Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat sejumlah masalah yang menyebabkan bahan bakar minyak bersubsidi atau BBM subsidi selama ini salah sasaran dan cenderung dinikmati orang mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur BBM BPH Migas, Patuan Alfon, mengatakan, dari hasil pemantauan BPH Migas selama ini, kebanyakan penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi yang terjadi dalam bentuk penimbunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ya memang kebanyakan itu ditimbun dan dilarikan ke konsumen-konsumen yang tidak berhak," kata Patuan dalam acara diskusi Ngobrol @Tempo berjudul "Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sasaran", Selasa, 30 Oktober 2022.
Permasalahan ini ditemukan selama BPH Migas menjalankan tugas pengawasan, baik secara langsung maupun melalui sistem digital verifikasi on desk terhadap volume penyaluran Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT).
"Bukan kita curiga, tapi ketika dianalisis teknis kita bisa lihat, lalu kita coba bedah lewat CCTV, ada enggak pengisan berulang. Ada yang tidak tepat sesuai kententuan, itu bisa kita temukan juga," ujar dia.
Permasalahan ini, kata Patuan, semakin marak ditemukan saat disparitas harga antara solar industri dengan solar subsidi jauh sekali besarannya. Oleh karena itu, pengawasan selalu diikuti dengan langkah pelaporan kepada aparat penegak hukum.
Di luar itu, dia melanjutkan, yang perlu dibenahi supaya penyaluran BBM bersubsidi tidak terus salah sasaran memang landasan hukumnya harus dibenahi dengan mendetilkan jenis kendaraan apa saja yang benar-benar bisa menikmati BBM bersubsidi seperti jenis Pertalite dan Solar.
Landasan hukum yang akan dibenahi itu adalah Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Dalam lampiran itu, kata Patuan, tidak lengkap kendaraan yang dibatasi bisa menggunakan BBM bersubsidi.
Selanjutnya: Aturan penjualan BBM subsidi yang ada saat ini masih menyisakan banyak grey area.
Dia mencontohkan, Perpres itu hanya mengecualikan mobil barang untuk pengangkutan hasil kegiatan perkebunan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 (enam) buah sebagai kendaraan yang bisa mengkonsumsi BBM bersubsidi jenis Solar.
"Jadi kalau ditanya selama ini apakah aturan itu sudah tepat sasaran, tentu belum karena masih banyak yang grey area. Karenanya dalam usulan kami tentu bagaiaman konteks tentang lampiran konsumen penggunanya bisa jelas, itu yang kami usulkan dalam revisi," ucap dia.
Sebelumnya, Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama ini tidak tepat sasaran. Akibatnya, pemerintah harus menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi hingga Rp 502,4 triliun tahun ini.
Dia menjelaskan, untuk BBM jenis solar saja 89 persen dinikmati dunia usaha, dan hanya 11 persennya dinikmati kalangan rumah tangga. Tapi, dari yang dinikmati rumah tangga itu ternyata 95 persennya dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 5 persen yang dinikmati rumah tangga miskin seperti petani dan nelayan.
Sementara itu, untuk BBM bersubsidi jenis Pertalite, Sri Mulyani mengatakan, 86 persennya digunakan kalangan rumah tangga, dan 14 persennya dinikmati kalangan dunia usaha. Tapi dari porsi rumah tangga itu kata dia 80 persennya dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20 persen dinikmati oleh rumah tangga miskin.
"Subsidi yang ratusan triliun ini jelas sasarannya yang menikmati adalah kelompok yang relatif mampu dan ini berarti kita akan menciptkaan kesenjangan yang makin lebar dengan subsidi ini," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.