan ananda sebagai seorang kerabat, karib dari ayah ananda. Sungguh tersayat hati saya mendapati pesan ananda demikian. Bila ada hari baik, saya Rajo Banda Sapuluah mengundang ananda untuk datang ke kerajaan untuk beristirahat atau sekedar melepas penat. Tapi, sebelum itu, saya akan mengirim satu rombongan khusus untuk menjaga kampung Sikabu, sebagaimana yang ananda sampaikan, sesuai dengan kepandaian dan keahliannya masing-masing. Pertama, saya akan mengirim seorang Dubalang[3] Rajo yang bernama Bandaro Itam dan Ampang Limo Buhumati. Semoga dua orang ini bisa memimpin prajurit untuk menyelesaikan bala yang terjadi di kampung ananda. Selain itu, seorang tabib kerajaan akan saya kirim, ia bernama Tabib Tjhia. Tabib ini adalah orang kepercayaan kerajaan. Semoga orang-orang ini bisa menjalin hubungan baik dengan ananda, dan kampung yang ananda pimpin kembali seperti sediakala. Kami juga akan mengirim bantuan makanan dan keperluan lainnya.
Diketahui, Yang Dipertuan Rajo Bandar Sapuluah
***
Lagi, malam-malam lenyap tanpa tahu ada bintang timbul cerah. Orang-orang menumpuk di kediaman Saridano bagai kawanan sapi yang kehilangan padang. Pada akhirnya Saridano harus melapangkan dada menerima rakyatnya yang ketakutan karena bala tak henti-henti. Hampir tiap hari ada saja yang hilang tanpa tahu ke mana perginya. Kalau wanita yang hilang, tak payah mencarinya, tinggal datang saja ke sungai. Tapi kalau pria dan binatang, tak pernah bersua ketika dicari. Itu sebabnya teringat pula Saridano dengan cerita ayahnya semasa hidup tentang kampung bunian yang berada tepat di belakang kediaman Saridano. Kampung itu berada di atas Bukit Sigiriak. Mitos-mitos yang sering kali diolok-olok masyarakat sebagai urang ketek[4]. Tak ada yang pernah gamang kalau lewat di situ, sejak hidung ditempuh nafas tidak pula pernah timbul celaka di sana.
Suatu malam yang dingin, di luar rinai tak henti-henti sejak sore. Ayah bercerita kepada Saridano yang kala itu masih berusia 15 tahun. Bagi anak laki-laki di daerah Sikabu, usia segitu sudah harus diceritakan berbagai hal tentang daerah kekuasaan. Terlebih lagi Saridano adalah ahli waris tunggal di Kerajaan Sikabu. Kakaknya, Tan Ameh, sudah menikah dengan Putri Kesultanan Aceh kala itu, jadi tidak mungkin lagi mewarisi takhta sang ayah. Maka dimulailah dari cerita kampung orang bunian di Bukit Sigiriak. Beliau menyatakan bahwa itu bukanlah makhluk halus, melainkan manusia berbadan pendek. Ya, mungkin saja gaib, mungkin saja tidak. Beliau juga mengatakan pernah bersua beberapa kali dengan orang-orang bunian tersebut. Tentu saja bukan seperti pertemuan biasa dengan masyarakat pada umumnya.
Saat itu, ia meminta bantuan untuk melakukan serangan kepada bangsa asing ketika terjadinya perebutan kekuasaan di Banda Sapuluah. Ia jalankan ritual sebagaimana ia ketahui dari tetua pada masa itu. Kemenyan dibakar di atas kulit kelapa, kemudian dihanyutkan ke salah satu sungai yang menghubungkan hulu Banda Sapuluah dengan lautan. Setelah dihanyutkan, memintalah kepada leluhur untuk diberi bantuan dan dipertemukan dengan panglima orang bunian. Kala itu mujarab, doa itu terkabul. Tak lama berselang, kulit kelapa tak tampak lagi, tiba-tiba gerombolan orang-orang pendek datang dari dalam semak. Ramai, sangat ramai.
Adab bertemu dengan mereka jangan sesekali meludah di depannya, karena mereka datang dengan penampilan apa adanya. Berbicaralah mereka kala itu, meminta bantuan untuk mengusir pendatang yang ingin berkuasa di tanah leluhur. Kalau sudah bertemu, jarang mereka mengatakan penolakan. Biasanya mereka akan bersedia membantu apa pun itu permasalahannya. Hanya saja, mereka mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi jika pertolongan mereka membuahkan hasil.
Belum sampai mengisahkan secara lengkap, tiba-tiba sang ayah menyudahi ceritanya. Jika pun suatu waktu ayah berumur pendek, lanjutan cerita ini akan dikabarkan oleh seseorang yang datang di masa depan. Mungkin saja sudah banyak kejadian yang kau jalani.
***
Setelah beberapa minggu sejak surat Rajo Banda Sapuluah diterima, datanglah satu rombongan utusan Rajo. Di sana ada nama-nama yang disebutkan Rajo dalam pesannya, lengkap dengan pedati berisikan berkarung beras. Pertemuan pertama langsung dilaksanakan, di mana hanya ada dua dubalang dari Banda Sapuluah dan Tabib Tjhia. Dari Kerajaan Sikabu hanya Saridano dan Ampang Limo. Disampaikanlah semua rentetan kejadian kepada mereka oleh Sridano. Mata yang memendam merah tak sanggup dielakkan dari wajah Saridano, ada linang yang ingin keluar tapi ia tahan sebisa mungkin.
Berkatalah Tabib Tjhia waktu itu, “Apakah ada bukit di belakang istana Rajo?” tanyanya pelan.
“Ada Tabib, Bukit Sigiriak. Suatu waktu ayahanda pernah menceritakan di bukit tersebut ada kampung bunian.”
“Apakah Rajo pernah ke sana satu atau dua kali?”
“Belum pernah sekali pun, Tabib. Dulu ayahanda pernah menceritakan tentang wilayah itu, hanya saja beliau belum menyampaikan secara tuntas.”
“Kalau begitu, berarti akan ada seseorang yang akan menyampaikan lanjutan cerita itu kepada Rajo. Tapi tunggu saja.” Lugas Tjhia.
Sesuai janji Yang Dipatuan Rajo Banda Sapuluah, ia akan mengirim orang-orang khusus yang sudah kepercayaan Rajo. Maka diperlihatkanlah oleh Tabib Tjhia keahliannya dalam hal-hal magis. Ia keluarkan sebuah piring dan meletakkannya di tempat duduk Rajo Sikabu biasanya menyampaikan pidato hari-hari besar, kemudian ditutup kain kuning yang menjadi simbol warna kebesaran Rajo. Kata Tabib Tjhia, “Kita harus menunggu agak seminggu untuk membuka kembali kain itu.”
Masa-masa menunggu ketentuan hari, orang-orang yang dikirim dari Banda Sapuluah terus bergerilya. Mencari sebab musabab kejadian bala tersebut. Tapi tidak diperbolehkan memasuki Bukit Sigiriak. Begitu perintah dari Tabib Tjhia. Bandaro Itam dan Ampanglimo Buhu mati menangkapi semua penyamun yang berkeliaran di Sikabu. Baik penyamun dari luar daerah maupun dalam daerah. Sikabu bukanlah kampung kecil. Wilayah ini meliputi puluhan bukit dan beberapa aliran sungai yang bermuara ke Pelabuhan Banda Sapuluah. Itu sebabnya Yang Dipatuan Rajo Banda Sapuluah sangat segan kepada Sikabu karena pasokan air bersihnya berpangkal di Sikabu.
Orang-orang tetap hilang dengan cara tak terduga. Sebab, sejak kedatangan rombongan Banda Sapuluah, warga kembali beraktivitas seperti semula. Awalnya memang tidak terjadi apa-apa, tapi itu hanya berlangsung tiga hari saja. Hari keempat mulai lagi orang-orang lenyap tak tahu ke mana. Bukan main, malahan semakin parah. Para penyamun pun mengakui sejak mendapat kabar ada bala di Kerajaan Sikabu, mereka tidak lagi masuk wilayah tersebut. Mereka lebih memilih keluar wilayah, menunggu mangsa di jalan-jalan pesawangan di batas wilayah Sikabu. Kalau dihitung hari, dari pangkal Sikabu sampai ujung wilayahnya akan memakan waktu sebulan berjalan kaki. Tidak kecil memang, pada masa itu perkampungan cuma ada enam; Sikabu, Pasia Kasiak, Gunuang Pauh, Munto, Malelo, dan Taratak Pane.
Kejadian orang hilang tersebut memang banyak terjadi di lingkungan Kerajaan Sikabu. Tapi di desa lain juga mengalami hal sama. Itu sebabnya rakyat berlindung di kediaman Rajo Saridano.
***
Matahari tegak tali, remaja-remaja berkumpul seperti gerombolan kambing menunggui rumput. Ibu-ibu menggendong bayi setengah lelap, buah dadanya dibiarkan terbuka seperti mangga busuk tergantung. Bapak-bapak bersikuat memasang wajah, padahal mata bohong penuh ketakutan tak sanggup ia surukkan. Tabib Tjhia menjinjing sebuah kantong yang terbuat dari anyaman rotan. Sesuatu bergerak dalamnya, mungkin saja ayam, sebut seorang pria. Ia diang kantong itu di atas perapian, menantang matahari tepat di tengah balairung kerajaan. Saridano mematut-matut isi piring yang seminggu lalu diletakkan oleh sang Tabib. Ia kembali ingat cerita ayahnya—tentang kepergian. Tapi ingatan Saridano tak cukup bagus kalau sudah mengingat cerita ayahnya, terlebih kalau sudah tentang ibunya.
Tengah hari, orang-orang kian ramai menunggui hasil terawangan Tabib Tjhia. Sementara masyarakat semakin riuh, diam-diam sang Tabib berangkat menuju Bukit Sigiriak sambil membawa kantong yang telah ia diang. Tak ada seorang pun yang sadar bahwa Tabib sudah tidak ada bersama mereka. Ia lewati lembah Sigiriak dengan tenang, kemudian kantong itu ia buka. Ia lepaskan seekor ayam yang kusut bula, nafasnya terengah-engah, sempoyongan sambil terus berusaha mencari sumber air. Ayam jantan berpiah lancip itu beberapa kali tampak berusaha berkokok, tapi tak pernah sampai terdengar bunyinya. Tabib Tjhia membakar kemenyan, ia bacakan mantra-mantra pemanggil mambang. Sambil memegang kulit kelapa yang berasapkan kemenyan, Tabib Tjhia memerhatikan ayam jantan itu pergi ke mana. Tidak lagi ia temukan ayam kusut bulu itu berkeliaran, berusaha ia memanggil-manggilnya kurkurkurkur.
Hari kian kelam, Tabib Tjhia berusaha mencari jalan pulang. Dalam kalut yang kian kacau, si ayam tiba-tiba muncul dari semak-semak, memandang Tabib seketika kemudian berlari. Tabib bersigegas mengejar sang ayam. Sebab yang dilakukan dari awal adalah ritual penunjuk arah. Ayam sebagai mediatornya. Bersitungkin Tabib Tjhia mengejar ayam itu, bulunya yang tadi kusut sudah licin mengkilap layaknya ayam kesayangan. Terdengar suara riuh orang-orang dari kejauhan, Tabib Tjhia membacakan kembali mantra untuk menenangkan sang ayam. Ayam menjinak dan ia masukan kembali.
Tapi tak disangka, itu bukan lagi seekor ayam jantan yang ia bawa tadi. Entah penglihatan Tabib saja, atau memang sudah berganti. Ayam yang tak berpiah itu memiliki bulu menjuntai, taji panjang dan kokoknya tak tanggung nyaringnya. Sampai-sampai Tabib Tjhia harus mengikat mulut si ayam untuk dimasukkan kembali ke kantong anyaman. Sial! Bukit apa ini! Umpat Tabib Tjhia sambil terus berhati-hati melewati pematang.
Setelahnya suasana berubah, angin berdesir lambat, udara tiba-tiba panas. Malam setengah datang, bias kemerahan dari jauh memantul di antara air dan permukaan. Burung-burung seperti ribut, tapi tak terdengar suaranya. Ngalau kelam bagai mata setan dari kejauhan. Tak ada suara dalam perjalanan Tabib Tjhia sebelum sampai Sikabu. Ia lihat dari kejauhan orang-orang berlarian, dipenggal, dilucuti bajunya seperti memotong mangga ranum.
Semakin ia berjalan maju, semakin dekat suasana itu, tapi tidak pernah sampai padanya. Tiba-tiba seorang wanita menghampiri sang Tabib, lalu berbisik ke telinganya menyampaikan sebuah seruan dan undangan penjemputan. “Janji, janji, janji, jani, jani, jani!” maka dibacakan ketika itu oleh Tabib Tjhia sebuah mantra;
Hoi… mambang dari segala mambang
Mambang hitam berkelihatanlah
Mambang putih memancarlah
Mambang tak berwarna, mambang tak punya rumah
Datanglah hoi… datanglah hoi…
Hai si Rajo Saridano datang meminta bantuan
Hai si Bunian sakti bertuah Sigiriak-giriak
Datanglah sebagai tuah leluhur, tampaklah sebagai bantuan bala
Bala singkat, bala panjang memakan anak cucu…
Si Rajo Balang, Si Mambang Tara
Mambang dari segala mambang, mendekatlah…
Puaah…
Tabib Tjhia tak kuasa menahan panasnya cuaca, ia tergeletak dan merangkak menggapai tempat berteduh. Seorang perempuan tadi kembali menghampirinya dan mengatakan bahwa ialah satu-satunya mambang yang datang bersamaan dengan si ayam bulu kusut. Mambang dari segala mambang tak mau mendengarkan, janji, janji, janji, jani, jani, jani adalah aku sebagai perempuan Sikabu. Sebagai tuah yang dititipkan orang-orang Banda Sapuluah semasa pergolakan. Akulah pengorbanan, akulah penghianatan, akulah mambang yang malang itu. Apakah Tuanmu akan menjemput, akankah ia menyerahkan tuahnya untuk penjemputanku nun di puncak Bukit Sigiriak.
Aku dipasung berpuluh tahun sumpah oleh orang-orang kepercayaan. Berakhir pengkhianatan. Tolong jangan kau ludahkan air liurmu, bau pesing dan anyir ini adalah abadi. Ini tubuh penuh darah, buah dadaku yang rengkah bagai dada remaja kemarin sore adalah hasil setubuh janji masa lalu, ini kelamin Jani dirajam janji, janji, janji, jani, jani, jani. Menghasilkan dua anak muda yang salah satunya kau sebutkan dalam mantra pemanggil mambang. Hoi…Tabib, bersetialah, ini mambang dari segala mambang membawa bala, membawa tuah leluhur, mambang kiriman dari moyang-moyang bunian yang kau kutuk sebagai budak penyelamatan.
[1] Raja
[2] Panglima perang/orang kepercayaan urusan benda warisan
[3] Penjaga raja
[4] Orang pendek/kecil
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo