Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sutradara : Steven Spielberg
Skenario : Robert Rodat
Pemain : Tom Hanks, Matt Damon, Edward Burns
Produksi : Paramount Pictures dan Dreamwork Pictures
6 Juni, 1944. D-day.
Sepanjang pantai Normandy bagai dicat warna merah darah. Peluru berdesingan. Tubuh-tubuh berjatuhan. Harga nyawa diobral murah meriah untuk sebuah perang bernama Perang Dunia II.
Sutradara Steven Spielberg, nama besar kelas dunia dalam dunia sinema, memulai film sepanjang dua setengah jam ini dengan teror panjang. Sebuah adegan penyerangan yang berdarah selama 20 menit digelar di layar besar. Usus terburai; kepala pecah; tangan, kaki, dan kepala yang terpisah dan darah yang membanjir melunturkan warna biru laut.
Apa yang diinginkan Steven selain gambar kekejaman dan kesia-siaan?
Satu lagi. Perang Dunia II--yang biasanya lebih suka berkisah soal Nazi, Hitler, dan Yahudi yang dinistakan Jerman--kini berkisah tentang seorang nyonya sederhana bernama Nyonya Ryan di kota kecil kawasan Iowa. Dia menjadi begitu penting karena dia punya empat anak lelaki. Dari kaca jendela, kita melihat sebuah adegan yang begitu sublim, dan karenanya menjadi adegan terdahsyat dari seluruh film. Sang nyonya menyaksikan sebuah mobil utusan Kasad yang mengumumkan tiga di antara empat putranya tewas dalam wamil PD II. Kini, putra bungsunya, Private James Francis Ryan, ada entah di belantara Prancis sana, diterjunkan oleh pesawat di daerah yang salah--penuh dengan tentara Jerman--dan tak ketahuan apakah ia hidup atau mati. Kasad Marshall gundah-gulana mengingat Presiden Abraham Lincoln almarhum yang pernah menyesali pengiriman sesaudara lelaki yang tewas semua. "Kita harus mencari Ryan yang bungsu dan mengembalikan dia kepada ibunya, apa pun yang terjadi!"
Maka, satu regu tentara di bawah kendali Kapten John Miller (Tom Hanks) segera menyusup ke daerah musuh demi menyelamatkan satu nyawa bernama Private Ryan. Dan, seperti juga film Platoon arahan Oliver Stone, film ini kemudian berbicara soal setia kawan dan peperangan dengan diri sendiri. Mereka tidak pernah mengenal sosok Ryan, dan pengorbanan delapan orang yang satu per satu tumbang karena serangan tentara Jerman, demi satu prajurit bernama Ryan, sungguh di luar akal sehat. Pertengkaran dan keributan terjadi secara konstan karena pencarian sosok bernama Ryan akhirnya bagai mencari jarum dalam setumpuk jerami.
Dan ketika akhirnya mereka bertemu dengan Ryan--dengan regunya yang sedang mempertahankan sebuah jembatan di sebuah desa di Prancis--apa yang kemudian terjadi? Apakah ia serta-merta bersedia pulang--sesuai perintah Kasad--ke pelukan ibunya? Atau, ia merasa harus tetap berjuang di antara teman-temannya karena "nyawaku tak lebih berharga dari nyawa teman-teman seregu."
Spielberg adalah seorang sutradara dengan keistimewaan menyiasati teknologi. Film Jaws, ET, Jurassic Park, telah membuktikan Spielberg telah melakukan terobosan yang besar dalam menggunakan teknologi untuk membuat makhluk-makhluk asing menjadi makhluk hidup yang dipercaya keberadaannya. Namun ia bukan seorang sutradara yang menyelam di dalam kedalaman, bahkan ketika menggarap Colour Purple--dibintangi oleh Oprah Winfrey dan Whoopi Goldberg--sebuah drama yang dibuat berdasar novel ternama Alice Walker. Spielberg baru menemukan dirinya sebagai sineas yang lengkap--bukan hanya dalam soal teknologi, tapi juga penyutradaraan pemain dan penggunaan film sebagai sebuah bahasa komunikasi--dalam film Schlinder’s List yang menghasilkan tujuh piala Oscar, termasuk film dan penyutradaraan terbaik 1993.
Saving Private Ryan tampaknya memiliki keinginan untuk mengulang sukses Schlinder’s List, setelah Spielberg menemukan kegagalan dalam film Amistad. Ia mencoba meletakkan sebuah kisah personal--yang diwakili sosok Kapten Miller dan Private Ryan--dengan latar belakang besar dan sejarah--yakni Perang Dunia II--seperti yang telah dilakukan dalam Schlinder’s List. Namun, adegan-adegan peperangan (tembak-menembak, bom, ranjau, tank, dan seterusnya itu) yang berkepanjangan dan repetitif ini pada akhirnya lebih berfungsi hanya untuk mengejar efek daripada menyajikan sebuah arti melalui bahasa film. Dialog-dialog yang tidak istimewa, akting yang rata-rata (kecuali Matt Damon, aktor baru yang memang memperlihatkan bakat yang bersinar-sinar), dan kecenderungan menampilkan kekerasan sebagai sebuah efek, akhirnya membuat Spielberg melangkah mundur sejak Schlinder’s List.
Setelah menerobos dan merobek tradisi Hollywood--dengan berani membuat sebuah film hitam putih dalam Schlinder’s List--kini Spielberg kembali masuk ke kubangan yang sama, kubangan Hollywood yang penuh dengan dikte dan resep yang klise untuk sebuah sukses komersial.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo