Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beratnya Tuntutan Fasilitas Kilang

Rencana pembangunan kilang minyak baru terus tertunda. Fasilitas yang diminta investor dinilai terlalu besar.

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kusutnya urusan pembangunan kilang minyak tampaknya belum menemui titik terang. Pekan ini Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo berencana melobi Kementerian Keuangan untuk membicarakan fasilitas yang diminta investor asal Arab Saudi dan Kuwait.

Saudi Aramco Asia Company Ltd dan Kuwait Petroleum Corporation—keduanya perusahaan pelat merah Saudi dan Kuwait—meminta keringanan fiskal sebagai syarat membangun kilang minyak di Indonesia. "Kami serius untuk urusan kilang minyak ini. Pekan depan akan saya bicarakan," kata Susilo kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Selama lebih dari 20 tahun, praktis tak ada penambahan kapasitas kilang minyak. Pembangunan pabrik pengolah minyak mentah terakhir dilakukan pada 1990 di Balongan, Jawa Barat. Pada 1998, sempat dilakukan peningkatan kapasitas kilang II Cilacap. Kini tekad membangun kilang berkobar lagi.

Gara-garanya, kebutuhan bahan bakar minyak nasional terus melonjak. Tahun lalu realisasi konsumsi bensin bersubsidi hampir menembus 45 juta kiloliter dengan subsidi Rp 211,9 triliun. Plus realisasi subsidi bahan bakar untuk pembangkit listrik Rp 94,6 triliun.

Meningkatnya harga minyak mentah Indonesia (ICP) membuat anggaran subsidi energi yang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 ditetapkan Rp 202,4 triliun membengkak menjadi Rp 305,9 triliun. Soalnya, setiap kenaikan ICP US$ 1 per barel, pemerintah tekor sekitar Rp 2 triliun.

Tahun ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan kuota bahan bakar minyak bersubsidi 44 juta kiloliter, dengan bujet subsidi Rp 193,8 triliun. Angka konsumsi BBM yang terus menanjak itulah yang, menurut Pelaksana Tugas Menteri Keuangan Hatta Rajasa, mengharuskan Indonesia mengamankan pasokan dalam negeri. "Suatu saat bisa saja, walaupun kita punya uang dan ingin impor tapi barangnya enggak ada."

Pemerintah, menurut Susilo, berencana menambah tiga unit kilang minyak, masing-masing berkapasitas 300 ribu barel. Satu unit di antaranya akan dibangun menggunakan anggaran negara. Tahun ini pemerintah mengalokasikan Rp 250 miliar untuk studi kelayakan, membuat desain engineer­ing, hingga final investment decision.

Diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk membangun satu kilang US$ 8 miliar (hampir Rp 90 triliun). Salah satu proyek ini akan melibatkan perusahaan minyak dan gas negara, PT Pertamina (Persero), bermitra dengan perusahaan minyak milik pemerintah Irak. Kerja sama ini memang berawal dari pembicaraan di antara kedua pemerintah.

Menurut Susilo, Irak akan menjamin pasokan minyak mentah dari Basrah. "Mereka bilang Indonesia perlu crude berapa saja akan dikasih. Ini menarik." Kepastian sumber minyak mentah merupakan hal penting. Pasokan minyak mentah tersebut akan dihitung sebagai keikutsertaan Irak di proyek sebesar 20 persen.

Pemerintah akan segera menindaklanjuti kerja sama dengan Irak, yang masih tahap nota kesepahaman. Izin penggunaan minyak mentah sesuai dengan kapasitas kilang, 300 ribu barel, untuk dibawa ke Indonesia bakal segera diurus. Rencananya, desain kilang akan dibuat di Irak. Di Tanah Air tinggal mencari lokasi seperti di sana, yang berada di Selat Hormuz. Misalnya, kata Susilo, di Selat Makassar.

Adapun dua unit kilang yang akan dikembangkan Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum masih terganjal persoalan insentif fiskal. Sejak penjajakan kerja sama dilakukan dengan Pertamina pada 2010, keduanya telah meneriakkan fasilitas fiskal seperti yang mereka peroleh di Cina dan Vietnam. Misalnya pembebasan bea masuk barang modal dan bebas pajak penghasilan korporasi selama tenor tertentu. Bahkan sampai urusan pajak daerah dan lahan.

Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Pelaksana Tugas Menteri Keuangan, Hatta Rajasa, memastikan pemerintah siap memberikan insentif. Tujuannya agar pemodal mendapatkan tingkat pengembalian investasi (IRR) yang wajar. "Menurut keekonomian berapa? Sebesar 10, 11, 12 persen?"

Membangun kilang, menurut Hatta, tidak bisa melihat dari sisi ekonomi saja. Misalnya ada yang menyebut membangun kilang terlalu mahal, impor saja lebih murah. "Salah cara berpikir seperti itu."

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar menjelaskan, semua permintaan itu harus dikaji lebih dulu. Pemerintah mesti memiliki hasil studi untuk membandingkan apakah permintaan investor masih wajar atau telah berlebihan. Hasil studi itulah yang digunakan sebagai acuan untuk merespons tuntutan investor. "Kalau terlalu besar, tinggal dikurangi. Atau mungkin tidak perlu." Prinsipnya, kerja sama harus berimbang dan saling menguntungkan.

Berdasarkan kajian, ujar Mahendra, Kementerian Keuangan menilai peluang mendapat tingkat pengembalian (IRR) yang cukup layak secara bisnis masih bisa dicapai tanpa insentif. Menteri Keuangan dapat memberi fasilitas, misalnya, kemudahan impor barang modal dan perpajakan. "Tergantung untuk IRR berapa. Kalau kisaran 12 persen saja sebenarnya bisa."

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro menilai sederet insentif yang diminta investor agak di luar kewajaran. Padahal industri kilang saat ini sedang kelebihan suplai. "Lebih baik dicoba alternatif investor lain," kata Bambang.

Agus Martowardojo, saat menjabat Menteri Keuangan, mengatakan investor asal Kuwait dan Arab Saudi yang berminat membangun kilang belum menyampaikan studi kelayakan sebagai prasyarat awal. "Kurang baik investor langsung minta fasilitas fiskal tapi kita tidak tahu apa yang dilakukan. Seharusnya ada feasibility study dulu," ucap Agus di kantor Kementerian Keuangan, Desember 2012.

Studi kelayakan, Agus melanjutkan, harus mencakup beberapa hal, seperti teknologi yang akan digunakan, rencana operasional proyek, dan perkiraan harga jual produk. "Jika investor menargetkan modal dalam jumlah tertentu tapi tidak tercapai, baru ada kebijakan insentif fiskal," katanya.

Juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, memastikan hasil akhir studi kelayakan proyek kilang Pertamina-Kuwait telah disampaikan ke Kementerian Keuangan, akhir Januari 2013. Sedangkan studi untuk proyek kilang Pertamina-Arab Saudi masih disusun. Targetnya rampung paling cepat Juli nanti.

Semua insentif yang diajukan, menurut Ali, memang perlu agar tingkat pengembalian bisa mencapai 15 persen. Alasannya, margin bisnis kilang kecil. Makanya banyak negara memberikan insentif tersebut.

Mantan Direktur Utama Pertamina Ari Soemarno menjelaskan, margin bisnis kilang sangat fluktuatif. Sesuai dengan hukum ekonomi, penyebabnya adalah permintaan dan pasokan. Kondisi saat ini, kilang-kilang baru belum beroperasi, padahal permintaan telanjur naik. Peningkatan konsumsi digerakkan negara-negara Asia yang terus mencatat pertumbuhan, seperti Cina, India, Korea, termasuk Indonesia.

Kilang-kilang baru diperkirakan beroperasi mulai 2015. Pada saat itulah suplai akan berlimpah—antara lain dari Arab Saudi, Kuwait, dan Cina—yang menyebabkan margin kilang turun. Artinya, Ari menambahkan, margin kilang saat ini sedang tinggi hingga 2015. "Sekarang margin sampai US$ 13-15 per barel. Padahal untuk mencapai keekonomian hanya butuh margin US$ 5-7 per barel. Celakanya, bila kondisi sedang jelek, margin bisa cuma US$ 1, bahkan hampir nol."

Kondisi itulah, kata Ari, yang membikin investor waswas. Padahal sektor ini membutuhkan modal yang sangat besar, dengan jangka waktu pengembalian lama. Makanya investor minta garansi margin. Berbagai insentif fiskal itu ujung-ujungnya adalah untuk mendongkrak margin. Dia menilai permintaan itu wajar karena pasar sangat fluktuatif.

Ari menilai tingkat pengembalian modal pembangunan kilang minyak harus di atas 15 persen. "Di bawah itu, enggak menarik." Ia menjelaskan, tuntutan IRR pemodal mengacu pada bunga pinjaman bank dan tingkat risiko. Sementara di Cina para investor bisa mendapatkan margin 11-12 persen, di Indonesia mereka pasti akan meminta lebih besar lagi.

Anggota Komisi Energi DPR, Bambang Wuryanto, juga memahami permintaan investor. Namun, mengingat pentingnya ketersediaan BBM dalam konteks ketahanan energi nasional, ia mendorong pemerintah membangun sendiri. Bujet Rp 250 miliar tahun ini merupakan langkah awal. Selanjutnya bisa diteruskan sebagai proyek tahun jamak.

Ari kurang sepakat terhadap ikhtiar membangun kilang dengan biaya sendiri lantaran besarnya risiko. Kalau membangun sendiri berarti risiko ditanggung sendiri. "Tidak pas untuk proyek yang marginnya rendah. Pertamina kan harus mengembangkan sektor hulu juga. Justru hulu yang memberikan keuntungan."

Retno Sulistyowati


Kapasitas Kilang Pertamina
  • Unit Pengolahan II Dumai ' kapasitas 170 ribu barel
  • Unit Pengolahan III Plaju ' kapasitas 133,7 ribu barel
  • Unit Pengolahan IV Cilacap ' kapasitas 348 ribu barel
  • Unit Pengolahan V Balikpapan ' kapasitas 260 ribu barel
  • Unit Pengolahan VI Balongan ' kapasitas 125 ribu barel
  • Unit Pengolahan VII Kasim ' kapasitas 10 ribu barel SUMBER: WWW.PERTAMINA.COM
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus