Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Teror Ular di Udara

Film berbiaya rendah yang masuk 10 film laris Amerika. Didongkrak oleh promosi blog.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Snakes on The Plane Pemain: Samuel L. Jackson, Kenan Thompson, Julianna Margulies Skenario: John Heffernan, Sebastian Gutierrez Sutradara: David R. Ellies Produksi: New Line Cinema, 2006

Duduklah dengan tenang. Tak perlu repot berpikir. Jangan pula mencari-cari makna film. Siapkan saja cadangan napas u­ntuk menonton film ini. Guys, film ini se­penuhnya menegangkan.

Pada mulanya yang tergambar ada­lah keindahan laut Hawai, pohon-pohon di bibir pantai, pebukitan yang hijau, dan gadis-gadis yang mengalungkan bunga pada setiap penum­pang yang mendarat di negeri aloha ini. Kamera kemudian beralih ke kesibuk­an calon penumpang pesawat komersial South Pacific. Nah, setelah itu kamera menyorot ratusan ular di dalam kargo pesawat.

Dalam penerbangan tengah malam Honolulu–Los Angeles itu, Sean Jones (Nathan Phillips) sedang dikawal ke­tat anggota FBI Neville Flynn (Sa­muel L. Jackson). Jones adalah saksi kunci tuduhan memberatkan Eddie Kim, pembunuh jaksa penuntut umum yang tertangkap mata Jones yang sedang berlibur.

Agar Jones tak ”bernyanyi” di pe­ng­adilan, mereka merekayasa strategi. Ratusan ular dari empat benua yang sudah disemprot feremon, zat yang membuat ular menjadi agresif, diselundupkan ke dalam pesawat. Mudah ditebak, penerbangan ini pun kocar-kacir karena semua penumpang panik menghadapi serbuan ular.

Ular ada di mana-mana. Di mulut­ kloset, kolong kursi, jendela, tas ta­ngan, hingga masuk ke ruang kokpit. Pilot dan co-pilot pun lumpuh. Bisa ular itu mengincar ibu dan bayi, anak kecil tanpa didampingi orang tua, paranoid, wanita kaya dengan anjing mungil di dalam tasnya, atau pasangan bulan madu. Ini melebihi teror dari para pembajak atau teroris yang masih bisa diajak tawar-menawar.

Membaca judul film ini, kesan pertama yang muncul: ah ini film c­emen. Kesan ini pula yang membuat a­ktor sekelas Samuel L. Jackson berpikir lama untuk bergabung di ja­jaran ak­tor film ini. Tapi begitu rencana produksi film ini jadi perbincangan hangat di internet—ada blog khusus bernama snakeonablog.com yang dirancang salah satu penulis skenario, David Dalessandro—pemeran Mace Windu di film Star Wars itu berbalik mengatakan mau terlibat dalam film Snakes on a Plane.

Dari biaya produksi, film ini masuk kategori berbiaya rendah. Ya, jelaslah, syuting film ini hampir seluruhnya di dalam pesawat. Lantaran itu, sutradara Hong Kong Ronny Yu yang semula amat berminat menjadi sutradara, mundur teratur. Kesempatan emas itu diambil David R. Ellis yang lebih berpengalaman sebagai koordinator stunt di film Body of Evidence (1993), Lethal Weapon (1987), dan Warlock: The Armageddon (1993).

Plot film ini klasik, linier, dan, itu tadi: isinya tanpa muatan pesan apa-apa. Idenya cenderung mengada-ada. Ular bisa masuk ke pesawat, disembunyikan di kotak karangan bunga yang dibagikan untuk penumpang. Dan ber­lebihan ketika manajer penyanyi rap tiba-tiba bisa mengemudikan pesawat hanya karena piawai main PlayStation pesawat.

Hanya saja gambar-gambar film ber­gerak dalam tempo yang cepat. Drama pada setiap penumpang benar-benar tergarap. Celetukan-celetukan lucu muncul dan kelihaian menjaga suspens film membuat penonton tak i­ngin beringsut. Dan satu lagi: kemuncul­an ular yang tak logis diselesaikan de­ngan cara yang masuk akal.

Untuk mendapatkan visualisasi ular yang alamiah, tim produksi film ini mengumpulkan sekitar 450 jenis ular, termasuk ular phyton raksasa dari Burma berukuran 6,5 meter. Tapi tidak semua ular asli mampu memenuhi keinginan sutradara yang mengingin­kan ular itu bergerak gesit dan ganas. Makanya beberapa gerakan ular direkayasa komputer agar lebih hidup.

Film ini, sebagaimana film tentang ular besar Anaconda dalam Anaconda 1 (1997) garapan Luis Llosa yang laku, masuk dalam daftar 10 film laris di Amerika. Snakes on a Plane pun nya­ris diberi nama Anaconda 3. Jumlah pe­nonton yang meluap itu jauh berbeda dibanding King Kobra (1999) yang jeblok di pasar.

Entah apa yang membuat film tentang binatang melata ini laris. Mungkin karena ramai diperbincangkan di internet atau karena hal yang disebut di muka: penonton bebas meninggalkan segala kewajibannya untuk berpikir serius di kantor saja. Ini saat untuk selonjor dan terhibur.

Evieta Fadjar P dan Yos Rizal S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus