Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Seorang rama dan dua wadah

Raden lurah sasminta mardawa bersama temannya membentuk dua wadah tarian klasik yogyakarta dan mengajar tari di beberapa lembaga pendidikan.

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CINTANYA pada tari klasik Yogyakarta mendorongnya -- bersama beberapa rekannya -- membentuk wadah yang diberi nama Mardawa Budaya (MB), Juli 1962. "Bermaksud melestarikan tari klasik Yogya, yang pada waktu itu terasa mundur, karena banyak pengaruh kesenian lain," kata Raden Lurah Sasminta Mardawa, hampir 50 tahun, pendiri dan sampai sekarang pemegang pimpinan. Perkembangan suasana agaknya mendorong Rama Sas, begitu panggilannya sehari-hari, membentuk wadah yang lain. Pamulangan Beksa Ngayugyakarta (PBN) dibentuk 14 tahun kemudian setelah MB berdiri. PBN memang lebih ketat seleksinya. Apabila MB menerima siswa dari segala usia dan tanpa syarat apa-apa, PBN hanya menerima mereka yang sudah berijaah SD. Sebab, PBN jga mengeluarkan semacam tanda tamat belajar. Dan yang menguji tak hanya dari kalangan PBN sendiri, tapi juga dari Bagian Kesenian Kanwil Dep. P&K Yogyakarta, para ahli tari Kraton Yogya dan Sekolah Menengah Karawitan di Yogya. Kini MB mempunyai siswa sekitar 200-an dan PBN sekitar 150-an. Lama belajar di PBN 3 tahun. Cara Hidup "Sikap para pendidik yang penuh pengorbanan dan kesadaran, tak mementingkan imbalan, itu yang menolong Pamulangan Beksa bisa lancar berjalan," tutur Rama Sas. Menurut pengakuannya anggaran sebulan PBN (dengan 8 pengajar, termasuk Rama Sas) hanya sekitar Rp 100 ribu. Jumlah itu dikumpulkan dari uang sekolah yang kini besarnya Rp 750 per bulan per murid, plus sumbangan-sumbangan (antara lain yang agak berarti dari Yayasan Kesenian Tradisi di Jakarta, yang dibentuk oleh Ford Foundation). Susah payah Rama Sas dan kawan-kawan itu memang ada dasarnya. "Bagi saya sendiri, tari klasik Yogya yang saya pelajari sejak kecil, bukan hanya sekedar tontonan, tetapi sebagai alat pendidikan," kata Rama Sas kepada TEMPO, Dulu, sopan-santun pergaulan bisa dididikkan lewat pelajaran menari. Bahkan para punggawa Keraton yang trampil menari lebih ceat mendapat kenaikan pangkat daripada yang tidak. Sekarang masyarakat dan tata pergaulannya berubah, "tetapi saya kira pelajaran menari sih bermanfaat." Menurut pengalaman Rama Sas, paling tidak mereka yang paham gerak tari, cara bergaulnya lebih temata (tahu aturan). "Kalau ada yang pandai menari tapi tingkahnya tak karuan, itu sala kedaden (akibat yang tak diharapkan)," kata Rama Sas, tersenyum. Tapi ada yang lebih penting. Rama Sas pernah setahun mengajar tari klasik Yogya di UCLA, Amerika Serikat. Seorang siswanya bertanya, mengapa ia tak bisa seluwes menari seperti orang Yogya. Jawabnya sederhana: "Kalau mau seluwes seperti mereka, ya, cara hidupmu harus seperti mereka." Masalah Lama Menurut pengamatannya, memang dulu penari-penari tari klasik Yogya lebih mendalam. "Tapi dulu mereka memang setiap hari menari," kata Rama Sas. Juga diakuinya kostum sekarang lebih ramai dan berwarna-warni, sementara "dulu sederhana saja." Pria tampan setengah umur yang langsing dan berwajah agak kepucatan ini, dulunya juga mengajar di Akademi Seni Tari di Yogya, juga mengajar tari klasik pada beberapa sekolah lanjutan. Juga masih tercatat sebagai pegawai Bagian Kesenian Kraton Yogyakarta. Begitu pula rekan-rekannya yang bersama-sama mengasuh MB maupun PBN. Dan karena merasa bahagia bisa menularkan kepandaiannya, mereka tak begitu menuntut. Seperti cerita K.R.T. Djogobroto, yang mengajar sehari 2 jam di sebuah sekolah lanjutan, sebulan hanya menerima imbalan Rp 6.200. Tapi ini masalah lama, yang konon pernah diperjuangkan ke pemerintah dan belum mendapat jawaban. Meski begitu sudah ada gagasan baru Rama Sas: akan menambah lama belajar di PBN dua tahun lagi, khusus bagi calon guru tari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus