Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Lonjakan inflasi membayangi perekonomian Indonesia pada 2023.
Kenaikan harga barang dan jasa akan menghambat pemulihan ekonomi.
Wacana kenaikan tarif jalan tol, elpiji, hingga Pertalite justru memicu kenaikan permintaan.
JAKARTA — Lonjakan inflasi menjadi salah satu risiko yang membayangi perekonomian Indonesia pada 2023. Lonjakan harga barang maupun jasa menjadi risiko baru setelah pemerintah memperkirakan pandemi Covid-19 yang memasuki fase endemi tak lagi menekan ekonomi pada tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan faktor inflasi muncul lantaran ketegangan geopolitik.
Perang Rusia dan Ukraina telah menyebabkan kenaikan harga komoditas dan angka inflasi di banyak negara, khususnya negara maju. "Kenaikan harga komoditas dan inflasi yang tinggi ini menyebabkan pengetatan kebijakan moneter, baik dari sisi likuiditas maupun suku bunga," ujar Sri Mulyani setelah mengikuti rapat kabinet terbatas bersama Presiden Joko Widodo, kemarin.
Kondisi tersebut, kata dia, bakal menimbulkan potensi volatilitas arus modal, nilai tukar, dan tekanan terhadap sektor keuangan. Ujung-ujungnya, pemulihan ekonomi pun akan melemah secara global. Hal itu terlihat dari proyeksi berbagai lembaga multilateral.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 4,5 menjadi 3,5 persen. Selaras dengan OECD, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 4,4 menjadi 3,5 persen. Adapun Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,1-3,7 persen dari proyeksi semula 4,4 persen.
Di sisi lain, laju inflasi diperkirakan meningkat. Bank Indonesia menyebutkan angka inflasi di negara maju naik dari 3,9 menjadi 5,7 persen. Kenaikan tekanan inflasi juga akan dirasakan negara berkembang, dari proyeksi semula 5,9 menjadi 8,6 persen. "Kondisi ini tentu akan menimbulkan dampak yang sangat rumit," kata Sri Mulyani.
Ia mengatakan berbagai negara saat ini sudah mengalami tekanan, bahkan krisis pangan, akibat kenaikan harga komoditas global. Negara yang dilaporkan telah dilanda krisis antara lain negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara-negara tersebut, menurut Sri Mulyani, mengalami persoalan pangan lantaran 80 persen bahan makanannya berasal dari Rusia dan Ukraina.
Karena itu, Sri Mulyani mengimbuhkan, prospek kenaikan inflasi akan menjadi faktor yang diperhitungkan dalam mendesain anggaran negara. Ia menimpali, belanja pada 2023 bakal difokuskan untuk mendukung pemulihan ekonomi melalui berbagai program prioritas, seperti pembangunan kualitas sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, revitalisasi industri, dan dukungan terhadap ekonomi hijau.
"Kita perlu menjaga keseluruhan kebijakan fiskal dan moneter sehingga kepercayaan dan stabilitas tetap terjaga, serta investasi akan meningkat karena Indonesia terus memperbaiki iklim investasinya," ujar dia.
Pemerintah membidik angka inflasi pada tahun ini sebesar 2-4 persen. Laju inflasi ini menjadi salah satu parameter yang diperhatikan Bank Indonesia untuk memutuskan kebijakan suku bunga, di samping pertumbuhan ekonomi. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan suku bunga acuan bank sentral masih akan dipertahankan sebesar 3,5 persen sampai adanya tanda-tanda kenaikan inflasi.
Meski demikian, Bank Indonesia hanya akan merespons tekanan inflasi yang bersifat fundamental. Karena itu, BI tidak akan merespons dampak pertama dari tekanan harga pangan dan energi, melainkan dampak rambatan yang berpotensi mempengaruhi fundamental inflasi. "Indikatornya inflasi inti," kata dia. Untuk itu, bank sentral akan memantau tekanan harga guna menakar dampak inflasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo