Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA mengenal Pater Neles Kebadabi Tebay sejak 1987. Saat itu, kami menjadi peserta Pelatihan Jurnalistik Kampungan di Pusat Pendidikan Kader Gereja Kristen Injili di Tanah Papua di Hawaii-Sentani, Jayapura. Sejak itu, saya dan Neles, yang saat itu masih sebagai frater dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologia Fajar Timur, Abepura, sering menulis di surat kabar mingguan Tifa Irian dan buletin Kabar dari Kampung. Opininya juga kerap dimuat dalam sejumlah surat kabar lokal dan nasional.
Saya bertemu kembali dengan Neles pada 2009 ketika ia dan Muridan S. Widjojo (almarhum) menggagas dialog Jakarta-Papua. Sejak itu, kami sering berkomunikasi dan bertemu dalam diskusi yang didukung Jaringan Damai Papua (JDP). Neles adalah teman diskusi yang bersahaja, rendah hati, dan pendengar yang baik. Ia memberikan pandangannya yang sering kali bersifat solusi tanpa sedikit pun membuat lawan diskusinya kecewa bahkan marah. Terkadang ia memulai suatu topik dengan humor sehingga membuat kami terlepas dari suasana tegang dalam diskusi soal topik-topik yang dirasa berat di Papua, seperti politik, hak asasi manusia, dan keamanan.
Neles gigih memperjuangkan cita-citanya. Salah satunya terciptanya dialog Jakarta-Papua. “Nai (saudara dalam bahasa Mee), saya yakin dialog Jakarta-Papua akan terlaksana, karena mungkin sekarang pemerintah masih alergi. Tapi, dengan berjalannya waktu, pasti pemerintah akan mau bicara tentang pentingnya dialog,” ujarnya pada 2009.
Perkataan Neles terbukti benar. Di masa akhir pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulai komunikasi konstruktif dengan segenap komponen rakyat Papua. “Nai, coba lihat, SBY pakai istilah komunikasi konstruktif, tapi sesungguhnya adalah dialog, cuma karena tidak mau pakai kata dialog saja,” ucapnya, tertawa kecil.
Selama menjadi koordinator JDP bersama Muridan, ia selalu tampil sebagai “penghubung” antara masyarakat dan komponen perjuangan politik di Tanah Papua dan pemerintah pusat serta warga Indonesia lainnya baik di Papua maupun di wilayah lain. Ia selalu menekankan pentingnya menyelesaikan akar masalah di Papua selain pembangunan fisik yang menjadi ikon pemerintah pusat.
Itu pula yang ia sampaikan ketika kami bersama 12 tokoh lain dari Papua dan Papua Barat diundang bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 15 Agustus 2017. Kami menunjuk Neles sebagai juru bicara. Presiden Jokowi merespons dengan baik usul kami, lalu menunjuk Neles sebagai tokoh kunci dialog. Presiden menugasi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto serta Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mendampingi Neles dalam mempersiapkan dialog. Sayangnya, penunjukan itu tak diikuti dengan keputusan tertulis hingga Neles berpulang pada Ahad, 14 April lalu.
Neles menuliskan idenya tentang dialog itu dalam buku Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua (2015). Untuk pertama kalinya ia berhasil menuliskan suatu konsep tentang dialog yang dikehendaki pemerintah dan rakyat Papua. Buku ini berisi perspektif orang Papua sebagai buah perenungan dari perjumpaannya dengan berbagai kalangan di Tanah Papua. Ia menguraikan fakta bahwa kekerasan tidak berhasil menyelesaikan konflik.
Ia juga memaparkan otonomi khusus gagal menyejahterakan orang Papua, ketidakkonsistenan pemerintah menerapkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, orang Papua makin tak mempercayai pemerintah, serta menurunnya dukungan internasional terhadap pemerintah Indonesia. Argumen yang didasari fakta konkret tersebut menjadi indikator kemauan berdialog dalam bentuk komitmen dari Jakarta dan Papua. Paling tidak Neles sudah berhasil meletakkan kerangka dasar tentang dialog Jakarta-Papua dari sisi orang Papua saat itu.
Pada tahun itu juga Neles bersama JDP berhasil merumuskan buku saku tentang dialog internal Papua. Dari sisi ini, Neles sebagai “pembuka jalan” bagi terlaksananya dialog Jakarta-Papua mampu merancang, menulis, bahkan mengimplementasikan konsep dan model langkah awal memulai dialog sebagai media penyelesaian konflik di Tanah Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun (1961-2019).
Kini JDP dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta mitranya, HDC dari Swiss, ditantang melanjutkan langkah-langkah konkret dalam menyelenggarakan dialog. Pemerintah Presiden Jokowi pun harus terus mendukung dilanjutkannya proses dialog demi merealisasi cita-cita bersama kita dalam menjadikan Papua sebagai tanah damai.
YAN CHRISTIAN WARINUSSY, DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA PENELITIAN, PENGKAJIAN, DAN PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM MANOKWARI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo