Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPOTONG tongkat selalu menemani ke mana pun ia pergi.
Usia telah merentakan tubuh, tapi Luh Ketut Suryani, 61 tahun, masih bersemangat. Se-tiap pekan ia rela menempuh perjalan-an sekitar 300 kilometer dengan mobil pribadi dari rumahnya di Denpasar ke Karangasem. Tujuannya hanya satu: me--mastikan pedofil mendapat hukum-an yang setimpal.
Di ujung timur Bali tengah digelar sidang kasus pedofilia. Terdakwanya Mi-chele Rene Heller, 56 tahun, seorang warga negara Prancis. Dia didakwa men-cabuli tiga bocah Bali. Bukan sekadar menonton, Suryani juga jadi saksi ahli dalam kasus yang disidangkan di Pengadilan Negeri Amlapura ini.
Suryani selalu mengelus dada me-li-hat banyaknya anak-anak yang men-jadi korban kriminalitas sek-sual. De--ngan imbalan sedikit duit, mereka rela ”dimangsa” turis-turis asing. ”Se-mua ini efek buruk pariwisata di Bali,” katanya. Inilah yang mendorong dia mendirikan lembaga swadaya masyarakat Putra Sesana Bali pada 1990. Didanai dengan duit Suryani sen-diri, LSM ini berusaha memantau, bahkan- me-lacak, gerak dan perilaku kaum pemangsa bocah di Bali.
Sebagai seorang psikiater, dia tahu betul penderitaan yang dialami para bocah itu. Kliniknya di Denpasar -se--ring menangani mereka. Tak jarang pu--la Suryani datang langsung ke kam-pung-kampung di Karangasem, Buleleng, untuk menolong para korban. Tak sesen pun dipungut bayaran dari mere-ka.
Korban ditangani dengan hypnothe-rapy. Suryani meminta si korban mele-paskan seluruh tekanan batin dan trau-ma yang muncul akibat perlakuan tak senonoh. Korban lalu mengisahkan secara detail apa saja yang dialami hingga ia melepaskan tangis, pertanda -beban mulai lepas.
Kehadiran Michele Rene Heller di Ba-li sebenarnya sudah terlacak Suryani sejak 1996. Ini berkat kejelian LSM-nya menelisik gerak-gerik para pedofil ber-topeng turis. Tak terhitung jumlah mangsanya, tapi polisi baru menciduk pria botak itu pada awal Maret lalu. Itu pun atas informasi Kedutaan Besar Prancis.
Lahir di Singaraja pada 22 Agustus 1944, Suryani berasal dari kalangan bia-sa. Boleh jadi dia mewarisi ”jiwa pemberontak” yang dari ayahnya, Nyoman Purna. Sang ayah adalah perawat didik-an Belanda yang dikenal sebagai aktivis Parindra. Perjuangan ayahnya selalu menjadi cambuk bagi Suryani untuk juga membebaskan Bali dari dampak buruk pariwisata. ”Jangan mengubah Bali hanya karena uang,” katanya.
Dia meraih gelar dokter dari Universitas Udayana pada 1972. Melanjutkan studi di Universitas Airlangga, Surya-ni akhirnya meraih gelar doktor pada 1988. Sekarang dia menyandang gelar guru besar dan menjadi Kepala La-boratorium Psikiatri, Universitas Udayana.
Di Bali, dia dikenal sebagai orang per-tama yang menggabungkan ilmu ke-dokteran dengan meditasi. Dia sudah belajar meditasi sejak usia 12 tahun. Dia menyebarkan ilmunya ke Australia, Italia, Jerman, dan Swiss lewat berbagai konferensi dan kepada berbagai tamu dari luar negeri yang berkunjung ke Bali.
Rumahnya di Jalan Gandapura, Denpasar, tak pernah sepi dari kesibukan. Pagi-pagi, ia sudah harus mengadakan pertemuan dengan kawan-kawannya di LSM. Mereka membahas berbagai per-soalan Bali dari sisi sosial, budaya, kesenian, hingga agama. Sore harinya, sepulang dari kampus, ia mesti mela-yani pasien di kliniknya.
Setiap Sabtu sore, Suryani memimpin meditasi di wantilan (balai pertemuan) gedung DPRD Bali. Paling tidak, 50 orang yang hadir. Gratis. Bahkan pada hari-hari setelah bom Bali, pesertanya membludak sampai ratusan orang.
Beberapa tahun terakhir, pedo-filia -me-rupakan kasus yang paling me-nguras perhatiannya. Dia sungguh kecewa tatkala Mario Mannara, turis Ita-lia, cuma diganjar 10 bulan penjara di Pengadilan Negeri Singaraja pada Desember 2001. Jaksa pun hanya me-nuntut hukuman 15 bulan.
Itu sebabnya, Suryani kemudian men-dirikan Committee Against Sex Abuse (CASA), LSM yang khusus mena-ngani perlindungan anak-anak korban ke-ja-hat-an seksual. Sengaja dia menamai lem-baga ini dalam bahasa Inggris agar lebih bisa bergaung di tingkat in-ter-nasio-nal. Dana operasional LSM ini berasal dari kantong para anggotanya. Para relawan yang membantu di lapang-an juga tak digaji.
Lewat lembaga itu, Suryani berjuang agar para pedofil dihukum berat. ”Saya katakan, mari kita gunakan hati nurani. Janganlah kita yang sudah miskin dalam banyak hal, miskin pula dalam penegakan hukum,” katanya.
Baginya, pedofilia merupakan masa-lah besar dan tanggung jawab semua ne-gara. Suryani mengajak para ekspa-tri-------at dan konsul jenderal yang ada di Ba-li terlibat dalam CASA. Mereka mem-beri dukungan. ”Mereka malu jika ada warga negaranya terlibat,” kata Suryani.
Di matanya, menjerat pelaku pedofil- tak cukup hanya mengandalkan pa-sal---pasal KUHP. Undang-Undang Per-lin-dungan Anak, UU Nomor 23 Tahun 2002, juga mesti digunakan. ”Kita ha--rus menunjukkan di mata internasio-nal, kita berani menjatuhkan hukum-an berat kepada pelaku pedofilia,” ujar-nya.
Ketika kasus William Stuart Brown, mantan diplomat Kedutaan Besar Australia di Jakarta, mencuat pada Janua-ri 2004, dia bergerak cepat. Suryani menggerakkan massa untuk berdemonstrasi setiap kali sidang Brown berlangsung. Ia bahkan tampil sebagai saksi ahli. Tak sia-sia, akhirnya si pencabul bocah di-ganjar hukuman 13 tahun penjara. -Se--hari setelah divonis, Brown tewas gantung diri di selnya. Dia terpukul, tak mengira dihukum demikian berat.
Bukan hanya pedofil yang dia pe-rangi. Namanya melekat pada hampir setiap gerakan menentang komersialisasi Bali. Ia gerah lantaran hampir semua sisi kehidupan di Bali menjadi komoditas demi pariwisata. Ini tak per-nah tebersit dalam benaknya semasa kecil. ”Waktu kecil saya melihat Bali serba indah. Tidak ada pencuri. Pergi ke mana-mana bebas. Betapa enaknya jadi orang Bali,” katanya.
Kegelisahannya dituangkan ke da-lam buku yang dituliskan saat suami dan anak-anaknya telah tidur. Buku ter-sebut, The Balinese People, diterbitkan pada 1992, menggambarkan betapa ia masih yakin Bali tidak akan berubah. Ia percaya jika orang Bali masih ber--pegang pada ajaran Hindu dan percaya pada leluhur, kehidupan di Pulau Dewata tidak akan terusik.
Suryani sungguh kesal ketika bisnis pa-riwisata menggila di buminya. Tiap jengkal tanah di pulau itu dikapling-ka--pling demi pariwisata. Pemilik uang berlomba mencabik-cabik Bali. Pen-duduk di Nusa Dua terusir dari tanah le-lu-hur. Popor senjata pun ikut bicara. ”Per-sis ketika penduduk di pantai -Ha-wai harus melepaskan tanahnya -de--ngan dalih untuk kepentingan militer,” ujarnya.
Untuk pertama kalinya rakyat Bali -se---cara besar-besaran berdemonstrasi -me-----no-lak pembangunan Bali Nirwana- Resort, tak jauh dari Pura Tanah Lot, pa-da 1993. Suryani juga turun ke jalan. Aki-bat aksinya, dia dan kawan-ka-wan ha-rus ber-pindah-pindah tempat per--te-muan karena terus diburu tentara. Ibu enam anak itu kemudian menuang-kan keprihatinan atas tanah kelahiran ke dalam buku Bali di Persimpangan -Jalan (1994).
Meski menyerempet agama lain, Sur-yani berkali-kali juga menyerukan agar- azan di masjid tidak harus selalu di--kumandangkan lewat pengeras -sua-ra. ”Saya tidak anti-agama lain, tapi bi--sa-kah keaslian Bali tak diganggu? Orang Bali butuh keheningan ketika men-jalankan ritualnya,” katanya.
Ketika diundang ceramah di berbagai kampus di luar negeri, dia juga sering mengungkap keprihatinannya tentang Bali. Pada Oktober 2004, saat berbicara di Institut of Science San Francisco, misalnya, Suryani mengingatkan ber-kurangnya air tanah di Bali karena lahan kian sempit. ”Saya katakan, kalau Anda cinta Bali, jangan berenang di kolam renang hotel. Air di Bali semakin sulit. Mandi saja di laut.”
Pariwisata ternyata tak hanya merusak kemurnian tanah Bali, tapi juga bo-cah-bocahnya. Para pedofil ikut menye-linap di arus deras turis-turis asing. Itu sebabnya, Suryani gencar mengimbau kaum perempuan Bali agar men-jaga anak-anak mereka. ”Kalau Anda tidak punya waktu untuk mengurusnya, le-bih bagus tidak punya anak atau cukup satu saja. Jangan lahirkan ba-nyak anak yang bermasalah!” ujarnya.
Jalil Hakim dan Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo