Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA dalam tempo tiga menit Komando Pasukan Sandi Yudha
(Kopassandha) melumpuhkan pembajak. Di lapangan terbang Don
Muang, Bangkok, drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla itu
berakhir dengan tewasnya lima pembajak pada dinihari 31 Maret.
Semua 36 penumpang selamat, kecuali captain pilot Herman Rante,
dan Calon Perwira A. Kirang, anggota pasukan pembebas, gugur.
Kisah sukses operasi militer di Don Muang itu dengan cepat
menaikkan pamor Angkatan Bersenjata RI. Sejumlah kalangan
kemudian menyamakan prestasi Kopassandha tersebut dengan kisah
sukses pasukan komando Grenzschutzgruppe Neun (GSG 9, Grup
Perlindungan Perbatasan 9, Jerman Barat) mengakhiri pembajakan
pesawat Boeing 737 Lufthansa di Mogadishu, Oktober 1977. Dengan
cepat pula beberapa produser film Indonesia menyatakan minat
untuk memfilmkannya. Dari drama pembajakan pesawat Woyla, mereka
berambisi melahirkan film seperti Raid on Entebbe -- diangkat
dari kisah komando Israel membebaskan pesawat El Al yang dibajak
ke Entebbe, Uganda, April 1976.
Tapi berbeda dengan di Amerika, di sini pemerintah biasa turun
tangan. Maka segera diambilalihlah usaha pembuatan film itu.
Pemerintah konon tidak ingin peristiwa besar itu hanya
dikerjakan seperti film Tragedi Tinombala, yang diangkat dari
peristiwa jatuhnya pesawat Twin Otter MNA di Gunung Tinombala,
Sulawesi Tengah, Maret 1977.
200 Alim Ulama
Menteri Penerangan Ali Moertopo pun dengan Surat Keputusan 24
April kemudian menunjuk Dewan Film Nasional (DFN) sebagai
penanggungjawab pelaksana produksi film itu. Dalam pelaksanaan
pembuatannya, DFN ditugasi membentuk kerjasama antara unsur
produser Indonesia mau pun luar negeri. Konon sudah empat
produser Indonesia yang menyatakan ingin menyertakan modal di
dalamnya.
Tapi semudah itukah? Belum lagi gagasan pemerintah tadi
dilontarkan secara formal, Drs. H.A. Chalik Ali, anggota DPR
Fraksi Persatuan Pembangunan memberikan komentar. Ia
memperingatkan agar usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda
Woyla tidak merusakkan jiwa konsensus 20 April.
Maksudnya tentu, ia tidak menghendaki film tersebut kembali
mengemukakan sebutan Komando Jihad yang sudah disepakati tidak
akan dipakai lagi. Konsensus itu dicapai sesudah Pangkopkamtib
Laksamana Sudomo, Menteri Agama Alamsyah bertemu dengan 200 alim
ulama dan tokoh Islam di Hotel Kartika Chandra, Jakarta.
Dan jika pembuatan film tadi diteruskan, Chalik Ali
menganjurkan, isinya agar tidak untuk kepentingan politik dalam
kampanye memenangkan suatu golongan. Pokoknya "film tersebut
jangan sampai menimbulkan ketakutan di kalangan pemilih,"
lanjutnya.
Peringatan dini Chalik Ali di koran Pelta ternyata ditanggapi.
Dirjen Radio, Televisi dan Film Drs. Sumadi dan Ketua DFN Drs.
Asrul Sani, segera menyelenggarakan pertemuan pers 1 Mei. Di
situ Asrul (dia wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan,
lho) menyatakan bahwa usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda
Woyla "tidak akan digunakan buat kepentingan politik." Film itu,
katanya, akan menonjolkan sikap pemerintah yang antiterorisme.
Juga untuk menunjuckan bahwa ABRI, sesudah konsolidasi, punya
cukup kemampuan melindungi warganegaranya.
Menurut Asrul, film itu akan dibuat sebagai film feature yang
tidak semata-mata mendokumentasikan suatu peristiwa. Tentu saja
fakta pembajak dan keberhasilan Kopassandha membebaskan sandera
juga harus dikemukakan. Untuk menghidupkan suasana mencapai
kebenaran, lanjutnya, peristiwa itu sendiri perlu didramatisasi
tanpa membuat resah suatu golongan. "Kami (DFN) tidak mau
terlibat dalam kontroversi politik," katanya.
Namun Drs. Husni Thamrin, anggota DPR Fraksi Persatuan
Pembangunan, yang dalam kampanye pemilu yang lalu bersama-sama
rekan separtainya, Asrul Sani, menilai kebijaksanaan pemerintah
memfilmkan pembajakan itu justru merupakan "keputusan politik".
Hal itu dikatakannya, kelihatan lebih menonjoi ketimbang sekedar
niat mendokumentasikan suatu peristiwa. Alasannya: peristiwa
pembajakan itu sendiri sesungguhnya merupakan peristiwa politik.
Agak lain, tapi sejajar adalah pandangan -- atau harapan -- Buya
Hamka, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI). Film itu hendaknya,
kata Buya, lebih menonjolkan bahwa pembajak itu telah memakai
ajaran Islam secara salah. "Harus diikhtiarkan setelah menonton
filmitu, penonton akan berkesimpulan menyalahkan oknum pembajak,
bukan Islam," kata Buya.
Asrul menerima baik saran Buya Hamka itu. Menghindari terlibat
dalam konflik politik, film itu, kata Asrul, hanya akan
mengungkapkan latar belakang pribadi pembajak. Soal kegiatan dan
operasi militer direncanakan akan menjadi perhatian utama --
mirip dengan film Raid on Entebbe. "Di situ akan ditunjukkan
suatu usaha ABRI melindungi warganegaranya," lanjutnya. "Tidak
ada suatu target politik. Dan juga film itu bukan merupakan
propaganda." Kini DFN tengah mengumpulkan segala informasi
mengenai peristiwa pembajakan tersebut.
Tapi toh Husni Thamrin tetap kurang sepakat. Bagi dia lebih
mendesak jika pemerintah membuat film mengenai soal
transmigrasi. Masalahnya, tentu, bagi penonton: mana yang lebih
memikat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo