Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Bawah Bayang-bayang Inflasi

Lonjakan inflasi membayangi perekonomian Indonesia pada 2023. Kenaikan harga barang dan jasa menyebabkan pengetatan kebijakan moneter, baik dari sisi likuditas maupun suku bunga. 

15 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi berbincang saat berkunjung di Pasar Senen Blok III, Jakarta, 17 Maret 2022. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Lonjakan inflasi membayangi perekonomian Indonesia pada 2023.

  • Kenaikan harga barang dan jasa akan menghambat pemulihan ekonomi.

  • Wacana kenaikan tarif jalan tol, elpiji, hingga Pertalite justru memicu kenaikan permintaan.

JAKARTA — Lonjakan inflasi menjadi salah satu risiko yang membayangi perekonomian Indonesia pada 2023. Lonjakan harga barang maupun jasa menjadi risiko baru setelah pemerintah memperkirakan pandemi Covid-19 yang memasuki fase endemi tak lagi menekan ekonomi pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan faktor inflasi muncul lantaran ketegangan geopolitik.

Perang Rusia dan Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga komoditas dan angka inflasi di banyak negara, khususnya negara maju. "Kenaikan harga komoditas dan inflasi yang tinggi ini menyebabkan pengetatan kebijakan moneter, baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga," ujar Sri Mulyani setelah mengikuti rapat kabinet terbatas bersama Presiden Joko Widodo, kemarin.

Kondisi tersebut, kata dia, bakal menimbulkan potensi volatilitas arus modal, nilai tukar, dan tekanan terhadap sektor keuangan. Ujung-ujungnya, pemulihan ekonomi pun akan melemah secara global. Hal itu terlihat dari proyeksi berbagai lembaga multilateral.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 4,5 menjadi 3,5 persen. Selaras dengan OECD, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 4,4 menjadi 3,5 persen. Adapun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,1-3,7 persen dari proyeksi semula 4,4 persen.

Di sisi lain, laju inflasi diperkirakan meningkat. Bank Indonesia menyebutkan angka inflasi di negara maju naik dari 3,9 menjadi 5,7 persen. Kenaikan tekanan inflasi juga akan dirasakan negara berkembang, dari proyeksi semula 5,9 menjadi 8,6 persen. "Kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit," kata Sri Mulyani.

Ia mengatakan berbagai negara saat ini sudah mengalami tekanan, bahkan krisis pangan, akibat kenaikan harga komoditas global. Negara yang dilaporkan telah dilanda krisis antara lain negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara-negara tersebut, menurut Sri Mulyani, mengalami persoalan pangan lantaran 80 persen bahan makanannya berasal dari Rusia dan Ukraina.

Karena itu, Sri Mulyani mengimbuhkan, prospek kenaikan inflasi akan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam mendesain anggaran negara. Ia menimpali, belanja pada 2023 bakal difokuskan untuk mendukung pemulihan ekonomi melalui berbagai program prioritas, seperti pembangunan kualitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, revitalisasi industri, dan dukungan terhadap ekonomi hijau.

"Kita perlu menjaga keseluruhan kebijakan fiskal dan moneter sehingga kepercayaan dan stabilitas tetap terjaga, serta investasi akan meningkat karena Indonesia terus memperbaiki iklim investasinya," ujar dia.

Pemerintah membidik angka inflasi pada tahun ini sebesar 2-4 persen. Laju inflasi ini menjadi salah satu parameter yang diperhatikan Bank Indonesia untuk memutuskan kebijakan suku bunga, di samping pertumbuhan ekonomi. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan suku bunga acuan bank sentral masih akan dipertahankan sebesar 3,5 persen sampai adanya tanda-tanda kenaikan inflasi.

Meski demikian, Bank Indonesia hanya akan merespons tekanan inflasi yang bersifat fundamental. Karena itu, BI tidak akan merespons dampak pertama dari tekanan harga pangan dan energi, melainkan dampak rambatan yang berpotensi mempengaruhi fundamental inflasi. "Indikatornya inflasi inti," kata dia. Untuk itu, bank sentral akan memantau tekanan harga guna menakar dampak inflasi.

Warga menunjukkan dokumen dan uang bantuan langsung tunai (BLT) di kantor Desa Sidowayah, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah, 14 April 2022. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, berpendapat bahwa menjaga inflasi pada target 2-4 persen sangat sulit dengan kondisi sekarang. Sebab, transmisi kenaikan harga energi dan pangan global nyaris tidak bisa dicegah karena besarnya ketergantungan terhadap impor serta lemahnya kapasitas fiskal.

Inflasi ekspektasi (expected inflation) saat ini juga sulit dikendalikan karena banyaknya wacana kenaikan harga di masa depan, dari tarif jalan tol, elpiji tiga kilogram bersubsidi, hingga Pertalite. Ia melihat inflasi ekspektasi ini memicu kenaikan permintaan sebagai antisipasi melambungnya harga sehingga tekanan permintaan ke harga semakin besar. "Saya yakin inflasi pada 2022 akan ada di atas 4 persen."

Sedangkan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Rachbini, mengatakan kenaikan inflasi patut menjadi perhatian lantaran tak hanya akan berdampak pada masyarakat, tapi juga terhadap dunia usaha. Pada masyarakat, kenaikan harga barang-barang yang memicu lonjakan inflasi dipastikan juga akan memukul daya beli masyarakat, terutama mereka yang rentan secara ekonomi.

Ia melihat masyarakat yang baru beranjak pulih dari hantaman pandemi kebanyakan belum memiliki kekuatan ekonomi atau pemasukan seperti saat sebelum masa pandemi. Ketika harga-harga melonjak, mereka pun tidak bisa membeli barang seperti yang diinginkan. Dalam situasi harga bergejolak saat ini, masyarakat bakal memilih berhemat dan pada akhirnya mengurangi konsumsi rumah tangga.

Sementara itu, dari sisi dunia usaha, inflasi yang tinggi akan meningkatkan harga bahan baku. Dengan modal produksi yang naik, minat perusahaan untuk berinvestasi akan berkurang. "Kalau konsumsi dan investasi berkurang, tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Inflasi tinggi, tutur Eisha, pernah dirasakan pada 2013. Kala itu, angka inflasi melonjak hingga 8,3 persen karena kenaikan harga minyak dunia. Sebagai imbasnya, pertumbuhan ekonomi saat itu merosot menjadi 5,78 persen dari sebelumnya 6,3 persen.

Dengan melihat sejarah itu, ia menyarankan pemerintah mempertimbangkan ulang berbagai kebijakan yang mungkin mengerek inflasi, misalnya kenaikan tarif listrik, elpiji bersubsidi, hingga Pertalite. Sebab, masyarakat masih tertekan dengan kenaikan harga Pertamax dan bahan pangan. Belum lagi dengan adanya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 menjadi 11 persen.

Sebaliknya, Eisha berpendapat pemerintah seharusnya tetap menyiapkan berbagai program bantalan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dijaga sesuai dengan rencana. "Kalau tidak bisa tumbuh baik, kita tidak bisa mengejar target jangka panjang menjadi negara maju di 2045." 

CAESAR AKBAR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus