Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE RECONSTRUCTION OF CRIME
Adaptasi: Caligula, karya Albert Camus
Produksi: Teater Jagung Indonesia
Sutradara: Hendriyana
Tempat: Universitas Pasundan, Bandung
Di sebuah ruang bawah tanah, di antara tiang-tiang dan lelangit beton yang dingin dan angkuh, terhampar lantai yang seluruh permukaannya tertimbun sekam. Balok-balok es mencuat atau rebah, beberapa menggelantung di udara.
Balok-balok es itu bak caling-caling stalagmit dan stalaktit di dalam gua purba. Tatkala cahaya membias samar, bongkahan es itu seakan bersambungan, menyerupai pilar-pilar. Kita serasa disekap dalam ruang itu. Setiap pilar seakan menyembunyikan misteri atau bahaya. Kekejaman bisa terjadi kapan saja. Lorong bukanlah jalan penyelamatan. Sebab, semakin menyusur ke dalam, kita akan dikepung ilusi ketakutan.
Dalam suasana latar seperti itulah Teater Jagung Indonesia melakonkan The Reconstruction of Crime, Senin malam pekan lalu. Naskah saduran Amrizal Sulaeman berdasarkan Caligula karya Albert Camus itu telah banyak mengalami pergeseran dari referensi utamanya. Peristiwa seakan kehilangan konteks. Ruang dan waktunya bukan lagi di istana kekaisaran Roma tahun 37-41 Masehi, melainkan entah di mana dan kapan. Para tokoh tak memiliki identitas. Peran Tokoh Kita dan Caligula hanya dapat diketahui pada teks, tapi lenyap dalam pengucapan. Tanpa membaca teks, siapa pun tak pernah tahu siapa tokoh-tokoh itu. Begitu pula Drusila, adik sekaligus kekasih Caligula, yang tergolong tokoh penting, hanya dimanifestasikan sebagai balok es.
Tapi balok-balok es itu juga menjelma menjadi sarkofagus, tempat Drusila dimakamkan, juga pilar dan bongkahan batu. Tanpa melisankan nama-nama, asosiasi yang hendak diacunya tak pernah sampai. Tak sedalam dan seluas Caligula garapan Malcolm McDowell yang mencoba merekonstruksi riwayat Kaisar Caligula, lakon saduran itu pun mengalami penyempitan dan pemiskinan. McDowell masih mempertahankan kompleksitas problem, dari wacana kekuasaan sampai norma susila dan kemanusiaan. Melalui gambaran pemujaan tubuh yang berlebihan, McDowell mencapai dua bentuk penyikapan terhadap tubuh: seks dan siksa, bahagia dan derita. Sedangkan cinta, sebagaimana yang diekspresikan Caligula terhadap Drusila, adalah paduan dari keduanya.
Dalam Reconstruction of Crime, wacana kekuasaan, susila, dan kemanusiaan tak diungkap secara proporsional. Hampir seluruh cerita didominasi sentimentalitas yang berpusar pada persoalan cinta. Kekerasan fisik sesekali memang dihadirkan, tapi hanya sebagai bias frustrasi yang bersumber pada duka dan dukana. Dimensi absurditas yang lekat pada karya Camus seakan tak terhayati karena yang terjadi justru carut-marut logika yang baur dan kabur. Gaya pelisanan yang berkecepatan tinggi tapi tidak artikulatif juga ikut memperparah kekaburan itu. Kata-kata mengalami distorsi pada tataran makna, sehingga yang tersisa hanya bunyi ujaran dalam beberapa variasi tekanan volumenya. Itulah yang dimaksudkan oleh Hendriyana, sang sutradara, bahwa dirinya mencoba memadatkan, menghindari verbalisme, dan tidak memihak? Andaikata ya, betapapun, seluruh ekspresi mereka tidak perlu menjadi ungkapan destruktif terhadap bahasa dan pelbagai simbol estetis lainnya.
Autentisitas juga masih merupakan problem ekspresi mereka. Dengan kesadaran yang disodorkan Hendri tadi, mestinya kelompok itu mampu menghadirkan keutuhan dirinya. Namun, yang terkesan justru tidak demikian. Pola dialog yang digunakan, di mana ekspresi masih merupakan hasil eksploitasi fisik dan kurang melibatkan psikis, mengingatkan kita pada beberapa repertoar Teater Sae di bawah penyutradaraan Boedi S. Otong beberapa tahun silam. Ini bukan berarti tak ada bagian yang mengesankan pada pementasan itu. Apabila kita mau menimbang faktor kesungguhan, repertoar itu cukup menegaskan bahwa mereka telah berupaya memberikan muatan gagasan pada karya melebihi sejumlah kelompok yang cuma mengandalkan banyolan dan akting yang serampangan. Stamina dan vitalitas mereka, juga tata artistik yang mampu menebarkan pesona, setidaknya menjadi modal yang cukup berarti bagi proses kreatif di masa-masa mendatang. Seperti Caligula yang terseok-seok menggotong jasad Drusila, mereka pun berkesan kepayahan mengusung gagasan.
Kendati begitu, sebagaimana Caligula, mereka seakan membisikkan kesaksian: "Manusia mati dan mereka tak bahagia."
Sitok Srengenge
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo