Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dari Kuburan Kober ke India

Teater Kubur mementaskan On/Off di Festival Teater Internasional Bareilly di India pekan lalu. Sebelumnya disajikan di kuburan Kampung Melayu.

1 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan baru saja reda, Sabtu, 23 Januari lalu. Kuburan Kober di Kampung Melayu, Jakarta Timur, masih basah. Di sebuah petak bersemen yang berada di tengah-tengah kuburan luas itu, tampak sebuah tenda putih dipasang. Para handai taulan teaterwan Jakarta, dari Afrizal Malna sampai koreografer Elly Luthan, tampak berkumpul.

Sore itu, di tempat mereka berlatih sehari-hari, Teater Kubur menyajikan On/Off sebelum berangkat ke India mengikuti Festival Teater Internasional Bareilly ke-11 di Bareilly. Di kota di wilayah Uttar Pradesh itu, mereka pada 27 dan 28 Januari pekan lalu memainkan On/Off dua kali.On/Off bukan karya baru Teater Kubur. Karya ini dipentaskan di Tokyo, Jepang, pada 2008. Dan pada 2010 dipentaskan di Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, dengan judul Rumah Bolong.

Para pemain pendukung duduk melingkar dengan bambu-bambu sebagai latar panggung. Dalam pementasan di Salihara dahulu, para pemain mengelilingi panggung dengan sebuah totem besar di belakangnya. Bentuk lingkaran ini mengadaptasi ruang Galeri Salihara yang bundar. "Kami tak bawa bambu ke India. Bambu di sana lebih variatif dan lebih banyak," kata Dindon W.S., sutradara Teater Kubur.

Karya ini berbicara tentang potret sebuah keluarga. Tentu tak dimainkan secara realis. Andi Bersama, aktor senior Teater Kubur, sebagai tokoh ayah bernama Salmon, mula-mula tidur di atas tikar. Seseorang yang memainkan peran ibu menampi beras, lalu yang memerankan anak perempuan seolah-olah memasak. Dan seorang "nenek" menyapu. Mereka mengeluhkan kondisi ekonomi yang kian sulit. Lalu datanglah anak laki-laki. Sang anak mengajak kawan-kawannya yang berkostum serba hitam. Mereka membawa jas, tas, dan bom. Mereka mengarak benda semacam wayang dari kawat bertulisan "trip to heaven".

Nenek mencoba mengusir mereka dengan sapu. Tapi sang kakak perempuan dengan riang menerima mereka. Demikian juga sang ibu. Para pemuda itu memakaikan secara paksa sebuah jas abu-abu kepada ayah. Sang ayah merasa terbakar. "Ini bukan wajahku, ini bukan tanganku. Panas. Aku butuh laut, sungai...."

Ketika sang ayah mengeluh kehilangan kelaminnya, Dindon mengatakan ia ingin berbicara tentang hilangnya harga diri. Bagian paling menarik adalah tatkala Andi Bersama sebagai sang ayah diangkat menggunakan batang-batang bambu. Ia diayun-ayunkan. Ia mencoba bertahan meski dengan susah payah. Di atas bambu, Andi Bersama berdiri dan bermonolog tentang seseorang yang ingin mempertahankan rumahnya.

Dari awal sampai akhir, Teater Kubur bermain rileks. Lebih rileks daripada saat pentas di Salihara. Para pemainnya seperti orang dewasa yang bertingkah laku anak-anak. Main-main tapi serius dan berakhir sublim. Kemunculan tokoh Wong Edan membuat penonton tertawa. Pada beberapa bagian, Wong Edan menggunakan bahasa Inggris. Lalu pada adegan lain dia mengucap kosakata India: nehi, hehi (tidak, tidak). Tatkala aktor Hendra Setiawan dan Yustiansyah Lesmana, seperti seorang centeng dan pengawalnya, membawa senjata-senjataan dan menembaki kerumunan, penonton segera menangkap banyaknya kasus kekerasan seputar hak lahan. Atau teror bom di Jalan Thamrin.

"Sebenarnya ini kelima kalinya kami mendapat undangan dari Bareilly, tapi baru sekarang bisa tampil," kata Dindon. Selama ini Teater Kubur tak bisa berangkat ke India karena ongkos pesawat tak ditanggung panitia. "Saya malu kalau harus minta-minta sponsor ke sana-kemari," ujar Dindon. Untungnya sekarang ia mendapat sponsor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam pementasan di India, Dindon tetap menggunakan bahasa Indonesia. Ia tidak mempersoalkan bila tak ada terjemahan teks di atas seperti pada saat pementasan On/Off di Tokyo tujuh tahun lalu. Di Jepang, penyelenggara acara mengalihbahasakan dialog bahasa Indonesia ke bahasa Jepang. "Saya percaya penonton India bisa mengerti," kata Dindon. Menurut dia, persoalan sosial, ekonomi, dan politik di India tak jauh berbeda dengan Indonesia.

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus