Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dari galeri ke galeri

Galeri-galeri yang ada di jakarta dari masa ke masa. waktu zaman hindia belanda, galeri-galeri mendapat perhatian. dewasa ini hampir tak ada yang layak. kini ada wisma seni nasional di jakarta.

7 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH pemandangan baru, di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta. Dekat stasiun Gambir ada sebuah gedung. Arsitekturnya neoklasik. Bangunan ini mencolok. Putih, putih. Halamannya menjorok ke dalam, memangku taman yang apik. Gedung tua nyaris seabad ini didirikan Carpentier Alting Stichting, sebuah yayasan pendidikan Kristen. Pada 1955 dikelola Yayasan Raden Saleh. Tujuh tahun kemudian gedung ini diserahkan kepada Departemen P dan K. Lalu jadi salah satu Markas KAMI/KAPPI, 1966, dan Markas Komando Brigade Kodam V Jaya. Pada 1982, Pangdam V Jaya mengembalikannya kepada Departemen P dan K. Tak banyak berubah, dipugar sejak Maret 1986 dengan biaya Rp 400 juta. Pada 23 Februari lalu, sebagai Wisma Seni Nasional, pemakaiannya diresmikan Menteri P dan K Fuad Hassan. Inilah sebuah galeri untuk memamerkan berbagai karya seni, tempat diskusi, seminar, pementasan. Dewasa ini hampir tak ada galeri yang layak. Balai Budaya, milik Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional yang sejak tahun 50-an jadi tempat pameran, kendati lingkungannya kurang memenuhi syarat, mendingan. Tata cahaya gedung ini memang kurang tapi ruangannya tak berliku. Dua ruang pameran di Taman Ismail Marzuki -- Ruang Pameran (lama) dan Galeri Baru -- masih kurang memenuhi syarat. Langit-langit kedua gedung ini agak rendah. Konstruksinya membikin sulit mengatur tata cahaya, padahal yang perlu adalah pemandangan trimatra. "Suatu saat ada pameran patung. Kalau dipasang lampu tambahan, itu mengganggu. Dan kesannya tambal-sulam," ujar pelukis Mustika, 49, yang mengurus pameran di TIM. "Kami memang bisa memasang alat tata cahaya yang ideal, cuma dananya tak ada," kata Mustika lagi. Dana, dana. Ini pula yang dihadapi Museum Seni Rupa Jakarta, tetangga stasiun Jakarta Kota. Bangunannya hampir 1 1/2 abad. tentu tak bisa diubah-ubah, mengingat dilindungi ordonansi purbakala. Dengan adanya Wisma Seni Nasional, lalu meruak. Selain mudah dijangkau, yang penting lagi, ruang pamerannya yang 400 m2, terbilang akurat. Langit-langit gedung yang tinggi, berneon dengan kaca penyaring akrilik, dan memberi cahaya ke dalam lebih alami, jelaslah porsinya. Terutama bila pameran patung. Sedang kan halaman yang luas itu memungkinkan pameran patung, setinggi apa pun. Saudara. Nyaris seabad lampau hal sarana pameran sudah lintang pukang dipikirkan orang. Justru itu, pada 1902, mengapa Nederlandsch-Indische Kunstkring didirikan di Jakarta. Perkumpulan Kesenian Hindia Belanda ini, setelah diuji waktu jadi Bataviasche Kunstkring. Setelah setahun berlalu, Holanda-Holanda itu dengan sukacita memamerkan reproduksi lukisan Rembrandt. Dari Betawi kemudian bersteling di Bandung, Semarang, Surabaya. Dan 1906, diperingatilah hari lahir pelukis kebanggaan Belanda itu dengan memamerkan 126 foto berwarna, karyanya. Cabang kunstkring kemudian ada di Bandung, 1904, dan Surabaya, 1911. Lima tahun kemudian, dibentuk Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen, atawa Persatuan Perkumpulan Kesenian se-Hindia Belanda: di Batavia, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan. Gedung di Gambir, seperti sudah disebut tadi, karena hasrat di balik konsep kunstkring itu. Yaitu ethische politiek, yang di akhir dasawarsa abad ke-19 dipelopori kaum sosialis Van Deventer bersama kawan-kawan. Dasar pemikirannya adalah kebelet humanisme liberal yang di Eropa sedang menggembung saat itu. Dan inilah yang tercermin pada tujuan bond. "Menghidupkan dan memupuk rasa seni di kalangan penduduk Hindia Belanda mengajak dan menunjang usaha masyarakat untuk mencapai tujuan itu," seperti dicatat dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, 1919. Pameran seni rupa, sebagai kegiatan utama, mulanya berpindah-pindah. Tapi pada 1916, perkumpulan ini mendirikan gedung sendiri, dengan arsitek P.A.J. Moojen. Inilah gedung beton pertama di Batavia, saat itu. Kini, jadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat, di Jalan Teuku Umar. Pada 1929, bond ini membuka cabang di 30 kota, terutama yang dikelilingi onderneming perkebunan. Pameran pertama di gedung sendiri, menampilkan para pelukis kelahiran Hindia Belanda, seangkatan Isaac Israels. Banyak pula musikus ternama dari Eropa yang diundang konser, misalnya Efraim Zimbalist. Selain itu juga ada ceramah kebudayaan, antara lain diberikan oleh Dr. Stokvis, Dr. Bosch, Dr. Hussein Djajadiningrat. Yang mengagumkan, koleksi lukisan asli yang juga pernah dipamerkan. Ada Chagall, Van Dongen, Dufy, Gauguin, Redon, Picasso (dua lukisan besar), 14 lukisan (asli) karya Van Gogh, Pissarro, Rouault, Kandinsky. Pameran itu disponsori P.A. Regnault, kolektor lukisan dan industrialis yang memiliki pabrik cat di Hindia Belanda. Eksposisi ini dibantu Museum Stadelijk, Amsterdam. Dan pengangkutan dengan kapal laut, gratis. Koran Javabode terbitan 1924-38 memuat resensi pameran masa itu. Disebut pula beberapa nama pelukis pribumi yang sejajar dengan pelukis Belanda: Soehardjo, Mas Pirngadi, Mas Soebanto, Henk Ngantung, dan Sudjojono -- pelopor seni rupa modern Indonesia. Juga Lee Man Fong, favorit Bung Karno itu. Budiman S. Hartoyo, Laporan Yusroni H. & S.Y.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus