Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Berita Tempo Plus

Kesenian 'Gado-Gado' Heri Dono

Seorang perupa kontemporer masuk ke wilayah kesenian yang belum dikuasainya. Hasilnya, sebuah karya performance art yang membingkai penafsiran penonton.

25 Juli 1999 | 00.00 WIB

Kesenian 'Gado-Gado' Heri Dono
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Pameran Instalasi Air ''Tirtara"
Karya:Heri Dono
Tempat:Lembaga Indonesia-Prancis, Yogyakarta
Waktu:15 Juli-6 Agustus 1999
Performance art adalah kesenian ''gado-gado"? Tampaknya, inilah pergelutan baru dalam dunia seni rupa di Indonesia. Sejak kelahirannya pada 1940-an hingga 1950-an, performance art (seni pertunjukan) merupakan medium alternatif di kalangan perupa kontemporer. Fenomena seni pertunjukan merupakan gejala ketidakpuasan perupa terhadap medium seni rupa konvensional, yang dianggap sudah tidak lagi memadai sebagai medium ekspresi. Adalah musisi dan perupa kontemporer semacam John Cage, Robert Raushenberg, Jim Dine, Claes Oldenberg, dan Merce Cunningham yang membuat karya kolaborasi teater multimedia dalam sebuah lokakarya yang membuka kontribusi dari seluruh cabang seni. Dengan pertemuan elemen musik, teater, tari, dan seni rupa dalam sebuah karya seni pertunjukan, diharapkan pemirsa dan seniman terlibat dalam sebuah pengalaman langsung tanpa dihalangi kehadiran obyek seni. Dari sinilah, seni pertunjukan merebak hingga di penghujung abad ke-20 ini. Munculnya gejala ini sekaligus juga menandai runtuhnya sekat-sekat yang dulu memisahkan cabang-cabang kesenian secara ketat. Seni pertunjukan baru muncul dalam ekspresi seni rupa Indonesia pada awal 1980-an, setelah terlebih dahulu dimulai dengan mixed media dan dilanjutkan dengan seni instalasi pada pertengahan 1970-an. Derasnya arus informasi seni dari Eropa dan Amerika telah mendorong generasi perupa dekade 1980 mengadopsi seni pertunjukan, di antaranya perupa Eddie Hara, Arahmaiani, dan kemudian disusul oleh Marintan Sirait, Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, dan Dadang Christanto. Arahmaiani bahkan sangat intens menggeluti seni pertunjukan sebagai sebuah karya independen, sementara perupa lain biasanya menggunakan seni pertunjukan sebagai pelengkap karya seni instalasinya. Sebagai karya ''gado-gado", seni pertunjukan merupakan bentuk kesenian yang menerjang wilayah sejumlah cabang kesenian yang sudah memiliki ukuran tersendiri, yang menyebabkan orang sampai pada penilaian tentang keberhasilan sebuah karya. Persoalan muncul ketika seniman seni pertunjukan pada umumnya hanya menguasai satu medium ekspresi saja, tapi mencoba masuk ke medium seni lainnya. Inilah yang banyak terjadi pada karya seni rupa seni pertunjukan di Indonesia, termasuk karya seni pertunjukan Heri Dono, yang mengawali pameran instalasi air ''Tirtara". Heri Dono memasukkan elemen musik, berupa petikan kecapi dan suling yang mengiringi tembang Jawa, di atas panggung yang tertutup layar transparan. Pada saat yang sama, seorang perempuan bertopeng yang hanya mengenakan kemben melakukan eksplorasi gerak. Pada titik klimaks, ia mengguyur tubuhnya dengan air. Sungguh sulit memberi makna yang lebih dari sekadar gejala fisik: ketika air menyentuh kulit, dan alunan tembang Jawa yang kadang terasa sumbang. Eksplorasi terhadap sumber bunyi, gerak, dan rupa seolah berdiri secara parsial, sehingga tak membentuk makna yang padu. Kehadiran obyek (seni) justru menghalangi pemirsa merasakan sebuah pengalaman kolektif yang dialami secara langsung. Tak aneh jika Heri Dono harus memberikan penjelasan pada akhir pertunjukan itu, yang pada akhirnya memaksa penonton masuk dalam bingkai penafsiran versi sang seniman. Dalam karya instalasinya, Heri Dono berhasil menggarap elemen rupa sehingga penonton terlibat dalam wacana yang ia coba tawarkan. Karyanya ini memberikan keleluasaan kepada penonton untuk menangkap makna dengan ukuran yang lebih jelas. Metafora air dalam mitologi Nyi Roro Kidul bagi alam mikrokosmos dan makrokosmos rakyat Mataram (Yogyakarta) digarap dengan efektif untuk menggambarkan keabsahan peran perempuan dalam sektor publik. Untuk itu, Heri Dono memanfaatkan elemen kinetik (bergerak) dalam karya instalasinya, berupa aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah, tapi kemudian mengalir lagi ke asalnya dengan memanfaatkan pompa air. Ini menunjukkan sebuah siklus alam, sebagaimana sejatinya peran perempuan. Di wilayah yang dikuasainya, Heri Dono kemudian tak perlu menjadi juru bicara karyanya sendiri. Berbeda dengan karya seni pertunjukan—yang belum dikuasainya betul—seni instalasi Heri Dono mampu tampil mandiri. R. Fadjri

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus