Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Beragam Tanggapan Ekonom Soal Wacana Penghapusan Utang Petani, Nelayan, dan Pelaku UMKM

Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut bahwa rencana pemutihan utang petani, nelayan dan UMKM ini akan membutuhkan penyesuaian regulasi.

29 Oktober 2024 | 12.13 WIB

Menkeu Sri Mulyani dan Preseiden Prabowo serta anggota Kabinet Merah Putih dalam retreat di Akmil Magelang, 25 Oktober 2024. (Instagram/smindrawati)
Perbesar
Menkeu Sri Mulyani dan Preseiden Prabowo serta anggota Kabinet Merah Putih dalam retreat di Akmil Magelang, 25 Oktober 2024. (Instagram/smindrawati)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto berencana mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang akan memberikan pemutihan utang petani, dan pelaku usaha mikro. Langkah ini bertujuan untuk memperbaiki akses kredit bank ke berbagai sektor usaha, termasuk di kalangan UMKM, petani, dan nelayan.

Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM dari INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam menjalankan kebijakan ini, mengingat adanya risiko moral hazard. Ia menyatakan bahwa program pemutihan sebaiknya lebih diutamakan bagi UMKM yang belum pernah mendapatkan akses pembiayaan. Selain itu, untuk memastikan bantuan mencapai target yang tepat, pelaku usaha mikro perlu dievaluasi kemampuan usahanya. Bagi usaha kelas menengah, lanjut Eisha, kebijakan akses pembiayaan juga harus ditinjau agar risiko moral hazard bisa diminimalkan.

Dari perspektif lain, ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebut bahwa rencana pemutihan utang ini akan membutuhkan penyesuaian regulasi, terutama karena perubahan aturan semacam ini membutuhkan waktu. Ia menjelaskan bahwa penghapusan utang dari lembaga konvensional, seperti bank, memerlukan regulasi khusus untuk memastikan implementasinya berjalan sesuai hukum. Menurutnya, meskipun pemerintah sudah memiliki peraturan terkait penghapusan kredit macet untuk UMKM, penerapannya untuk sektor pertanian masih perlu dikaji lebih lanjut.

Yusuf menambahkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebut bahwa penghapusan tagihan dianggap sebagai kerugian negara, sehingga perlu kehati-hatian dalam menerapkan kebijakan ini agar tidak melanggar regulasi yang ada.

Drajad Hari Wibowo menegaskan bahwa program pemutihan utang untuk petani dan nelayan tidak akan mencakup nasabah pinjaman online yang bersifat konsumtif, karena hal itu berisiko menimbulkan moral hazard. Ia menyatakan bahwa pemutihan difokuskan pada utang produktif, seperti Kredit Usaha Produktif (KUP), yang bertujuan membantu petani dan nelayan yang kesulitan dalam pelunasan utang. Meskipun ada kemungkinan evaluasi terhadap utang pada platform fintech P2P lending, pemerintah ingin memastikan bahwa pemutihan ini hanya menyasar mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, menyampaikan bahwa ketimpangan dalam kepemilikan lahan pertanian di Indonesia telah mencapai kondisi yang sangat serius. Menurutnya, sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem, dengan jumlah mencapai sekitar 16,8 juta jiwa. Masalah utama yang dihadapi petani bukan hanya utang, tetapi keterbatasan lahan yang sangat mendesak. Tingkat ketimpangan kepemilikan tanah juga dinilai sangat tinggi, mencapai 0,7 persen, menunjukkan bahwa sebagian besar lahan dikuasai oleh segelintir pihak.

Selain kepemilikan lahan yang minim, biaya sewa lahan untuk bercocok tanam juga tergolong tinggi dan menjadi salah satu komponen biaya terbesar dalam usaha tani. Henry menyebutkan bahwa harga sewa tanah per hektar berkisar antara 10 hingga 20 juta rupiah, dan hal ini semakin memberatkan petani gurem dalam usaha mereka.

Menurut Henry, upaya pemutihan utang petani atau kemudahan akses kredit tidak akan signifikan dalam meningkatkan kondisi petani jika ketimpangan kepemilikan tanah tidak diatasi. Distribusi lahan kepada petani dianggap sebagai langkah mendasar yang perlu dilakukan untuk membangun sektor pertanian dan pangan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa redistribusi tanah tidak hanya penting untuk produktivitas pertanian tetapi juga sebagai upaya mengurangi kemiskinan di desa, mengingat karakter agraris masyarakat pedesaan. Peningkatan hasil pertanian akan sulit tercapai jika mayoritas petani masih termasuk dalam kategori petani gurem.

MICHELLE GABRIELA | YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | ANTARA | VEDRO IMANUEL G
Pilihan editor:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus