Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sokola Rimba
Sutradara: Riri Riza
Penulis skenario: Riri Riza
Pemain: Prisia Nasution, Rukman Rosadi, Nadhira Suryadi, Nyungsang Bungo, Nengkabau, Beindah
Produksi: Miles Films
Kisah Butet Manurung yang mengajar anak-anak suku Anak Dalam di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, sudah banyak kita dengar. Bahkan enam tahun lalu Butet sudah mengeluarkan buku berjudul Sokola Rimba, yang bercerita tentang pengalamannya itu. Ketika duet Riri Riza dan Mira Lesmana mengangkat buku itu ke layar lebar, kita berharap mereka mengulang keberhasilan mengangkat kisah anak-anak Belitong dari novel Laskar Pelangi.
Sokola Rimba menjadi film keempat yang mereka adaptasi dari buku, setelah Gie (2005) yang dibuat berdasarkan buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie (1983), serta Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) dari novel karya Andrea Hirata.
Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman hutan Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu, dan binatang buruan yang semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan rebah dihajar gergaji mesin. Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak bisa berbuat apa-apa. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang-orang terang—sebutan bagi orang kota—untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.
Saur Marlina Manurung, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba lebih pintar supaya tidak gampang dibohongi. Tak sekadar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung, ia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat orang Rimba bisa "bersuara" dan memberdayakan diri. Tentu, itu tak gampang. Bagi suku Anak Dalam, pendidikan merupakan hal tabu dan bisa mendatangkan malapetaka. Butet tidak menyerah.
Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya yang setebal 250 halaman itu divisualkan ke dalam film. Ada keterbatasan durasi. "Sebagai pembuat film, yang penting adalah apa yang bisa saya ceritakan dari gagasan buku itu," ujar Riri. Berbagai aspek menarik dari buku itu ia kembangkan dan diintisarikan menjadi skenario yang panjangnya hampir 60 halaman. Terbilang pendek dibanding skenario yang dibuat Riri sebelumnya.
Inti film ini berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Bungo ini pula konflik dibangun.
Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hulu Sungai Makekal, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah hutan dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Bungo.
Kemunculan Bungo—yang diam-diam memperhatikan Butet mengajar, dan keinginannya yang kuat untuk bisa membaca dan menulis—mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Bungo. Maka mulailah muncul masalah. Tidak cuma memanaskan hubungan Butet dengan Bahar—atasannya di lembaga konservasi yang menentang rencananya itu—Butet juga harus berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.
Dari interaksi keduanya, film ini selanjutnya mencoba menggambarkan kehidupan masyarakat Rimba dengan problematikanya. Lewat tokoh Bungo, dan dua anak Rimba yang setia menemani Butet, Beindah dan Nengkabau, kita melihat bagaimana anak-anak Rimba sesungguhnya cerdas dan ingin belajar. Harapannya tak muluk-muluk. "Kalau kami pintar, kami pasti bisa menghentikan orang-orang itu supaya tidak lagi terjadi penebangan liar…," tutur Nengkabau.
Kisah Butet memang penuh drama dan menginspirasi. Tapi, berbeda dengan novel Laskar Pelangi yang fiksi, buku Sokola Rimba bukanlah fiksi, yang pengadeganan dan deskripsinya sudah lengkap. Dramatisasi juga tidak ada. Itu artinya Riri harus membuat sendiri pengadeganannya agar muncul cerita. Tapi tampaknya itu pun tak mudah. Di banyak tempat, Prisia Nasution yang memerankan Butet terdengar "berpidato", menarasikan apa yang seharusnya diadegankan.
Riri sebenarnya pernah berhasil memindahkan buku nonfiksi, memoar Catatan Seorang Demonstran, ke layar kaca. Ada memang sedikit narasi di sana, tapi cara penuturannya sangat imajinatif. Dalam film ini, hal itu tidak terjadi. Menonton Sokola Rimba seperti menonton film dokumenter National Geographic.
Sebagai sebuah film cerita, Sokola Rimba memang tetap memasukkan tokoh rekaan dan dramatisasi. Tapi itu tak membuat Riri menghilangkan narasi. Dia mungkin punya alasan lain. Dengan membuatnya seperti film dokumenter, kita justru bisa melihat kehidupan anak Rimba yang natural. Mengambil lokasi syuting di rimba Bukit Dua Belas dan melibatkan suku Anak Dalam, hal itu terlihat jelas. Misalnya cara mereka bicara, berpakaian, berburu, dan berhubungan dengan orang lain, hingga ritual adat. Apa yang mereka ungkapkan dalam film terasa betul murni dari hati.
Hanya, karena film ini dibuat berdasarkan catatan pengalaman Butet yang orang luar, problematika orang Rimba dan pergulatan batin mereka yang sesungguhnya tidak terlampau tergali. Kita melihat masyarakat Rimba dari kacamata Butet.
Keberhasilan Riri mengarahkan anak-anak asli Belitong dalam Laskar Pelangi kini pun dia ulangi. Bocah-bocah Rimba itu tampil natural di depan kamera. Beindah dan Nengkabau bahkan mampu mencuri perhatian penonton lewat tingkah polahnya yang kerap mengundang tawa. Termasuk umpatan, "Raja penyakit!"
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo