Teater Gandrik
BRIGADE MALING |
Sutradara | : | Heri Dono |
Tempat | : | Lembaga Indonesia-Prancis, Yogyakarta |
Waktu | : | 15 Juli-6 Agustus 1999 |
SYAHDAN, para elite politik di negeri (Praja) tengah berkonspirasi. Negeri penganut sistem "kleptokrasi" ini bersetuju untuk mencanangkan "program penyerahan hati nasional", demi menyelamatkan Praja dari "krisis ketidakpatuhan". Rakyat, tanpa menyadari unsur manipulasi itu, rela menyerahkan hatinya. Yang membangkang niscaya menjadi buruan pasukan siluman. Di tengah konspirasi itu, kompetisi antarkepentingan yang melibatkan pemegang pucuk komando hankam, komandan pasukan siluman, ideolog dan cendekiawan, serta pemimpin spiritual, berkembang biak. Intrik melebar dan berakhir dengan kudeta dan peralihan kekuasaan.
Kendati tak secerdas dan sebernas beberapa repertoar sebelumnya (Dhemit, Orde Tabung, dan Upeti), ada yang patut diperhatikan dari pentas Teater Gandrik kali ini. Mereka menunjukkan kemampuan khusus, yakni keberhasilan mengelola citra teater. Jika kelompok lain cenderung ditinggalkan dan dilupakan, Gandrik justru terkesan dirindukan. Selama tiga hari, Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), yang berkapasitas 800 kursi, tak sanggup menampung pengunjung. Di depan loket, calon penonton berdesakan dalam antrean yang panjang, sementara para calo berkeliaran menawarkan tiket dengan harga berlipat ganda.
Keadaan itu agaknya mendorong pengelola TIM untuk memanfaatkan kesempatan dengan menjual tiket tanpa tempat duduk. Gedung pertunjukan itu nyaris menyerupai angkutan umum yang diisi melebihi kapasitas normal. Penonton berjubel di gang, di antara jajaran kursi. Teater seakan bukan lagi sarana berkontemplasi demi pencapaian katarsis, tetapi menjelma sebagai ajang bisnis.
Membeludaknya penonton tentu patut disyukuri, mengingat kemampuan membina hubungan dengan penonton tetap menjadi problem klasik teater kita. Bahwa problem itu mampu diatasi Teater Gandrik, agaknya tak lepas dari upaya kreatif yang digeluti para anggotanya. Sebagai kelompok, Gandrik memang telah absen dari mata penonton selama enam tahun. Namun, beberapa personelnya terus eksis, bahkan semakin bersinar di bidangnya masing-masing. Butet Kartaredjasa, misalnya, tambah beken lewat monolognya yang satiris, sarkastis, dengan kemampuan andal memainkan potensi grotesque untuk memarodikan karakter tokoh-tokoh utama negeri ini. Nama Djaduk Ferianto populer berkat karya-karya musiknya di panggung pertunjukan, sinema, dan program modifikasi musik "Dua Warna". Selain pencinta Gandrik yang rindu penampilan grup dari Yogya itu, penggemar Butet dan Djaduk (bahkan yang tak kenal Gandrik) pun tentu ikut berbondongan.
Namun, mengapa kepiawaian para awak Gandrik itu tak tersaji dalam jalinan artistik yang terpadu? Padahal, naskah dicipta oleh tiga penulis berpengalaman: Agus Noor, Heru Kesawa Murti, dan Indra Tranggono. Sang sutradara Jujuk Prabowo diakui sebagai seorang jagoan gaya sampakan. Peran-peran penting didapuk para pemain yang layak diandalkan. Bahkan, "kredo" artistik tak jauh beranjak dari tradisi Gandrik: memasukkan pelbagai unsur tradisi (wayang, ketoprak, tari klasik, gamelan) dan dramaturgi teater modern.
Naskah yang ditulis tiga orang bukanlah alasan yang signifikan bagi alur yang tak terjaga, ketiadaan fokus, atau topik yang melesat ke mana-mana. Isinya berpretensi mengakomodasi pelbagai masalah sosial-politik tanpa daya interpretasi yang tajam. Dengan gaya terlalu royal mencomot isu yang berkelebatan, cerita jatuh pada hujan banyolan. Apalagi ini semua dikaburkan oleh gambaran karakter yang tak konsisten, identifikasi tokoh yang terkadang asosiatif dan lepas dari pigura referensi sosiologis. Butet, misalnya, tampaknya susah membebaskan diri dari stereotip yang selama ini dibangunnya. Tak ayal, lakon berdurasi 90 menit itu lebih merupakan seporsi humor yang diracik dari sengkarut rumor: renyah dan ringan, tapi tak mengenyangkan.
Memang, kesungguhan di dunia teater tak lebih dari sesuatu yang "main-main". Namun, betapapun main-main, ia butuh kesungguhan. Pertunjukan Brigade Maling lebih mengesankan sebagai realitas panggung yang didominasi kesadaran bermain-main.