Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Dunia musik di Indonesia tentu tak asing dengan penyanyi atau musisi wanita. Bahkan, bisa dikatakan, penyanyi solo perempuan lebih mudah menjual lagu-lagu yang mereka nyanyikan dibanding para solois pria. Namun, menurut pengamat musik Robin Malau, posisi mereka masih terpinggirkan. "Meski konon sudah banyak perubahan, sepanjang sejarah industri musik Indonesia, kaum perempuan nyatanya masih saja terjebak dalam kondisi yang marjinal," kata Robin, pemilik perusahaan agregator musik Indonesia, Musikator.
Tentang peran perempuan dalam industri musik Indonesia akan dibahas dalam Ngobrol @ Tempo.co #MusikTempo pada Rabu, 29 April 2015 di Common People, Kemang Jakarta Selartan. Robin alan memandu perbincangan dengan penyanyi Tere sebagai narasumber.
Menurut Robin, industri musik Indonesia masih patriarkal, baik dilihat dari para petinggi perusahaan rekaman, media massa, penyelenggara acara, dan sejumlah elemen lain di industri musik. "Perempuan lebih sebagai obyek dan konsumen."
Tentu saja Robin mencatat solois Titiek Puspa dan kelompok band Dara Puspita pada 1970-an. "Akan tetapi tak banyak perempuan yang mampu menjadi dirinya sendiri dalam industri yang masih sangat misoginis kala itu," ujar dia. Para musisi perempuan hanya mengekor di belakang tren yang diciptakan musisi pria. Yang lebih parah, mereka kerap hanya menyuarakan lagu-lagu yang dibuat oleh musisi lelaki.
Hal itu amat terasa pada 1980-an ketika para pencipta lagu pria menciptakan lagu-lagu "cengeng" yang dinyanyikan oleh para penyanyi wanita dengan mata sendu dan berurai air mata. Perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang cengeng dan korban pria, tanpa bisa melawan.
Robin mencatat ada perkembangan menarik pada 1990-an. ketika satu-dua musisi perempuan muncul dengan semangat independen, yang mungkin juga terinspirasi dari gerakan feminisme dalam industri musik di Barat kala itu. "Di antaranya adalah Oppie Andaresta yang vokal dalam menyuarakan sudut pandang perempuan mandiri. AtauMelly Goeslaw yang lantang berbicara lewat lirik lagu yang nyeleneh dan berani. Semangat itu sempat terus bergulir di era 2000-an, bisa kita cermati dari lagu-lagu ciptaan Kikan, ujung tombak band Cokelat saat itu, begitupun lagu-lagu tERe, Audy, Andien, bandperempuan SHE, Utopia, dan masihbanyak lagi."
Sayangnya, angin segar itu kembali berhenti belakangan ini, ketika demam lagu Melayu yang dilanjutkan dengan serangan girlband ala Korea yang melanda seluruh dunia. "Industri musik yang tengah bertarung melawan transisi digital dan keganasan pembajakan, kembali berupaya mengambil kendali atas tubuh perempuan," ujar Robin lagi.
Hasilnya? Kelompok vokal perempuan berkostum seragam dan berwajah nyaris sama, digadang-gadang menjadi dagangan terbaru industri musik. Mirisnya lagi adalah ketika hanya kemasan produklah yangmenjadi titik beratnya, bukan musik. Perempuan kembali dicitrakan oleh industri musik sebagai makhluk yang tak berdaya, kali ini sebagai boneka cantik seperti Barbie.
Di saat seperti ini, Robin melihat kemunculan sebuah gerakan perjuangan perempuan melalui musik dengan nama"Sisterhoodgigs". "Cikal bakal gerakan ini dimulai dari sebuah event spontan di kafe Earhouse milik musisi indie Endah dan Rhesa, yang mengajak sejumlah musisi perempuan seperti Kikan,Melanie Subono, tERe, Pia (ex vokalis Utopia) danduo PopTheDisco FiA danSara, berbagi ketulusan rasa lewat musik."
tERe yang masihterinspirasi dengansemangatkebersamaanitu lantasmengajak FiA, Riry (ex gitaris SHE), dan Sara, untukmenginisiasi perhelatan musik berkala dari perempuan untukperempuan. Ide dasarnya adalah sharing and jamming dengan semangatkekeluargaan. Sebuah event musik pro bono sebulan sekali, yang ditujukanbagimusisi perempuan, baik yang sudah berpengalaman maupun barudibelantara musik.
Sisterhoodgigs memang baru menggelar 6 kali sesi akustik sejak 28 Oktober 2014, namun yang menarik adalah respon positif yang begitu besar dari banyakmusisi perempuan. Ruang berekspresi yang hangat penuh semangat kekeluargaan inilah yang dirindukan oleh perempuan yang ingin berkarya di musik. Tempat di mana mereka bisa menjadi diri sendiri, tanpa terbebani pesan sponsor, kemauan produser, maupun tekanan manajer.
Menurut Robin, Sisterhoodgigs seakan menjadi melting pot yang mampu mencairkan gap antar musisi perempuan, melekatkan sekaligus menjadi ajang berbagi, menyediakan ruang berekspresi tak berbatas, dalam konsep musik akustik yang intim dan interaktif tanpa sekat dengan penonton.
Apakah usaha mereka berhasil? "Memang masih banyak jalan yang harus ditempuh untuk bisa merekonstruksi peran perempuan di industri musik. Namun setidaknya melalui gerakan Sisterhoodgigs ini, khalayak luas tahu bahwa perempuan Indonesia yang memilih musik sebagai jalan hidupnya, punya pilihan menjadi pelaku ketimbang sekadar menjadi objek dalam industri," kata Robin.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini