Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

KPK Usut Lagi Kasus Harun Masiku dan Panggil Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Soal Diare dan Puyer Cap Kupu-kupu

KPK buka lagi kasus suap politikus PDIP Harun Masiku terhadap eks anggota KPU Wahyu Setiawan setelah mandek. KPK akan panggil Hasto Kristiyanto lagi.

7 Juni 2024 | 14.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuka kasus suap politikus PDI Perjuangan (PDIP) Harun Masiku terhadap eks anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan setelah lama mandek. Harun menyuap Wahyu agar bisa menduduki kursi DPR RI 2019-2024. Saat KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Januari 2020, Harun raib dan hingga kini belum diketahui keberadaannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa waktu terakhir, kasus ini kembali mencuat setelah lembaga antirasuah itu memeriksa tiga saksi yang disebut sebagai kerabat Harun untuk mencari keberadaan buron sejak 4 tahun lalu tersebut. Mereka yakni seorang pengacara dan dua mahasiswa. KPK rencananya juga akan memeriksa Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto pekan depan terkait kasus Harun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lantas apa alasan KPK mengusut kembali kasus Harun Masiku hingga berencana memanggil Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto?

Alasan KPK usut lagi kasus Harun Masiku

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak tak menjawab alasan KPK akhir-akhir ini gencar memeriksa saksi untuk mencari keberadaan Harun Masiku. Dia juga tak menjawab soal berapa banyak saksi yang telah diperiksa dalam perkara tersebut. Pihaknya justru menyarankan agar pertanyaan seputar penanganan perkara ini ditanyakan kepada Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Asep Guntur.

“Kalau masalah teknis penanganan perkara seperti jumlah saksi, siapa saja, dan kapan saja saksi dipanggil untuk dimintakan keterangan, itu Dirdik yang lebih paham,” kata Tanak kepada Tempo, Selasa, 4 Juni 2024.

Sementara itu, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur juga enggan menanggapi pertanyaan Tempo. Menurut Asep, semua pertanyaan harus satu pintu diajukan kepada Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri. Saat dikonfirmasi, Ali hanya menjawab singkat. Dia menuturkan, alasan adanya saksi baru yang diperiksa belakangan adalah karena ada perkembangan informasi yang diperoleh KPK.

“Mengembangkan informasi terbaru yang diterima KPK,” tutur Ali lewat pesan instan.

Dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta Selatan, Ali kembali menegaskan alasan KPK tersebut. Pihaknya juga membantah bahwa apa yang dilakukan KPK belakangan ini terkait Harun Masiku hanya gimik belaka. Kata Ali, KPK tengah mendalami informasi keberadaan Harun melalui saksi terbaru. Kendati demikian, Ali belum bisa menginformasikan apakah penyidik sudah mengetahui lokasi tersangka tersebut.

KPK akan panggil Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Penyidik KPK berencana memanggil Hasto Kristiyanto pada Senin pekan depan. Ali mengatakan Sekjen PDIP itu bakal diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi ihwal perkara suap yang melibatkan Harun. “Informasi dari teman-teman penyidik, yang bersangkutan (Hasto Kristiyanto) dimungkinkan minggu depan akan dipanggil ya, tetapi memang kami belum mengonfirmasi kembali waktunya,” kata Ali, Rabu, 5 Juni 2024.

Menanggapi rencana pemanggilan dirinya oleh penyidik KPK, Hasto Kristiyanto mengatakan akan hadir memenuhi panggilan tersebut. Menurut Hasto, sebagai Sekretaris Jenderal partai yang sah menurut hukum dan taat pada supremasi hukum, juga sebagai warga negara yang bertanggung jawab, maka, sudah sepatutnya panggilan tersebut ditanggapi secara serius.

“Kualat saya kalau gak datang. Apalagi KPK didirikan sama Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP,” kata Hasto di Sekolah Partai PDIP, Kamis, 6 Juni 2024.

Selanjutnya: Kronologi kasus Harun Masiku dan dugaan keterlibatan Hasto Kristiyanto

Menukil dari Majalah Tempo edisi 13-19 Januari 2020, Perkara ini bermula ketika caleg PDIP Dapil Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas meninggal pada 26 Maret 2019. Kala itu, setelah pencoblosan pada April, Nazarudin yang meninggal tiga pekan sebelum gelaran, tetap mendapatkan suara terbanyak. KPU memutuskan perolehan suara Nazarudin dialihkan ke Riezky, caleg PDIP dengan perolehan suara terbanyak kedua di partai.

Pada awal Juli, PDIP memberikan kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mendaftarkan uji materi Pasal 54 PKPU No 3/2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA). Kemudian pada 19 Juli, MA mengabulkan sebagian gugatan PDIP. Pada 5 Agustus, PDIP berdasarkan putusan MA mengirimkan surat kepada KPU meminta agar suara Nazarudin dialihkan ke Harun. Surat itu diteken Bambang Dwi Hartono dan Hasto Kristiyanto.

Namun, pada 31 Agustus rapat pleno KPU menolak permintaan PDIP dan menetapkan Riezky Aprilia sebagai peraih suara terbanyak kedua sebagai anggota DPR RI Sumsel I. PDIP meminta fatwa kepada MA pada 13 September agar KPU melaksanakan putusan MA soal penetapan suara calon legislator. Sepuluh hari berselang, 23 September, PDIP mengirimkan surat berisi penetapan caleg kepada KPU.

Kemudian antara 23 sampai 30 September, Kader PDIP Saeful Bahri melobi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fidelina untuk mengabulkan permohonan PDIP agar KPU menetapkan Harun, bukan Riezky Aprilia. Agustiani lalu menyerahkan surat berisi penetapan calon legislator dan fatwa MA dari Saeful kepada Wahyu Setiawan untuk membantu penetapan Harun sebagai calon anggota DPR terpilih. Wahyu menyanggupi dan meminta dana operasional Rp 900 juta.

Saeful diduga melapor kepada Hasto Kristiyanto pada 16 Desember soal rencana pemberian uang Rp 400 juta kepada Wahyu Setiawan. Keesokan harinya, 17 Desember, Saeful menyerahkan Rp 200 juta dalam bentuk dolar Singapura kepada Agustina untuk diserahkan kepada Wahyu. Wahyu kemudian menerima Rp 150 juta dalam bentuk dolar Singapura yang diantarkan Agustiani di pusat belanja Pejaten Village, Jakarta Selatan.

PDIP ngotot agar Harun yang naik di kursi DPR RI meskipun Riezky sudah dilantik sejak 1 Oktober. Setelah upaya lewat oper perolehan suara Nazarudin kepada Harun tidak berhasil, PDIP lalu memohon kepada KPU pada 18 Desember untuk melaksanakan pergantian antar waktu Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Surat ini ditandatangani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Hasto Kristiyanto.

Pada 23 Desember, Harun Masiku menyerahkan duit Rp 850 juta kepada Riri, anggota staf di kantor PDIP, di sebuah rumah di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12 A, Jakarta, yang merupakan kantor Hasto Kristiyanto, lalu diteruskan kepada Saeful. Pada 26 Desember, Saeful menyerahkan kepada Agustina sebesar Rp 450 juta. Saat akan diserahkan kepada Wahyu pada 27 Desember, Wahyu meminta Agustiani supaya menyimpan dulu uang tersebut.

Pada 6 Januari 2020, rapat pleno KPU kembali menolak permintaan PDIP yang ingin mengganti Riezky dengan Harun. Upaya lobi pakai duit rupanya belum memperlihatkan hasil. Wahyu menghubungi Donny dan berjanji mengusahakan kembali proses pergantian antar waktu untuk Harun. Janji itu tak terpenuhi karena pada 8 Januari, KPK berhasil meringkus Wahyu dan Agustina dalam OTT KPK.

Tim KPK menangkap Wahyu bersama Rahmat Tonidaya di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Tim lain menangkap Agustiani di rumahnya di Depok, Jawa Barat, bersama uang dolar Singapura senilai Rp 400 juta dan buku rekening. Selain Wahyu, tujuh orang lain juga digulung. Dua di antaranya Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, kader PDIP yang dekat dengan Hasto.

KPK juga berupaya menangkap Harun dan Hasto pada 8 Januari malam. Keduanya diduga bertemu di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan menurut laporan Majalah Tempo edisi Sabtu, 11 Januari 2020. Harun dijemput Nurhasan, seorang petugas keamanan di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12A, Menteng, untuk bertemu Hasto di PTIK. Keduanya disebut tiba pukul 20.00. Sedangkan Hasto tiba lebih dulu.

Tapi tim KPK pulang dengan tangan hampa setelah sempat ditahan sejumlah polisi di lingkungan PTIK hingga menjelang subuh. Keesokan harinya, 9 Januari, Hasto muncul di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat setelah namanya tak disebut KPK dalam pengumuman hasil operasi tangkap tangan. Ia mengaku sakit diare pada Rabu malam, 8 Januari 2020, Hasto membantah bersembunyi.

“Saya sembuh berkat obat puyer Cap Kupu-kupu,” ujarnya.

Selanjutnya: Harun Masiku disebut tengah di luar negeri saat OTT KPK

Harun Masiku sempat disebut-sebut berada di luar negeri sejak sebelum OTT oleh KPK. Dinukil dari Majalah Tempo edisi 13-19 Januari 2020, penelusuran Tempo mengungkap Harun memang melanglang ke Singapura pada Senin, 6 Januari.

Namun dia hanya sehari di Negeri Singa. Pada Selasa sore, 7 Januari, Harun sudah berada di Tanah Air. Artinya, saat OTT pada 8 Januari, tersangka suap itu tak di luar negeri.

Tetapi temuan Tempo itu dibantah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum). Mereka kekeh mengklaim Harun berada di luar negeri. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, yang juga kader PDIP, memastikan bahwa Harun masih berada di luar negeri.

“Pokoknya belum di Indonesia,” kata Yasonna di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA, Jakarta Timur, pada Kamis, 16 Januari 2020.

Yasonna baru mengakui keberadaan Harun di Indonesia setelah Koran Tempo membongkar data penerbangan dan kedatangan Harun di Bandara Soekarno-Hatta. Harun terbang dari Bandar Udara Soekarno-Hatta menuju Bandara Changi, Singapura, pada 6 Januari. Sehari kemudian, dia kembali dari Singapura menumpang pesawat Batik Air. Hasil penelusuran Tempo diperkuat rekaman kamera CCTV Bandara Soekarno-Hatta serta pengakuan Hildawati Jamrin, istri Harun.

Selanjutnya: Nama Hasto disebut-sebut dalam sidang Wahyu Setiawan

Sejumlah fakta terungkap seiring berjalannya agenda sidang dengan terdakwa Wahyu Setiawan. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan Saeful Bahri sebagai terdakwa penyuap Wahyu pada Kamis, 30 April 2020, nama Hasto turut disebut-sebut. Saeful mengatakan suap diberikan kepada Wahyu untuk disalurkan kepada anggota KPU lain. Namun, belum sempat fulus itu didistribusikan, Wahyu sudah keburu dicokok KPK.

“Terakhir saya bertanya kepada Pak Wahyu lewat Bu Tio (Agustiani Tio Fridelina), jawabannya belum sempat didistribusikan kepada semua komisioner,” kata terdakwa Saeful Bahri dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu.

Berdasarkan informasi yang ia peroleh, Saeful mengatakan duit itu belum sempat dibagikan karena saat itu sedang banyak hari libur. Sesuai surat dakwaan Jaksa KPK, Wahyu Setiawan meminta duit Rp 1 miliar untuk mengurus penetapan Harun di KPU. Komunikasi dan penyerahan uang kepada wahyu dilakukan lewat perantara Agustiani Tio Fridelina yang juga kader PDIP.

Saeful mengaku sempat berkomunikasi lewat WhatsApp dengan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Komunikasi antara Hasto dan Saeful terjadi pada 16 Desember 2019. Komunikasi itu di antaranya mengenai laporan transaksi uang untuk Wahyu Setiawan. Dalam pesan instan itu, Hasto memberi tahu Saeful bahwa ada uang Rp 600 juta. Sebanyak Rp 200 juta akan digunakan untuk uang muka “penghijauan”.

Saeful mengatakan mulanya dirinya meminta penugasan kepada Hasto. Kemudian, Sekjen PDIP tersebut menyuruh pihaknya untuk mengurus program penghijauan PDIP. “Kebetulan saat itu partai punya program penghijauan, kemudian Pak Hasto menugaskan saya di situ,” kata dia. Saeful mengatakan tak tahu sumber duit Rp 600 juta itu.

Nama Hasto Kristiyanto juga kembali disebut dalam sidang pembacaan dakwaan dengan terdakwa Saeful di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Kamis, 2 April 2020. Jaksa mengungkap peran Sekjen PDIP itu dalam pusaran kasus suap Harun Masiku. Jaksa menyebut Hasto memerintahkan kuasa hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan terkait pengganti antar waktu Harun Masiku ke KPU RI.

“Atas keputusan rapat pleno DPP PDIP tersebut, Hasto Kristiyanto selaku Sekjen PDIP meminta Donny Tri Istiqomah selaku Penasihat Hukum PDIP untuk mengajukan surat permohonan ke KPU RI,” ujar jaksa.

Jaksa mengatakan PDIP kemudian mengirimkan surat nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 kepada KPU RI, meminta suara Nazarudin Kiemas dialihkan ke Harun Masiku. Bahkan, kata jaksa, Harun Masiku langsung menemui Ketua KPU saat itu Arief Budiman agar permohonan PDIP itu bisa diakomodir. Namun permohonan PDIP tersebut ditolak KPU. Penolakan tersebut dicantumkan dalam surat Nomor 1177/PY.01.1-SD/06/KPU/VIII/2019. Intinya permohonan PDIP tak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Akibat surat permohonan PDIP yang tidak diakomodir oleh KPU, kemudian muncullah perkara suap-menyuap yang melibatkan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan itu. Harun Masiku meminta kepada Saeful agar mengupayakan dirinya bisa menggantikan Riezky Aprilia. Saeful kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina agar Wahyu bisa mengupayakan permintaan Harun Masiku.

Dalam persidangan pada Mei 2021, nama Hasto Kristiyanto lagi-lagi disebut. Pengacara kader PDIP Donny Tri Istiqomah menyebut Hasto mengetahui upaya pergantian ini. Terdakwa pemberi suap, Saeful Bahri, juga diketahui sebelumnya merupakan staf Hasto. Bahkan, Wahyu Setiawan yang lalu menjadi terdakwa dalam kasus ini juga berjanji membuka keterlibatan Hasto.

“Pembongkaran termasuk misalkan dugaan ke Hasto (Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto) dan juga PDIP, Megawati, Beliau itu akan membuka proses itu semua, apakah ada keterlibatan,” ujar Saiful Anam, pengacara Wahyu, saat itu.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | AMELIA RAHIMA SARI | ANDI ADAM FATURAHMAN I EKA YUDHA SAPUTRA | MUTIA YUANTISYA | CAESAR AKBAR | MAJALAH TEMPO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus