Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Twentysomething. Lagu itu, ya lagu itu, seperti mengisahkan orang melamun. Liriknya tentang seorang pemuda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi. Usianya 20-an tahun, bebas dari kungkungan para dosen dan buku-buku teks, tapi tak sepenuhnya paham arti kebebasan itu sendiri. Seolah-olah berbicara kepada dirinya, anak muda itu bergumam: mungkin ia perlu bertualang dulu barang setahun, mungkin jadi resepsionis bekerja dari pukul 09.00 hingga 17.00, mungkin sekadar jatuh cinta dan siapa tahu itu akan menyelesaikan macam-macam masalah.
Twentysomething, sebuah nomor karya Jamie Cullum, 24 tahun, mencoba membedakan dunia kampus dengan dunia nyata. Mula-mula terdengar nada-nada bergerak lamban seperti diseret, tapi tanpa arah yang jelas. Kemudian, jari-jari tangan kiri penyanyi mulai bekerja, menggapai dua buah akor mayor, memainkannya silih-berganti, dan perlahan-lahan membentuk sebuah swing "nada seperdelapan" yang berbasis triplet, sebuah musik dansa yang heboh 60 tahun lalu. Sekarang musik memperlihatkan wujudnya yang lebih utuh. Melodinya nada-nada mayor sederhana, banyak mengandung repetisitapi kita pun tahu, bukan di situ si komponis meletakkan perhatian utamanya. Tangannya memainkan piano layaknya orang menabuh perkusi: ritmis, memaksa orang bergoyang.
Pagi itu, Sabtu 17 Juli, kepada TEMPO, Jamie Cullum, komponis, pianis, sekaligus vokalis dalam lagu Twentysomething, mengemukakan kekagumannya terhadap jazz atau swing yang dimainkan pada era 1930-1940-an. Jazz sebagai musik populer, musik kegemaran anak muda saat itu, dan sama sekali bukanlah musik yang mengerutkan kening banyak orang. Jazz sebagai musik yang simpel, musik dansa. Dan para penonton yang singgah di Klub Aquadisiac, Singapuratempat Cullum menggelar konser Asia pertamanyapada malam sebelumnya tentu bisa membuktikan hal itu. Mungkin tak ada yang membawakan karya Cole Porter, I Get a Kick Out of You, seliar Jamie Cullum. Suara Cullum, masih suara seorang anak remaja, cepat menghambur di sela-sela duet piano-drum. Interlude dilaluinya tanpa banyak improvisasi, namun permainan ritme sanggup meningkatkan tensi sang lagu. Dan puncaknya, interlude berakhir dengan sebuah entakan keras: tendangan sepatu kets Cullum pada tuts grand piano.
Jamie Cullum memang mengejutkan. Album Twentysomething (termasuk sebuah lagu dengan judul sama di dalamnya) menjual lebih banyak dari album bintang-bintang yang bersinar seperti Kylie Minoque, Robbie Williams, dan Christina Aguillera. Di Inggris, penjualannya mencapai double platinum, di atas sejuta kopi. Di Amerika Serikat, dalam kurun beberapa bulan ratusan ribu ludes. Pendek kata, Cullum dengan Twentysomething-nya tak lain dari sebuah success story sekaligus ladang emas, sukses yang mendorong label besar seperti Universal Music menyediakan satu juta poundsterling untuk rekaman dan promosi.
Malam itu, di atas pentas, Jamie Cullum bercerita tentang Ben, kakak kandungnya, inspiratornya. Sosok yang dilukiskannya memelihara rambut panjang namun sekarang sudah berwarna abu-abu. Dari sang kakak, ia mendapatkan gambaran dunia musik era 1930-1940-an dantentu saja1960-1970-an. Malam itu, Cullum juga memperlihatkan betapa kecil dirinya di hadapan seorang Jimi Hendrix, legenda gitar periode 1970-an. Wind Cries Mary, sebuah masterpiece karya Hendrix, menunjukkan betapa Cullum kehilangan personalitas musiknya, tenggelam di bawah pesona Jimi Hendrix. Cullum berhati-hati, memperlakukan Wind Cries Mary bagai barang keramat. Ia memainkan pianonya seperti Hendrix memetik gitar, menyanyikannya seperti senandung Hendrix.
Sebenarnya Cullum cukup kreatif. Tiga dari 14 lagu dalam Twentysomething adalah ciptaannya. Di samping itu, ia juga membubuhkan aransemen baru pada lagu-lagu klasik seperti Singin in the Rain, But for Now, I Could Have Dance, Blame It on My Youth, dan lagu-lagu lainnya. Namun, itu semua tak menjadikannya seorang artis jazz. Ia tidak berbeda dengan Norah Jones, yang memberikan percikan jazz dalam lagu-lagunya. Dan ia seorang crossover, pelintas batas dunia pop-jazz.
Ya, Cullum pelintas batas yang selalu berdekatan dengan dua predikat: "pencuri" lagu-lagu jazz bagi pencinta jazz fanatik, dan "pahlawan" yang "mencerahkan" kuping-kuping pencinta pop yang tak akrab dengan jazz.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo