Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Gambar-gambar lugu

79 lukisan s sorentoro dan lie tjoen tjay dipamerkan di balai budaya. sorentoro banyak memotret ling kungan, sementara lie tjoen tjay menunjukkan lukisannya gaya cina: berpuisi. (sr)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

79 buah lukisan dengan format yang kecil tampil di Balai Budaya 26 April s/d 3 Mei yang lalu. S. Sorentoro dan Lie Tjoen Tjay, kedua pelukisnya mendapat banyak karangan bunga pada hari pembukaannya. Barangkali kedua nama ini mempunyai posisi yang tertentu pada hati sejumlah orang, meskipun tidak begitu sering kita dengar. Sepintas kilas sudah terasa kedua orang ini mempunyai persamaan watak yang barangkali membuat orang bersimpati. Lukisan mereka secara emosionil sederhana, tidak memojokkan penikmatnya pada sesuatu sikap atau pandangan tertentu. Tapi mereka juga tidak hanya teknis tok, sehingga kanvas-kanvasnya yang netral itu tetap basah dan memberikan peluang pada keharuan terutama dalam memotret lingkungan pribumi pada Sorentoro dan memotret puisi-puisi kecil dari alam dalam buah tangan Lie Tjoen Tjay. Cinta Lingkungan Sebagai seorang pelukis figuratip, Sorentoro memotret kegiatan hidup sehari-hari, di jalan raya, di kampung di pinggir kali, di pantai dan pada beberapa pojok yang mungkin terlalu kotor bagi orang. Warna-warnanya gembira, sehingga memang kadangkala tidak menampilkan segi-segi hitam dalam kehidupan pojokan yang ditampilkannya. Tapi ini diimbangi dengan tidak adanya upaya untuk menyulap, memperbaiki atau menonjol-nonjolkan keindahan. Gambar-gambarnya bersifat ilustratip, dengan garis-garis pendek sebagai penegas, tanpa diikuti oleh dramatisasi pada cahaya. Memang akan terlalu jauh untuk mencari bandingan pada Utrillo (1883-1955) itu pelukis yang melukis dengan lugu isi kota Paris, sehingga lukisannya dimasukkan pada katagori lukisan-lukisan naif. Tapi keluguan Sorentoro yang merekam misalnya Menara Sunda Kelapa, Kampungdi TanjungPasir, Jembatan Ujung jalan Pinangsia, Rumah pinggir kali di Malang--akan merupakan dokumen objektip terhadap kehidupan, di masa nanti. Sikap menahan diri Sorentoro boleh saja disangkakan sebagai tanpa sikap. Tetapi pendekatannya pada manusia melalui kegiatan di jalan raya atau di pinggir sungai -- jelas menunjukkan bahwa tuntutannya dalam melukis bukan menampilkan problim. Ia menampilkan suasana-suasana lokal, bukan suasana yang bertolak dari konflik. Meskipun lukisannya kadangkala bisa berbelok menjadi bersolek dan propaganda keindahan seperti Pantai Kusamba toh ia tak sampai melacurkan diri pada potret-potret ilusi seperti Basuki Abdullah atau wadag-wadag alam yang sudah mati scperti gambar-gambar yang diobral di sepanjang jalan. Sorentoro tukang potret yang memiliki setidak-tidaknya rasa cinta pada lingkungan yang sederhana. Tikus Dan Tupai Lebih banyak bisa dibicarakan adalah lukisan-lukisan cat air Lie Tjoen Tjay yang juga memamerkan lukisan cat minyaknya yang bernada lugu. Tjoen Tjay tak ayal lagi telah menampilkan diri dengan mantap pada cat air ketimbang cat minyak. Dalam lukisan cat minyaknya yang mengambil objek potret kegiatan manusia dalam lingkungan luar rumah, ia memandangi kehidupan dengan rasa persahabatan. Hal mana berbeda sekali tatkala ia mempergunakan cat air. Dalam kesempatan ini ia seringkali mendramatisir cahaya, sehingga sesuatu yang dramatik muncul, tetapi seringkali ditegaskannya dengan beberapa sosok manusia atau burung di udara.Sehingga suasana dramatik tersebut sedikit kehilangan kesatuan. Tetapi pada beberapa lukisan lain, seperti Burung jalak, Bunga Wijaya Kusuma, Panorama -- Tjoen Tjay telah menampilkan sesuatu yang lebih sederhana. Bukan permainan cahaya. tetapi suasananya sendiri yang membuat gambar itu menjadi dramatik.Seekor burung jalak yang mengerling di tengah daun yang hijau, Pagoda di bukit (Taiwan) misalnya yang menjulang menjangkau angkasa dan sunyi, menimbulkan perasaan haru sederhana terhadap kesunyian dan keheningan serta kesendirian. Tjoen Tjay menunjukkan pula kebolehannya dalam melukis dengan gaya lukisan-lukisan Cina. Ia memiliki kekuatan pada garis dan masih tetap sanggup melantunkan puisi dari bidang-bidangnya yang kosong seperti galibnya lukisan-lukisan Cina. Lukisan Tikus misalnya, yang menampilkan seekor tikus di samping buah labu, tidak hanya menunjukkan kemahiran teknis, tetapi melantunkan haiku itu sajak-sajak pendek dari Jepang yang jitu menggambarkan kenyataan dalam hidup. Demikian juga lukisannya yang bernama Tupai, di mana tampak seekor tupai sedang makan buah anggur menyebabkan kita mengerti bahwa bentuk masih tetap mampu menyampaikan bermacam pengalaman batin -- meski pun sudah sering dikaji-kaji. Penampilan Sorentoro,terutama Lie Tjoen Tjay, bukan penampilan yang istimewa memang.Tapi selayaknya dalam perkembangan senilukis non figuratip khususnya pada masa ini, ada toleransi dari para pendukungnya terhadap senilukis figuratip. Karena hanya dengan cara demikian senilukis "non" itu sendiri dapat dengan cepat mengesankan dirinya 'Sada". Artinya kemudian bahwa "gaya" tetaplah hanya merupakan wadag dari nilai apa yang hendak disampaikan oleh pelukisnya. Walaupun gaya kadangkala adalah merupakan nilai terpenting dari sebuah pembaharuan atau pencaharian seorang pelukis. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus