Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

La Galigo, Kisah Cinta di Singapura

Pertunjukan perdana La Galigo arahan Robert Wilson di Singapura. Wartawan TEMPO Seno Joko Suyono mengikuti latihannya pada Desember 2002 dan September 2003 di Bali dan kemudian menonton pertunjukannya. Berikut ini laporannya.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggung gedung teater utama Esplanade sepenuhnya sunyi. Dari tangga bambu yang panjang, seseorang dengan hem putih, dengan posisi terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, menyusur turun. Perlahan, tapi cukup mengejutkan. Lelaki dari "langit" itu adalah simbol kelahiran manusia modern.

Inilah sebuah pertunjukan yang dinanti-nanti banyak orang—terutama masyarakat kesenian Indonesia. Ada nama besar Robert Wilson dan pilihannya untuk mengangkat La Galigo, sebuah mitologi Bugis yang di Sulawesi Selatan sendiri telah lama dilupakan. Juga keputusannya melibatkan lebih dari 50 aktor dan penari muda—yang rata-rata selama ini tidak dikenal—dari Sulawesi, Papua, Jawa, dan Bali.

Pertunjukan yang bakal menyusuri Singapura, Amsterdam, Barcelona, Italia, dan New York ini sesungguhnya hanya melalui tiga kali pertemuan: dua kali latihan, Desember 2002 dan September 2003, di Purnati Art Center, Batuan, Bali, masing-masing dua minggu, dan terakhir tiga minggu menjelang pementasan di Singapura. Sangat singkat, dan itu menimbulkan pertanyaan tentang kesiapan para pemain. Apalagi Wilson, figur pendobrak opera tradisional itu, pada saat bersamaan juga memiliki produksi-produksi lain. Ketika latihan pertama di Bali, misalnya, ia baru saja tiba dari Paris, mengurusi pertunjukannya yang terganggu oleh imbauan pemogokan serikat kerja Prancis.

Selama ini, aktor dikenal bukan sebagai unsur utama pementasan Wilson. Ia tak mencari karakter, melainkan motif gesturkulasi, gerak, atau tablo yang mendukung image ruang. La Galigo bukanlah mitologi pertama yang dieksplorasi Wilson. Wilson termasyhur mampu mentransformasi sesuatu yang tradisional atau klasik seperti Hamlet, Prometheus, dan Medea menjadi penuh kejutan desain, set ruang multidimensional, bahkan digital opera. Itulah sebabnya technical rehearsal mengambil porsi latihan La Galigo paling lama di Singapura.

"Saya percaya La Galigo tak jatuh ke eksotisme. Tradisi selalu diangkat Wilson dengan perspektif baru. Klasik menjadi ultramodern," kata Borja Sitja, Direktur Festival Seni Barcelona, kepada TEMPO September itu di Bali. Dijadwalkan, La Galigo berpentas di Barcelona selama empat hari dalam Universal Forum of the Cultures pada Mei nanti. Latihan di Bali itu semuanya masih simulasi. Namun, berbekal kata-kata Borja, terbayang dalam pertunjukan sesungguhnya nanti La Galigo penuh dengan set prop, kostum yang "visioner". Imaji-imaji visual berdampingan muncul-menghilang mengalami metamorfosis. Sebab, untuk urusan kostum pun Wilson dikenal suka dengan desain yang mendeformasi bentuk tubuh, bukan dalam arti pakaian sesungguhnya.

Selama dalam latihan terlihat memang Wilson mencari bagian yang paling visual. Mulanya skenario adaptasi Rhoda Grauer terlalu panjang. Oleh Wilson, tema difokuskan pada seputar larangan soal inses—suatu tema yang sudah dikenal di dunia Barat semenjak Oedipus. "Struktur mitologi di mana pun sama," kata Wilson kepada TEMPO saat itu. La Galigo berkisah tentang Batara Guru dan We Nyilih Timoq yang memiliki sepasang anak, Sawerigading dan We Tenriabeng. Mereka dipisahkan. Tapi, setelah dewasa, Sawerigading mabuk kepayang dengan saudaranya. Terbentur larangan inses, ia menikah dengan We Cudaig, ratu Cina, lalu lahirlah La Galigo—yang ditampik oleh ibunya sendiri. Kisah berlanjut sampai La Galigo kawin dengan anak keturunan We Tenriabeng. Anak keduanya itulah "Adam dan Hawa"—manusia pertama versi La Galigo.

Dari latihan-latihan, terbayang bagaimana tim Wilson nantinya akan merekayasa tetes air mata We Tenriabeng, laut, perahu besar, dan lain-lain. Tiga dunia La Galigo, dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas, potensial untuk "sulapan-sulapan" panggung. Penonton teater Indonesia telah menyaksikan bagaimana beberapa tahun lalu di Teater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah, Ong Keng Seng, sutradara Singapura, dalam pentasnya King Lear mengubah panggung menjadi seperti lambung sebuah kapal. Atau pertunjukan Ong Keng Seng lainnya, Desdemona, di Teater Victoria, Singapura: panggung ditata seperti sebuah ruang instalasi virtual. Di situlah aktor Kathakali dan Kudiyattum berbahasa Sanskerta dari India, dengan dalang marionet dari Burma dan tari alusan Jawa, berinteraksi dengan kepungan empat layar video.

Kini Esplanade, gedung dengan arsitektur durian terbelah, di pinggir sungai Singapura, tempat La Galigo berpentas itu, lebih memiliki fasilitas tata panggung canggih daripada Teater Victoria. Harapan akan kejutan-kejutan visual makin menyala, apalagi ketika di Singapura terdengar kabar Wilson datang dengan dua kontainer berisi elevator, lantai panggung, dan tambahan lampu-lampu. Bahkan, karena ingin sempurna, menjelang pementasan pun Wilson masih melakukan perubahan-perubahan. Seminggu sebelum premiere, ia membutuhkan seorang anak kecil hanya untuk adegan melintas. Hingga akhirnya didatangkanlah Ni Luh Jinhi Antari, 7 tahun, putri penari Ktut Rina dari Teges, Bali.

Dan sampailah pada malam pertunjukan. Gedung Teater Esplanade penuh sesak. Sebuah tirai transparan bertuliskan aksara Bugis kuno mengheningkan penonton. Adegan awal adalah migrasi serombongan manusia dan satwa beriringan dengan langkah lamban. Baru kemudian masuk tokoh-tokoh utama. Namun, di luar dugaan, kostum yang ditata Joachim Herzog itu tradisional kental. Betul-betul sebuah tafsir yang cenderung eksotis, yang mengingatkan kita pada kostum-kostum sendratari kita. Apalagi kostum La Pananrang dan La Sinilele, dua pengiring Sawerigading—berperan seperti punakawan, yang kocak—berbelit sarung, bak dagelan Mataram.

Sesungguhnya penata kostum yang direncanakan semula adalah Donna Karan atau Kenzo. Tapi keduanya tak bersedia. Pada detik-detik akhir latihan September tahun lalu, dipilih Joachim Herzog, desainer dari Jerman. Dua puluh tahun lalu, Herzog pernah menjelajahi Sulawesi, dan pada 1987 bekerja sama dengan Wilson mementaskan sebuah naskah Euripides. "Ia dua kali melakukan riset di Jakarta," kata Yusman Siswandi dari Bin House, yang menyediakan seluruh materi kain. Keharfiahan tafsir Herzog, misalnya, bisa dilihat pada kostum Raja Cina yang mirip Kaisar Tiongkok. Padahal pengertian Cina dalam La Galigo, menurut arkeolog Inggris Dr. Ian Cadwell—yang melakukan ekskavasi di Bugis—bukan Cina jauh di sana, melainkan sebuah daerah di Sulawesi. "Ada bukit di Desa Sarrapao di Bugis yang disebut masyarakat sebagai Cina," katanya dalam diskusi, sehari sesudah pementasan.

"Saya kecewa sekali bukan hanya karena soal kostum," kata Jay Subiakto, "Harapan saya adalah dapat menyaksikan karya Wilson sekaliber Einstein on the Beach atau saat ia membuat instalasi untuk Giorgio Armani di Italia." Sutradara videoklip ini menilai banyak adegan La Galigo bukan hal yang baru. Pada 1990, misalnya, di Beijing ia menyaksikan opera Turandot karya Puccini yang disutradarai sineas Zhang Zimou. "Adegan awalnya persis seperti La Galigo. Ada layar transparan, tapi dengan aksara-aksara Cina. Namun kemudian adegan-adegannya sangat megah," katanya.

Kritik Jay memang beralasan. Tak diragukan bahwa Wilson memang seorang master cahaya. Menonton La Galigo ini kita dapat mengerti mengapa pementasannya sering dijuluki "theater of drawing"—ia cenderung menggambar ruangan; panggung seperti kanvas besar. Seluruh adegan tanpa percakapan: apa yang disampaikan aktor dapat dibaca pada teks di atas panggung, dan didukung suasana cahaya yang berubah dan respons musik pimpinan Rahayu Supanggah (yang lumayan bagus). Dari awal sampai akhir, mata penonton disuguhi cyclorama, permainan perbauran warna yang sangat memikat. Wilson seolah pemilik warna merah. Di tangannya kita seolah disodori warna merah yang tak pernah kita lihat.

Namun trik-trik panggung tak sepenuhnya mengejutkan. Dan bayangan "rekayasa panggung" bakal tak bisa dicapai oleh teaterwan kita atau mancanegara—menjadi buyar. Misalnya adegan satwa yang termasuk adegan inti. Mereka yang pernah menonton Lion King karya Julie Taymor—sebuah pertunjukan yang mendapat banyak inspirasi dari topeng-topeng Indonesia—akan merasakan betapa kurang variasinya. Pohon Welenrenge, pohon dalam La Galigo yang akarnya menghunjam ke tanah dan cabangnya menusuk langit, hanya dibuat dari teralis, tak menakjubkan. Kostum dan topeng-topeng monyet, capung, pelbagai macam burung, termasuk La Dunrung (burung Sawerigading), dan monster ubur-ubur juga terlalu sederhana. "Terutama jerapah, sangat jauhlah," kata Harris Priadi Bah, sutradara teater KAMI Jakarta, yang menonton Lion King di Tokyo dengan materi aktor semuanya Jepang.

Adegan laut, ketika We Nyilih Timoq (dimainkan Wangi Indriya, dalang wayang Cirebon) keluar dari samudra, disiasati hanya dengan bentangan kain putih panjang. Sebuah siasat yang juga dikenal dalam adegan pasukan kera, bala tentara Sri Rama, menyeberangi laut menuju Alengka di teater terbuka Prambanan. Saat adegan perang, berhadap-hadapan pasukan toya Negeri Cina dan pasukan pedang Sawerigading. Diiringi denting simbal riuh, satu lawan satu, para aktor yang telah berlatih silat Bugis di daerah Pao-Pao Gowa berusaha meloncat ke paha musuh menggetok kepalanya. "Wah, seharusnya Wilson menonton wayang wong Bharata," bisik seorang penonton dari Jakarta. Maksudnya karena wayang Bharata jauh lebih terampil adegan jumpalitan akrobatiknya.

Tapi, harus diakui juga, Wilson mengingatkan pada sesuatu yang sebetulnya bisa digapai oleh skenografer Indonesia tapi jarang diwujudkan. Misalnya soal naik-turunnya elevator yang dipakai oleh Patotoge—pencipta alam semesta yang setiap ada persoalan turun dari langit itu. Atau imaji kamar We Tenriabeng—yang diwujudkan Wilson dengan puluhan tali berwarna keemasan dijatuhkan berderet hingga bak tirai merah yang mengurung. Juga permainan siluet. Ada beberapa adegan semua aktor menjadi gelap di tengah panggung yang benderang. "Sebetulnya Bob juga agak tak srek dengan kostum, makanya banyak adegan siluet," ujar Iskandar Kama Loedin, asisten penata lampu.

Secara keseluruhan, keberhasilan La Galigo adalah bagaimana cerita yang rumit menjadi tontonan yang menghibur. Ia menjadi sebuah kisah asmara yang dapat dinikmati siapa saja tanpa harus berkerut kening. Kalangan Indonesia yang jarang menonton pertunjukan tari atau teater seperti di Taman Ismail Marzuki pun terlihat berbondong-bondong menikmatinya, menjadikan preview seperti "malam Indonesia". "Padahal, bila kita baca dua halaman La Galigo saja, sudah terasa rumit. Tapi empat jam pertunjukan ini menjadi sangat enak, ringan, lancar," kata Dr. Roger Toll, ahli La Galigo.

Seorang esais asal Sulawesi menyebut sesungguhnya petualangan Sawerigading dan La Galigo penuh dengan energi Dionysian. Sarat ledakan pengalaman liar, yang menembus batas-batas. Di tangan Wilson, malam itu La Galigo menjadi agak jinak, manis. Dari struktur cerita, bila kita andaikan, ia seperti buku La Galigo: for the Beginner. Penonton cukup bisa mengikuti cerita.

Selama dua hari pertunjukan, penonton selalu terbahak menyaksikan adegan Sawerigading pingsan saat menatap We Tenriabeng yang rupawan. Atau adegan percumbuan dalam sarung antara Sawerigading dan We Cudaig yang membuat We Cudaig hamil. "Saya suka sekali adegan-adegan teater ini," kata ahli Bugis, Dr. Christian Pelras Paris, yang sampai tiga kali menonton, seperti juga Sirtjo Koolhoff, ahli La Galigo lain yang penting. La Galigo bisa bangkit dari kubur. Pementasan ini seolah pintu masuk, mengundang lebih jauh siapa pun untuk menggali harta karun dunia yang hampir punah itu.

"Saya telah membicarakan dengan Franco Laera (Direktur Change Performing Art, produser La Galigo—Red.) kemungkinan-kemungkinan tentang pementasan di Indonesia pada Art Summit September nanti," kata Ratna Riantiarno. Gedung, menurut Ratna, bukan masalah apabila Wilson membantu dengan lampu-lampunya sendiri. Teater Tanah Airku, misalnya, siap. Cuma, biaya La Galigo yang sekitar dua setengah miliar itu yang menjadi problem. "Dana Art Summit cuma tiga miliar, ha-ha-ha...," katanya. Niat produser La Galigo membawanya ke Indonesia memang sudah ada. "Namun harus ada bantuan dari pelbagai pihak," kata Restu Imansari dari Purnati Art Center, ko-produser La Galigo.

Avant garde, penemuan kembali terhadap yang klasik, kata-kata ini selalu diulang Wilson. Karyanya sering bertolak dari komunitas-komunitas tradisi yang hampir punah. Keikutsertaan Puang Matowa, pandita tertinggi bissu, kini keliling dunia sedikit-banyak ternyata menimbulkan "gesekan" komunitas.

"Pada 8 November tahun lalu, tanpa sepengetahun saya, terjadi pertemuan bissu dari Wajo, Sopeng, Bone, Sigeri, Liwu, berniat mengganti saya sebagai imam tertinggi. Tapi masyarakat tak mau karena syarat pergantian adalah bila imam, saya ini, sudah meninggal," kata Puang Matowa Saidi, yang selama pertunjukan empat jam duduk di panggung, menyenandungkan teks La Galigo, dengan memakai topi bertanduk: Sariwatta Wellalangi, yang sering dipakainya saat memimpin upa- cara potong kerbau.

Pada 1850-an, masyarakat Bugis adalah komunitas besar di Singapura. Seorang Bugis bernama Hussein bin Ismail, sahabat sastrawan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, kala itu, menyalin beberapa bagian La Galigo. Ketika Raffles mengumpulkan naskah Melayu di Singapura, naskah itu terbawa serta ke Amerika dan sekarang tersimpan di Library of Congress, Washington. Kini—dari Singapura, La Galigo kembali akan berkelana dengan ujungnya pentas di Gedung Lincoln Center, New York. Itu akan luar biasa, apalagi bila didukung dengan penampilan yang terbaik.

Seno Joko Suyono (Singapura)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus