TEMPO.CO , Jakarta:Pemerintah dinilai lamban membentuk lembaga khusus penyelenggara sistem pemandu lalu lintas udara (air traffic control/ATC). “Single ATC adalah amanat Undang-Undang tentang Penerbangan,” kata mantan anggota Kaukus Penerbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Alvin Lie, Ahad 13 Mei 2012 kemarin.
Sesuai dengan ketentuan, kata dia, seharusnya single ATC sudah dibentuk per 1 Januari 2010. Namun, sampai saat ini, pemerintah belum membentuk lembaga tersebut. Dia mengingatkan pengelolaan penyelenggara sistem pemandu lalu lintas udara harus dipisahkan dari pengelola bandar udara.
Pemisahan ini dilakukan, menurut dia, karena pengaturan lalu lintas penerbangan merupakan kewenangan pemerintah dan bersifat nonprofit. Adapun pengelola bandara untuk mencari keuntungan.
Bukan hanya itu, peralatan yang digunakan pemandu lalu lintas penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta sudah usang dan tidak memadai. Seharusnya sistem peralatan tersebut diganti enam tahun lalu. “Sejak 1985 sampai 2012 belum diganti,” kata Alvin.
Kondisi ini ditambah masih minimnya petugas ATC yang memantau pergerakan pesawat. Satu petugas, kata dia, idealnya memantau enam pesawat yang akan mendarat. “Saat ini petugas ATC memantau belasan pesawat karena kurangnya sumber daya manusia.”
Kinerja dan pengelolaan ATC menjadi sorotan setelah terjadinya kecelakaan Sukhoi Superjet 100, Kamis pekan lalu. Komunikasi antara petugas di ATC dan pilot diduga kuat menjadi kunci penyebab jatuhnya pesawat itu di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Penasihat Federasi Pilot Indonesia, Manotar Napitupulu, menduga Sukhoi menabrak tebing gunung akibat menurunkan ketinggian di luar daerah aman. "Kuncinya adalah komunikasi antara pilot dan petugas di ATC Soekarno-Hatta," katanya kemarin.
Sebelumnya, pilot Garuda Indonesia, Jeffrey Adrian, mengatakan beberapa pilot asing pernah mengungkapkan pernyataan mengejutkan. "Kata mereka, terbang di Indonesia seperti di neraka," ujarnya. Disebut neraka karena ternyata, saat melintasi Indonesia, komunikasi antara pesawat dan menara pengawas kerap terganggu. Sinyal radio dan operator telekomunikasi kerap menembus kokpit.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, menyatakan Kementerian sudah mengajukan rancangan peraturan untuk memisahkan penyelenggara ATC dari pengelola bandara. Namun rancangan tersebut belum juga dibahas karena terganjal kepentingan beberapa pihak. “Mereka memikirkan kepentingan sektoral. Kami untuk kepentingan nasional,” ujarnya kemarin. Dia menolak menjelaskan pihak-pihak yang menolak pemisahan tersebut.
Kementerian, kata dia, sudah merancang bentuk ATC berupa lembaga pelayanan, dan bukan badan layanan umum. “Lembaga pelayanan tidak mencari keuntungan, sedangkan badan layanan umum lebih pada keuntungan.”
PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai pengelola ATC membantah tudingan peralatannya sudah usang. "Kalau pemerintah melihat ini sudah tidak layak, tentu tidak akan mengizinkan," kata Deputi Senior General Manager Angkasa Pura II, Mulya Abadi Mulya, kemarin.
Meskipun dipasang sejak dulu, kata dia, Jakarta memiliki tiga sistem radar. Sistem radar utama adalah Jakarta Automation Air Traffic System. Jika sistem ini terganggu, akan ditopang Jakarta Automated Support System, dan ada Emergency Jakarta Automation Air Traffic System sebagai penopang terakhir.
Mulya mengakui frekuensi penerbangan di wilayah Jakarta sangat tinggi. Setiap hari ada 1.600-1.800 penerbangan yang melintasi wilayah ini. Dari jumlah itu, sekitar 700 penerbangan hanya melintas. "Sisanya, ada 1.100 penerbangan yang mendarat dan terbang di Bandara Soekarno-Hatta.”
ALI NUR YASIN | AFRILIYAH SURYANIS | BERNADETTE CHRISTINA
Berita Populer
Neraka di Langit Indonesia: Seluler dan Sex Phone
Satu Jenazah Utuh Tragedi Sukhoi Tiba di RS Polri
ATC Membantah Terbang di Indonesia Seperti Neraka
Sukhoi Jatuh �Berkah� Warga Bogor
Evakuasi Jenazah Pilot Sukhoi Memakan Waktu 3 Jam
Badan Pesawat Sukhoi Ditemukan
Ada Tiga Mayat Dekat Bodi Pesawat Sukhoi
Tim Rusia Dilarang Terbangkan Helikopter ke Lokasi
Ada Kantong Jenazah Berisi Barang Korban Sukhoi
Kalla: Saya Selalu Siap Maju Pilpres Lagi