Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendung memayungi Desa Gerduren, Purwojati, sore itu. Di tengah desa yang terletak 30 kilometer dari Kota Banyumas, Jawa Tengah, itu berdiri sebuah balai desa berbentuk joglo yang sudah tua renta. Ada empat bocah yang asyik bermain sembari menanti gurunya, Warsiah, mengajarkan tari ronggeng.
Setengah jam kemudian Warsiah, ronggeng terkenal pada 1990-an, muncul dengan pakaian olahraga. Pada usia 55 tahun kini, Warsiah masih tampak ayu dan segar. Tubuhnya tinggi langsing dan kulitnya putih bersih. Rambutnya panjang, lurus, dan hitam. "Wis, ayo, langsung dimulai," ujarnya kepada murid-muridnya Kamis dua pekan lalu. Suara gendang, gong, dan calung mengalun dari sebuah tape recorder, mengiringi gerak anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu.
Kehidupan ronggeng dari desa inilah yang mengilhami lahirnya trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yakni Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Kisah ronggeng Tohari itu kini kembali dihidupkan melalui Sang Penari, film karya sutradara Ifa Isfansyah, yang beredar di bioskop pekan ini. Di Banyumas dan sekitarnya, ronggeng dikenal pula sebagai tayub atau lengger.
Namun ada kesenjangan besar antara fiksi dan kenyataan. Film dan novel tersebut menggambarkan masa kejayaan ronggeng, khususnya Srintil, tokoh utamanya; bagaimana seorang ronggeng mampu memberi daya hidup bagi sebuah dukuh miskin, yang penduduknya hanya mampu makan tempe bongkrek dan nasi gaplek.
Kini kejayaan itu sudah lenyap. Hampir di seluruh Jawa, ronggeng, tayub, atau sejenisnya nyaris punah setelah tragedi 1965. Senimannya banyak yang ditahan karena dituduh sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.
Dalam novel, hal itu digambarkan ketika kelompok ronggeng Srintil sering tampil di acara pertemuan partai yang digalang tokoh Bakar (dalam film diperankan Lukman Sardi), politikus yang mengajarkan berbagai ketimpangan sosial di pedukuhan itu. Kelompok ronggeng Srintil pun mendapat nama baru: Ronggeng Rakyat.
Lalu muncul konflik: makam Ki Secamenggala, bromocorah yang menjadi nenek moyang penduduk dukuh yang disakralkan, dirusak orang-orang bercaping hijau. Dukuh Paruk murka dan Srintil melampiaskannya dengan menari lebih berani, dan Sakum, pemain calung, membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul.
"Dua minggu yang jorjoran, sarat dengan pemberontakan budaya. Tayub, yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas hati. Cuma-cuma," tulis Tohari dalam novelnya.
Namun keramaian itu berhenti sejak hari pertama Oktober. Bakar dan teman-temannya ditangkap. Kecemasan menyergap pedukuhan dan bau mayat menguar di udara. Semuanya berpuncak pada musnahnya Dukuh Paruk dilalap api di awal 1966. Srintil dan Kartareja, dukun ronggeng, ditahan.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk pernah diangkat menjadi film berjudul Darah dan Mahkota Ronggeng pada 1983, yang disutradarai Yazman Yazid, dengan bintang Enny Beatrice dan Ray Sahetapy. Namun film itu dilumuri seks dan kekerasan yang berlebihan. Konteks sosial-politik Banyumas masa itu terabaikan.
Adapun film Sang Penari memberi ruang bagi masalah sosial-politik yang menimpa ronggeng. Salah satu penulis skenarionya, Shanty Harmayn, mengaku mencoba memberi keseimbangan antara unsur hiburan dan sejarah di film tersebut. "Isinya memang lebih berat pada kisah percintaan. Kami tak mau terjebak dalam tema yang berat dari sejarah," ujarnya.
Shanty juga menyadari bahwa penonton pasti akan membandingkan film ini dengan novelnya. Meski diberi kebebasan untuk menafsirkannya, tim produser, sutradara, dan penulis skenario tetap berkonsultasi dengan Ahmad Tohari. "Ini untuk menjaga roh cerita dan karakter tokohnya," kata Shanty.
Ronggeng kini tak sesakral dulu. Ia kini identik dengan cabul dan minuman keras, yang masih terlukis jelas di film Sang Penari dan novel Tohari. Bambang Suharsono, Ketua Kelompok Masyarakat Adat Sekar Wigati Gerduren, menolak gambaran semacam itu. Menurut pemilik sanggar ronggeng Adi Laras ini, seorang calon ronggeng tak cuma mesti pandai menari, tapi juga harus melewati berbagai ritual khusus, termasuk puasa dan mendatangi makam Kastinem, ronggeng pertama Desa Gerduren, Purwojati, juga makam Mbah Lumajang, Sumingkir, dan Mbah Jambon.
Setelah itu, calon ronggeng diwajibkan mandi dengan air sumur dari tujuh tempat yang berbeda. Semuanya harus dilakukan sendiri dan tak boleh terlihat orang lain. "Kalau sampai terlihat, ya, harus diulangi lagi," ujar Bambang. Selanjutnya, calon ronggeng dimandikan oleh sesepuh atau dukun ronggeng pada malam ketujuh. Di sinilah muncul istilah "buka kelambu".
Upacara penobatan itu berpuncak pada atraksi ronggeng di panggung dengan iringan gending Sekar Gading. Penduduk yang datang akan mengapresiasi tarian ronggeng dengan saweran atau mbancer. "Semakin banyak saweran berarti apresiasi penonton cukup tinggi," kata Bambang.
Citra cabul pada ronggeng muncul dalam acara buka kelambu ini. Dalam film dan novel, keperawanan Srintil diserahkan kepada lelaki yang menyetor uang terbanyak atau barang paling mahal. Srintil akhirnya harus menyerahkan keperawanannya kepada Dower, pemuda dari Pecikalan, dan Sulam, anak seorang lurah, meskipun sebenarnya ia menyerahkan keperawanannya kepada Rasus, kekasihnya. Setelah malam penobatan itu, Srintil bisa melayani pria mana pun yang bersedia membayarnya.
Tapi, menurut Bambang, tak ada transaksi semacam itu dalam upacara tersebut. Citra penari ronggeng yang identik dengan pelacur, kata dia, merupakan ekses kepopuleran ronggeng saat itu. Kebanyakan penari berasal dari keluarga tak mampu, yang naik kelas setelah jadi ronggeng. Hal ini membuat mereka melihat pelacuran sebagai jalan pintas untuk mendapat kemakmuran. "Yang salah penarinya, bukan seni ronggengnya," ujarnya.
Tasem, mantan ronggeng berusia 60 tahun, tak membantah soal layanan seks itu. Tapi, "Tidak semua ronggeng melayani pelanggan di atas ranjang," ujarnya. Namun keadaan masyarakat telah berubah. Ronggeng kini dianggap sebagai kesenian yang tak bermoral dan harus pula menanggung "dosa" akibat badai politik 1965.
Pamor ronggeng menurun, kata Warsiah, sejak Pemerintah Kabupaten Banyumas melarang pertunjukan ronggeng pada malam hari karena selalu menimbulkan perkelahian antarpenonton. "Padahal pertunjukan dangdut atau band pop juga pernah rusuh, sama saja sebenarnya," ujar Bambang.
Sebelum pelarangan itu, ada ratusan kelompok ronggeng di Banyumas. Kini kelompok yang aktif hanya tinggal beberapa, di antaranya kelompok Banyubiru, Kracak, Banjarwaru, Randegan, Kaliputih, Karangklesem, dan Papringan. Mereka masih berpentas sesekali jika ada hajatan.
Terakhir kali Warsiah menari ronggeng pada pertengahan 1990-an. Waktu itu dia penari ronggeng yang cukup laris yang diundang ke berbagai acara sunatan, perkawinan, dan acara dinas atau instansi swasta.
Karena itu, ronggeng kini sudah seperti tarian hiburan belaka. Sudah tak ada lagi ritual bagi calon penari seperti dulu. Warsiah adalah generasi terakhir ronggeng yang masih melakukan ritual sebelum menjadi penari. Dia tinggal sendirian sejak suaminya meninggal. Ia pun tak memiliki anak.
Tapi Warsiah berusaha melestarikan ronggeng dengan melatih anak-anak desa menari. Seperti sore itu, ketika dia memperbaiki gerakan tari muridnya. Menjelang magrib, latihan pun usai. "Jadwalnya masih belum pasti. Kalau anak-anak ada ujian, ya, latihan libur," ujar Warsiah.
Dian Yuliastuti, Aris Andriyanto (Banyumas), Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo