Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 228 Undang-Undang Pemilihan Umum. Putusan MK ini menolak uji materil frasa "gabungan partai politik" yang diajukan Otniel Raja Maruli Situmorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara Nomor 18/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Maret 2024.
Dengan penolakan ini, meski suatu partai politik tersebut berkoalisi menjadi "gabungan partai politik" maka tetap berlaku larangan dalam norma Pasal 228 UU Pemilu. Dengan demikian keberlakuan Pasal 228 UU Pemilu sesungguhnya ditujukan bagi partai politik secara umum, walaupun tanpa menyebutkan frasa gabungan partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, sebagai ilustrasi apabila pengusulan pasangan calon dilakukan oleh gabungan partai politik, pada tahap pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum, pendaftaran pasangan calon itu juga dilakukan oleh gabungan partai politik yang mengusulkan.
"Begitu pun sebaliknya, apabila pengusulan pasangan calon hanya dilakukan oleh partai politik, karena itu tidak digunakannya frasa atau gabungan partal politik dalam norma Pasal 228 UU 7/2017," kata Enny dalam membacakan isi putusan persidangan.
Menurut Mahkamah Konstitusi, kata Enny, sesungguhnya subjectum litis dari adressat Pasal a quo, adalah partai politik yang menjadi peserta pemilu. Termasuk gabungan partai politik dalam kaitan dengan larangan menerima imbalan dalam bentuk apa pun, pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden.
Pemohon juga mendalilkan norma Pasal 228 UU Pemilu yang tidak mengatur sanksi pidana bagi gabungan partai politik yang melanggar norma a quo. Sehingga tidak mencerminkan pemilu yang adil dan memberikan jaminan kepastian hukum berkenaan dengan dalil pemohon a quo yang menginginkan adanya sanksi pidana dimaksud.
Enny menjelaskan, MK telah memiliki pendirian untuk tidak memasuki wilayah criminal policy, yang merupakan ranah pembentuk undang-undang. Terlebih UU 2/2008, UU 2/2011, dan UU 7/2017 telah mengatur larangan serta sanksi bagi partai politik.
Sebab itu, sejalan dengan semangat pemohon yang menginginkan hadirnya partai politik peserta pemilu, termasuk gabungan partai politik, yang bersih dan bebas dari korupsi, maka penggunaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel dalam mewujudkan pemilu presiden dan wakil presiden yang demokratis dan adil.
Pilihan Editor: Bareskrim Sebut 33 Universitas di Indonesia Diduga Terlibat Perdagangan Orang Berkedok Magang Mahasiswa di Jerman