MEMENUHI PANGGILAN TUGAS Jilid 1 : KENANGAN MASA MUDA Oleh: Dr. A.H. Nasution 276 halaman, termasuk indeks Penerbit: Gunung Agung -- Jakarta MCMLXXXII (1982) SETIAP kali membaca memoar yang ditulis para pembuat sejarah, kita selalu tergugah untuk mengajukan pertanyaan: adakah informasi baru? Juga bila membaca buku kenangan Dr. Abdul Haris Nasution, pribadi yang begitu paradoksal. Dia tentara. Tetapi kalau berbicara dengan sang jenderal, kesan yang kita peroleh adalah berbincang-bincang dengan seorang rahib yang lebih banyak berbicara tentang masalah akhlak, moral, daripada kekuasaan atau keperkasaan. Dia pelaku utama dalam begitu banyak peristiwa politik-militer yang genting, tapi setiap kali perannya berhenti sampai ke tahap menghantar orang lain ke gerbang yang tidak dimasukinya sendiri. Begitu banyak yang bisa dikatakan sebagai peranannya malah masa pra-Gestapu bisa dibulat-bulatkan menjadi seolah duel pribadi antara Jenderal Nasution dan Presiden Soekarno. Dalam hubungan itulah bukan tidak terduga bila beruntun pertanyaan diajukan kepada sang jenderal: Jenderal yang mulai dengan sistem teritorial dan dwifungsi TNI, . . . memelopori kembali kepada UUD 1945 . . . memelopori pembentukan angkatan 45, memelopori Sekber Golkar, . . . bagaimana kenyataan sekarang, dibandingkan dengan pikiran . . . semula? (kutipan dengan susunan yang tidak setia, dari alinea yang sama dalam halaman VIII). Untuk menjawab pertanyaan semacam itulah Nasution mulai menulis suatu memoar -- sebanyak lima jilid! Dalam sangat banyak kesempatan, ketika Jenderal Nasution melakukan suatu tugas penting negara, ia selalu menyebutnya suatu kebetulan sejarah tidak pernah 'keharusan sejarah'. Malah proses penulisan buku ini hampir seluruhnya kebetulan berlangsung di kapal laut Arafat yang sama, dalam perjalanan bolak-balik beberapa kali Jakarta-Medan. Namun bukan suatu kebetulan bahwa Nasution, yang dilahirkan 3 Desember 1918 di Sibolga, dibesarkan di desa asalnya, Huta Pungkut -- 180 kilometer dari Sibolga. Di sanalah dia pertama kalinya berkenalan dengan aneka peristiwa politik tingkat desa. Huta Pungkut menjadi sarang pergerakan nasional untuk wilayah-wilayah di sana. Partindo (Partai Indonesia, berhaluan kiri) didirikan di Huta Pungkut sebagai yang pertama dari seluruh Karesidenan Tapanuli. Ayahnya sendiri anggota Sarekat Islam, yang bukan secara kebetulan menanam semangat keagamaan dan semangat kebangsaan padanya. Maka Nasution menjadi pengagum kebanyakan tokoh pergerakan penting tahun tigapuluhan, dalam masa kanak-kanak dan remajanya Amir Sjariffudin, Soekarno, Hatta, Yamin .... Dalam seleksi Nasution terpilih di antara segelintir orang Indonesia yang masuk Akademi Militer Belanda. Setelah lulus, atau diluluskan (akademi itu sendiri harus ditutup menjelang pendudukan Jepang), dia ditempatkan di Surabaya dan ikut berjuang bersama tentara Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda terhadap serangan Jepang awal 1942. Dalam kesempatan itulah dia untuk pertama kali menyaksikan demoralisasi serdadu Belanda, yang terbirit-birit menghindari si kate Jepang. Dalam melarikan diri, mereka bersembunyi dalam sebuah desa. Dan di sinilah dia tiba pada suatu saat penting, dan membuat keputusan menentukan hidupnya sendiri : Saya bukan Belanda, saya harus memisahkan diri. Dengan diam-diam saya membuat rencana untuk pergi. Kepada pemilik rumah saya mintakan bantuan. Saya dapat sehelai sarung dan baju preman. Celana hijau saya potong untuk jadi celana pendek .... Kebetulan saya menjabat perwira piket malam itu. Pukul 04.00 pagi dengan petunjuk pemilik rumah tadi saya dapat keluar dari kampung melalui saluran air dan sawah, tanpa diketahui oleh pospos penjagaan. (halaman 54). Maka mulailah suatu long march pribadi dari Jember dengan berjalan kaki, bersepeda, naik kereta api, bersepeda lagi, menuju Bandung. Di Bandung dia aktif sebagai pemimpin pemuda sambil menyembunyikan identitas sebagai orang yang pernah mengabdi sebagai serdadu Belanda. Nasution melukiskan dengan sangat terperinci -- setelah proklamasi kemerdekaan, dan tiba masa revolusi fisik semua operasi militer di Jawa Barat. Tentang manusia-manusia yang berjuang. Tentang harapan-harapan dan lebih-lebih frustrasi dan kekacaubalauan di kalangan Republik. Tentang ketidakpedulian laskar yang mau jadi tuan bagi dirinya sendiri dan tidak mau takluk kepada TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Tentara yang belum tahu apa beda komandan dan yang bukan, bahkan sampai menteri pun mau disabet. Namun keadaan paling memusingkan adalah tidak adanya petunjuk kongkrit dari Pusat, baik yang sipil maupun militer. Panglima Besar Sudirman pun ketika membuat peninjauan menjelang serangan umum ke Bandung hanya memberikan "instruksi" dengan kata-kata kabur seperti "telah tiba saatnya menyerang" (hal. 139), pada saat yang dibutuhkan adalah taktik atau strategi yang tepat. Ketiadaan konsep tentang strategi dan garis-garis petunjuk, menyebabkan runtuhnya seluruh pertahanan ketika Belanda mengadakan aksi pertama, 1947. Demoralisasi dan kekacaubalauan dan anak buah yang terpencar, menghablur dalam kata-kata Nasution sendiri sebagai kepala divisi: "Panglima apa saya ini" --ketika harus berjalan kaki memikul ransel sendiri dari hutan ke hutan tanpa anak buah. Namun semuanya memberi hikmat. Timbul ide mengadakan peralihan taktik dari sistem pasukan, yang ternyata tidak ampuh, ke sistem teritorial. Yang dibina adalah kantung-kantung gerilya. Dengan itu bisa dilancarkan perang rakyat total yang melibatkan seluruh pimpinan sipil ke dalam suatu sistem pertahanan semesta. Tetapi dalam keadaan persiapan itu, serta-merta seluruh pasukan Siliwangi diperintahkan meninggalkan Jawa Barat menuju Yogya: sudah terjadi persetujuan politik gencatan senjata. Jawa Barat harus dikosongkan. Dan evakuasinya berlangsung di bawah pengawasan Belanda. Cemoohan Belanda lebih menyakitkan pribadinya sebagai jenderal Siliwangi: Is dat de TNI-Generaal? . . . Die generaal lijkt meer op een student! (halaman 249). Itu jenderal TNI? Kayak anak sekolahan saja! Nasution bercerita sangat jujur. Karena itu kepahlawanan dalam buku ini tampil dalam bentuk yang lebih manusiawi, dalam upaya mengatasi ketakutan, mengatasi kelemahan. Generasi yang tidak mengalami revolusi fisik tidak bakal mendapat kesan keliru seolah revolusi berjalan begitu sistematis, dengan strategi yang begitu terpadu, dengan kegagah beranian seperti di teve. Panglima besar Sudirman pun tampil dengan wajah lebih manusiawi. "Instruksi" Sudirman yang hanya mengatakan "telah tiba saat menyerang" tanpa ada bayangan strategi, disambut cemooh bawahan: "mengapa Pak Dirman tidak membaca surat yasin saja". (halaman 139). Informasi yang jarang kita dapat dari sumber lain. Ada tiga pikiran, atau tiga "kalau dalam sejarah", yang bisa dipersoalkan. Pertama, menurut Nasution kekeliruan strategi dasar Republik sejak awalnya adalah ketiadaan keputusan melaksanakan operasi militer besar-besaran setelah Proklamasi untuk mempertahankan kemerdekaan sepenuhnya secara militer (halaman 71). Hal ini, katanya, bisa dibuat untuk memanfaatkan kelemahan Belanda dan ketidakberdayaan Jepang serta terlambatnya tentara Sekutu mendarat (baru di bulan Oktober 1945) dan kekurangan pasukan Inggris untuk ditempatkan di Indonesia. Itu perdebatan besar yang abadi. Mungkin ini lebih suatu wishful thinking daripada pertimbangan berdasar kenyataan. Nasution sendiri tidak menjelaskan bagaimana memecahkan dilema memiliki angkatan perang di muka Sekutu yang bisa menganggapnya sebagai bikinan Jepang -- dengan risiko berperang melawan Sekutu, bukan Belanda. Kedua, setelah kekalahan karena agresi Belanda yang pertama, Juli 1947, sebenarnya Siliwangi sudah mampu mengkonsolidasikan diri untuk beralih ke suatu strategi teritorial yang direncanakan untuk melancarkan "serangan umum" terhadap Belanda. Tetapi semuanya digagalkan Pusat. Satu dilema abadi lagi. Jenderal Sudirman juga memprotes ketika harus berdiplomasi, hasil persetujuan Roem-Royen menjelang KMB. Tapi dalam dua-dua kasus, diplomasi juga diterima sebagai cara penyelesaian. Ketiga, sesuatu yang agak jarang dikemukakan pihak militer. Kekeliruan sejarah dalam hubungan dengan Kartosuwirjo terutama tentang dua hal keyakinan Kartosuwirjo akan kemampuan untuk mempertahankan Jawa Barat, dan kepatuhan kepada atasan. Namun kepatuhan sirna dalam diri Kartosuwirjo karena adanya restu Jenderal Sudirman untuk mempertahankan daerah-daerah pendudukan yang dikosongkan TNI. Karena itu meninggalkan Jawa Barat adalah tindakan desersi, sesuatu yang pantang dalam perjuangan. (halaman 211). Tetapi bagaimana menilai ketaatan Kartosuwirjo kepada asas perang, kalau harus berdiri di antara perang atau diplomasi? Banyak orang meragukan manfaat mendiskusikan "kalau dalam sejarah" semacam ini. Namun "kalau" inilah yang menentukan hubungan sipil-militer selanjutnya dalam sejarah Indonesia. Sejarah suatu bangsa mendapat bentuknya yang terburuk kalau sejarah semata-mata biografi. Penulisan memoar sejarah mendapat bentuk terburuk kalau penulis mendesakkan akunya untuk menjadi satu-satunya auctor intellectualis di balik semua fakta. Namun ada riwayat hidup orang-orang tertentu, yang membuat sejarah yang berdimensi banyak menjadi makin benderang. Bila tokoh semacam ini berhasil menjelaskan posisinya dalam sejarah, sejarah bukan semata-mata sederetan tanggal mati. Sejarah menjadi lapisan babak demi babak drama perjuangan manusia. Tidak terlalu meleset kalau kita katakan buku ini termasuk ke dalam kelompok yang kita sebut terakhir. Penulisan memoar ini begitu lugas dan memukau. Di dalamnya, sejarah dan riwayat hidup pribadi melebur dan jalin menjalin secara utuh, sehingga sungguh terasa mubazir dan dilebih-lebihkan bila serial memoar ini disalut dalam satu judul besar Menenuhi Panggilan Tugas, semata-mata untuk mencari kesan patriotik. Daniel Dhakidae