Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pejabat tinggi berpangkat Direktur tiba-tiba dipecat. Dan itu terjadi di Departemen Penerangan. Tak ayal lagi, ini peristiwa penting dalam kehidupan Departemen itu. Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 01/SK/M/197 tertanggal 6 Januari 197 itu memberhentikan drs Sunaryo St (Direktur Bina Film) dan Narto Erawan Dalimarta (Kepala Sub Direktorat bagian peredaran). Baru tersiar 10 lanuari pekan lalu, surat asli pemberhentian kedua pejabat Deppen itu sama sekali tidak menyebutkan kesalahan mereka. Tapi lewat TVRI maupun koran, dari sumber resmi di Deppen diketahui bahwa pemberhentian kedua pejabat itu disebabkan karena mereka melakukan manipulasi dan pemalsuan-pemalsuan. Cerita tentang manipulasi di Direktorat Bina Film Deppen itu bukan cerita baru, kata seorang produser. Tapi kenapa baru sekarang ini secara demonstratif dibongkar oleh Deppen? "Biar masyarakat tidak terkejut mendengar keputusan kami yang begitu drastis," kata drs Sumadi, Dirjen Radio, Televisi dan Film, lewat telepon akhir pekan silam. Tapi tidak urung masyarakat toh terkejut, meski orang-orang film sendiri kelihatannya tenang-tenang saja. "Kejadian itu sudah kita harapkan meledaknya sejak Mashuri keluar dari Deppen," kata seorang pengamat film di Pusat Perfilman Usmar Ismail pekan silam. Mulanya: Mashuri Ribut-ribut menyangkut pemasukan film impor itu sendiri bermula pada pernyataan-pernyataan Mashuri dua tahun silam. Adalah Mashuri yang mencanangkan bakal diakhirinya pemasukan film impor, "kecuali beberapa yang masuk secara amat selektif," katanya. Karena itulah maka para importir ditertibkan. Giprodfin (Gabungan Importir dan Produsen Film) dibubarkan. Para importir harus memilih kelompok berdasar negeri asal film-film yang mereka impor. Dan inilah riwayat kelahran 4 konsorsium film impor. Cerita tentang konsorsium ini menjadi menarik setelah menjadi makin jelas bahwa jumlah importir terlalu besar untuk jumlah quota film impor yang bisa dimasukkan. Tentu saja terjadi rebutan jatah. Dalam tingkatan ini, yang menentukan buan cuma mereka yang punya modal besar, tapi juga mereka yang punya koneksi yang luas. Ketika sejumlah importir masih tidak bisa bergerak karena diskors lantaran menolak konsorsium, film-film mereka ternyata bisa lolos dengan suatu cara tertentu. (lihat TEMPO, 22 Oktober 1977). Bahkan Herman Samadikun, salah seorang importir, ketua Konsorsium dan sekaligus produser, pada suatu kali bisa mendapatkan jatah 10 film impor. Menurut peraturan, jatah itu seharusnya diimbangi dengan ketentuan bahwa ia harus menyelesaikan 3 buah film nasional. Padahal, Herman baru berniat bikin sebuah film nasional--"Operasi Tinombala". Bagaimana? "Lho, itu kan film teladan. Dan keputusan menteri memang ada mengenai itu," kata Herman membela diri. Keputusan menteri memang ada, tapi yang tidak pernah ada adalah peraturan yang mengatur pemberian gelar "film teladan" dengan segala hadiahnya, bagi film yang baru akan dibikin. Sementara itu, dengan keputusan pemerintah bahwa setiap sebuah film impor dimasukkan ke Indonesia, tiga film nasional harus dibuat oleh si pengimpor film tersebut, tiba-tiba saja jumlah film nasional bertambah dengan jumlah yang fantastis. Menurut catatan sekitar 130 judul film akan siap sebelum Festival Film Indonesia di Ujung Pandang nanti. Ini nlerupakan rekor tertinggi pembuatan film nasional dalam masa pemerintahan Orde Baru ini. "Tapi pada saat yang sama juga dicapai rekor tertinggi pembuatan film-film kodian di Indonesia," kata seorang tokoh KFT (persatuan karyawan film) beberapa hari yang lalu. Membeli Nama Akan halnya produksi massal dari film-film kodian itu, seorang importir membela diri. "Kita ini cuma tahunya impor, kok ya dipaksa juga produksi. Kita ini diajar rakus sih sama pemerintah sendiri," begitu sang importir. Repotnya bagi yang terpaksa memproduksi tapi tak mempunyai sarana, tenaga dan keahlian, jalan satu-satunya cumalah membeli nama dari para produser yang bukan importir. Masih ingat film Karminem sutradara Nyak Abbas Akub pemain Surya Grup dan Titiek Puspa? Resminya film itu dibikin oleh Perfini sebagai importir, pada hal yang membuatnya sebenarnya adalah Ali Hasan yang untuk jasa baiknya pada Perfini ia memperoleh uang panjar sebesar Rp 7 juta. "Habis yang ngajari kita jadi maling adalah pemerintah juga, sih," kata Rudi Lukito seorang importir yang kini juga jadi produser. Kesukaran-kesukaran yang dihadapinya di Deppen hingga menyebabkan dirinya tersingir dari Direktorat Film, bukannya tidak disadari terlebih dahulu oleh Sunaryo. "Dari semula saya sadari bahwa saya mungkin bisa mendapat bencana jika tidak hati-hati dalam urusan film ini, kata Sunaryo kepada Syarif Hidayat dari TEMPO pekan silam. Sunaryo--bekas wartawan mingguan Caraka - bukannya orang yang tidak terkenal hati-hati. "Cuma dia itu terlalu sibuk sejak Mashuri menjadi menteri penerangan, kata seorang bekas teman kuliahnya di Universitas Gajah Mada dahulu. Kesibukan Sunaryo ini membawa akibat baik dan buruk bagi dirinya. Ia adalah orang kepercayaan Menteri Mashuri. Karena itu ia mendapat jabatan penting mengurusi perfilman. Tapi pada waktu yang bersamaan ia juga tetap menjadi pembantu pribadi Menteri. Bisa dibayangkan bagaimana Sunaryo sempat berkonsentrasi mengurusi film. Ketika kampanye pemilu berlangsung tempo hari, Sunaryo nyaris tak bisa ditemukan di kantornya. Di mana Mashuri berkampanye di situ Sunaryo berada. Akibatnya, pekerjaannya banyak dikerjakan oleh orang lain. Bahkan ketika terjadi apa yang disebut sebagai "pemalsuan dan manipulasi" itu Sunaryo mengaku tidak ada di kantor. "Saya sedang cuti waktu itu," katanya sembari menunjukkan surat cutinya. Tapi kalangan perfilman tidak dengan mudah jatuh belas kasihan kepada Sunaryo. Di mata para importir itu, ketidakhadiran Sunaryo di kantornya bukanlah alasan untuk membela diri. "Permainan rekomendasi bagi replacement = penggantian di film-film yang ditolak sensor -- dilakukan oleh Sunaryo dan Narto dongan menggunakan kaki tangan pada salah satu kantor importir," begitu kata Rudi Widodo Sukirno, seorang importir yang merasa pernah dirugikan oleh kebijaksanaan Sunaryo. "Kalau mau tahu cara mainnya, silakan datang ke jalan Pintu Air .." kata Rudi Lukito, menyambut ucapan Widodo. Kata Rudy pula: "Di situ ada blanko surat rekomendasi yang sudah ditandatangani oleh Sunaryo. Kalau ada yang mau beli tinggal isi saja. Harganya sekitar 8 sampai 10 juta." Cerita Widodo: "Blangko itu oleh Narto diberikan kepada Andi Azhar seorang importir sebanyak 25 lembar. 15 lembar lagi masih disimpan Narto menanti sampai atasan lengah. Kalau sudah lengah, droping dilakukan lagi." Sudah tentu Sunaryo maupun Narto membantah kisah tentang blanko yang sudah ditandatangani itu. "Itu cerita bohong. Bagaimana mungkin kami mengeluarkan blangko yang sudah ditandatangani," kata Nurto. "Sedang yang sudah diisi di sini saja, untuk mendapat tandatangan saya masih harus melewati 4 pejabat" tambah Sunaryo pula. Entahlah orang-orang ini kelihatannya memberikan keterangan yang menyakinkan juga. Yang sama sekali tidak memberikan keterangan cuma Mashuri bekas menteri penerangan yang kini jadi Wakil Ketua DPR. "Bapak lagi sibuk tidak bisa kasih keterangan," kata salah seorang pembantu pribadi Mashuri kepada Wartawan TEMPO, Salim Said. Sabtu pagi pekan silam. Padahal keterangan Mashuri sebenarnya perlu didengar. Ia disebut-sebut dalam kisah heboh di Dirbin Film Deppen itu. Syahdan, nama Mashuri disangkutpautkan dongan "permainan" antara Herman Samadikun dan Sunaryo dalam urusan replacement mau pun dalam urusan pembuatan Operasi Tinombala yang mendaput jatah 10 fllm impor itu. Tapi ke mana uang itu digunakan? "Untuk kopentingan Brigade 17 - tentara pelajar dahulu - ke dalam mana Mashuri maupun Horman Sahladikun pernah jadi anggota," kata seorang pejabat Deppen yang tidak bersedia disebut namanya. Kabarnya para bekas anggota Brigade 17 itu kini sudah siap untuk pembuatan sebuah perjuangan masa revolusi. Sutrudaranya: Gatut Kusumo, seniman yang dulu membuat film Penyebrangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo