Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otto Syamsuddin Ishak
Peneliti di IMPARSIAL, Jakarta
Assalaum alaikum he teungku bandum
Lon mubri saleuem ngon teungku dumna
(Assalamualaikum wahai teungku semua
Saya sampaikan untuk teungku semua)(Sumber: syair pembukaan Seudati sebagai salah satu bentuk paduan musik tutur dan tubuh.)
Siklus hidup orang Aceh dilingkari musik tutur. Sejak anak dalam usia balita—baik di ayunan maupun di pelukan—sudah didendangkan sejumlah hikayat dari berbagai periode sejarah. Syair yang terkenal adalah Do-Do Daidi, yang mencerminkan kehendak orang tua agar anaknya kelak menjadi kesatria yang tak takut menumpahkan darah.
Syair ini dilirikkan dalam album Nyawoeng. Barangkali, dalam konteks Aceh kini, ia bisa menimbulkan efek ganda. Bagi orang Aceh, hal itu menimbulkan keberanian untuk mengambil sikap kesatria. Namun, bagi penguasa militer, ia menimbulkan risi. Akibatnya, penguasa melakukan aksi pelarangan, sweeping, dan pemberangusan album Nyawoeng.
Ketika musik Aceh bangkit kembali, kita bisa melihat ada dua sumber lirik, yakni hikayat pra-kolonial, kolonial—seperti cuplikan dari Hikayat Perang Sabil, serta syair-syair baru yang mencerminkan apa yang sedang terjadi di bumi Aceh saat ini. Masa lalu dan masa kini Aceh—melalui proses musikalisasi—dimasukkan kembali ke dalam diri orang Aceh.
Hikayat pra-kolonial lazimnya memuat petualangan anak raja yang budiman dalam meudagang (menuntut ilmu) hingga mendapatkan pengalaman sufistik, sebelum petualangan meraih kembali takhtanya. Banta Beuransah berada dalam petualangannya memasuki sebuah dunia aneka hayati yang penuh makna simbolis hingga terjelaskan setelah seorang aulia hadir. Dalam hikayat lain, Malem Diwa mengalami pengalaman sufistik. Dalam petualangannya untuk menolong para putri, ia selalu mengendarai Buraq, kendaraan Nabi Muhammad SAW saat ber-isra-mikraj.
Sumber syair atau lirik musik lainnya—dan ini sangat penting—adalah hikayat-hikayat yang menjadi fondasi keislaman dan mencerminkan bentuk religiositas orang Aceh.
Kenapa album Kande oleh Rafly menjadi begitu kuat diserap oleh orang Aceh? Mungkin karena ada lirik tentang asal-usul negeri. Apalagi, ketika album dirilis, konteks politik di Aceh pun sedang menyediakan ruang besar bagi publik untuk memikirkan siapakah yang berhak memiliki sebuah negeri.
Asai Nanggroe … bak Rimba Tuhan …..
Huteun beuraleun, hana manusia, eee haa
Teuka indatu … meusosah pa yah …
Rimba le geucah geu lah lah daya
Negeri itu pada mulanya adalah rimba milik Tuhan. Tiada manusia. Kemudian nenek moyang pun mulai bersusah-payah menebas rimba. Dalam konteks politik kekinian Aceh, tempat klaim-klaim politik saling berbenturan, syair ini mendapat ranahnya. Orang Aceh seperti mendapat jawaban yang nalar dan sekaligus pegangan yang kuat: apakah mereka yang sudah bernenek-moyang sediakala di Aceh ataukah mereka yang datang dari negeri "Atas Angin" yang berhak memiliki Aceh?
Kepada publik luar Aceh, syair itu memberikan pegangan politik, tetapi juga—yang paling penting—adalah pegangan ilahiah. Ke dalam diri orang Aceh itu sendiri, syair berpesan bahwa negeri adalah pusaka nenek moyang.
Sumber lirik lainnya, baik bagi album Rafly maupun Nyawoeng, adalah hikayat Saydina Usen. Penulis lirik menggubahnya dengan improvisasi yang menimbulkan efek magnetis yang kuat. Syair yang berbentuk sejarah lisan tentang perbenturan keagamaan dan politik seakan menemukan ranah di Aceh kini. Bagaimana politik mengalami "agamanisasi", dan agama mengalami politicking. Sayidina Husein pun menjadi syahid dalam perang; serta Sayidina Hasan syahid diracun.
Syair-syair pra-kolonial sarat dengan aneka muatan agama yang historis, sufistik, politis. Kesemuanya itu membentuk karakter kekesatriaan-spiritual atau futuwwah. Mereka yang melawan penguasa secara terorganisasi. Dalam sejarah muslim, kita bisa menerima apa yang dikatakan oleh Seyyed Hossein Nasr bahwa futuwwah dianut oleh banyak kalangan non-Arab, terutama Persia.
Bila kembali ke konteks Aceh pra, tampaknya, jika dilihat dari artifak seninya, Aceh merujuk pada sufisme Persia. Hikayat Saydina Usen merupakan salah satu dari hikayat yang memformat karakter futuwwah. Hikayat lainnya, hikayat Nubet Nabi, kisah tentang asal-usul penciptaan dengan prinsip Nur Muhammad. Dalam versi lain, hikayat Masa Jeut Donya (Masa Penciptaan Dunia). Hikayat Aulia Tujoh (Tujuh Aulia), kisah tentang tujuh pemuda yang tertidur melintas zaman. Hikayat Peudeueng (Pedang) mengisahkan Fatimah, putri Nabi.
Artifak Islam sufistik Persia terus berkelanjutan hingga ke era kegemilangan intelektualitas Aceh, dengan tokohnya Hamzah Fansuri. Puncak religiositas-sufistik terekspresikan ke dalam puncak syair simbolis Melayu. Nama-nama sufi yang tersebutkan mencerminkan sumber akar sufistik Hamzah, yang kesemuanya terpulang pada Sayidina Ali. Hikayat Perang Sabil merupakan turunan berikutnya dari syair-syair futuwwah.
Musik modern Aceh, yang lahir kembali dalam konteks Aceh kini, adalah penguatan syair-syair kekesatriaan-spiritual lama dan baru dengan musikalisasi. Namun, musikalisasi syair sudah menjadi tradisi Aceh bahelak. Syair dilantunkan oleh dua orang secara bersahut-sahutan, dan diiringi oleh orkes hareubab.
Hal ini demikian saja terjadi seturut syair menjadi salah satu instrumen, di samping gerak tubuh dan alat musik untuk mencapai ekstase. Kita menemukan musik Aceh terbagi dalam tiga kategori, yakni musik tutur, musik tubuh, dan musik instrumen—yang kesemuanya itu menjadi bagian dari metode sufistik mencapai ekstase.
Musik tutur adalah pelantunan syair-syair. Ayunan, terminal bus, pasar, meunasah, hingga masjid adalah ruang-ruang bagi ekstase dan musik. Di ayunan, kita menemukan musik tutur. Kaum ibu mengkonstruksi karakter futuwwah. Di terminal, para pengemis melantunkan syair. Di pasar, penjual obat—minyak cengkeh—bersyair. Di meunasah, kita menemukan musik tubuh ketika mereka berzikir hingga ekstase—yang kini kita kenal sebagai saman (sebagai metode tarekat Sammaniyah), rapa'i (berasal dari metode tarekat Rifa'iyyah), didong, atau rateb. Bahkan di meunasah dan masjid kita mendengar musik instrumen, yakni ketika ibadah salat dipertandakan, atau ketika kerabat menjadi tiada, bahkan bila penduduk hendak berkumpul.
Instrumen musik tiup yang memiliki daya magnet tinggi sangat beragam. Namun, instrumen tiup individual yang sangat kuat adalah suling untuk Aceh pedalaman, dan srune kalee untuk publik pesisiran.
Islam Aceh, yang berfondasikan sufistik Persia, tampaknya justru mengintegrasikan syair dan musik menjadi metode untuk mencapai kekesatriaan-spiritual. Hujwiri mengatakan:
Mendengarkan suara-suara yang manis
itu menghasilkan satu kegembiraan substansi yang ada dalam diri manusia;
ia benar, jika substansi itu benar,
dan salah jika substansi itu salah
Jika demikian halnya, kebenaran dituangkan dalam syair. Lalu, kebenaran itu dilantunkan melalui musik tutur, tubuh, dan instrumen sebagai katalisator yang mempercepat kelahiran diri yang memiliki karakter futuwwah.
Wahe teungku, bek neuwoe dilee
Tapeunap guree, talake du'a
Neuleueng jaroe bandua blah
Neupatihah neubeuet ngon du'a(Wahai teungku, jangan kembali dulu
mari kita minta doa pada guru
angkatlah tangan kedua belah
panjatkan doa, sertakan Al-Fatihah)(Sumber: Rapa'i sebagai bentuk kolaborasi musik tutur, tubuh, dan instrumen.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo