Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Investasi asing dari luar kawasan dilaporkan turun lebih dari 50 persen.
Pemerintah negara-negara Asia Tenggara perlu memperjelas regulasi upaya pengurangan emisi karbon.
Sektor keuangan konvensional masih belum banyak yang tertarik membiayai proyek iklim.
JAKARTA – Nilai investasi hijau di kawasan Asia Tenggara dilaporkan turun 7 persen menjadi sebesar US$ 5,2 miliar pada 2022 dibanding pada tahun sebelumnya. Penurunan ini, menurut “Laporan Ekonomi Hijau Asia Tenggara 2023: Cracking the Code”—disusun Bain & Company, Temasek, GenZero, dan Amazon Web Service—merupakan lanjutan dari penurunan nilai investasi dari beberapa tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak hanya nilainya yang menurun, laporan yang dirilis pada Selasa, 6 Juni 2023, itu juga menyebutkan pergeseran sifat investasi asing dalam ekonomi hijau di Asia Tenggara. Pada 2022, investasi asing dari luar kawasan dilaporkan turun lebih dari 50 persen dibanding pada 2021 dan 2020. Namun investasi dari dalam kawasan meningkat dua kali lipat. “Lebih dari separuh investasi hijau di Asia Tenggara mengalir ke Indonesia dan Singapura. Energi terbarukan menjadi sektor favorit para investor, dengan porsi investasi stabil di angka 50-70 persen,” demikian isi laporan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pusat Inovasi Keberlanjutan Global di Bain & Company, Dale Hardcastle, mengatakan kondisi tersebut menunjukkan pemerintah negara-negara di Asia Tenggara harus lebih dulu berfokus pada berbagai solusi yang terbukti dapat menyeimbangkan permintaan energi yang terus meningkat sekaligus mengurangi emisi karbon. “Berbagai upaya (pengurangan emisi karbon) yang dilakukan sekaligus tidak akan membuat target tercapai jika tanpa ada kejelasan yang dapat meningkatkan investasi,” ujar Dale, dikutip dari pernyataan yang dirilis bersama laporan tersebut.
Kejelasan yang dimaksudkan Dale adalah regulasi dan investasi yang berkaitan dengan upaya pengurangan emisi karbon seharusnya difokuskan pada penyebaran teknologi yang telah terbukti membantu target pengurangan emisi, menguntungkan, serta memberikan dampak nyata. “Bersamaan dengan itu, (pemerintah negara-negara Asia Tenggara) perlu membuat peta jalan untuk mengurangi karbon pada sektor industri yang emisinya sangat sulit dikurangi atau yang membutuhkan teknologi mahal dalam jangka panjang.”
Foto udara kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, 27 Mei 2023. ANTARA/Arnas Padda
Laporan Ekonomi Hijau juga menyebutkan negara-negara di Asia Tenggara menghadapi serangkaian tantangan unik yang membuat target dekarbonisasi sulit tercapai. Secara kolektif, tantangan terbesar di kawasan ini adalah ketergantungan yang tinggi pada bahan bakar fosil dan pendanaan internasional. Selain itu, pertumbuhan kelas menengah di kawasan cukup pesat, yang mendorong permintaan energi. Sementara itu, pada saat yang sama, negara-negara punya target mengurangi emisi karbon. “Negara-negara di Asia Tenggara perlu meningkatkan upaya dekarbonisasi untuk mencapai tujuan ganda, yaitu pertumbuhan ekonomi dan dekarbonisasi.”
Meski begitu, menurut Head Southeast Asia Temasek, Wai Hoong Fock, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk berkontribusi terhadap upaya dekarbonisasi global. Agar hal itu tercapai, ujar dia, perlu ada pendekatan holistik serta upaya bersama dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, kalangan bisnis, akademikus, dan individu. “Kami percaya bahwa terdapat peluang besar untuk mengkatalisasi pertumbuhan dan inovasi yang berkelanjutan, juga untuk mendorong ketahanan ekonomi, masyarakat, serta bisnis dalam transisi menuju nol karbon.”
Sektor sumber daya alam dan energi, yang menyumbang 85 persen dari total target pengurangan emisi karbon di Asia Tenggara, akan menjadi sektor paling penting dalam memenuhi target pengurangan emisi karbon yang ditetapkan secara nasional atau nationally determined contribution (NDC). Namun laporan yang sama menyebutkan masih terdapat hambatan seperti lambatnya persetujuan dan peluncuran infrastruktur, kurangnya daya tarik finansial, serta ketidakpastian peraturan. Berbagai kondisi tersebut menghambat kemampuan kawasan ini untuk mewujudkan potensinya secara penuh. “Sektor energi perlu menyederhanakan proses perizinannya, mempercepat upaya modernisasi jaringan, serta meningkatkan insentif keuangan untuk energi terbarukan untuk mempercepat transisi energi.”
Chief Executive Officer GenZero, Frederick Teo, menyebutkan potensi investasi hijau di kawasan Asia Tenggara sebetulnya masih sangat besar. Terlebih, kawasan ini menjadi rumah bagi beberapa perekonomian paling dinamis di dunia. Kemudian, inisiatif hijau dan solusi inovatif yang dikembangkan di kawasan ini juga terus berkembang. “Kerja sama regional adalah kunci untuk membuka potensi penuh dari ekonomi hijau. Perlu ada upaya mengumpulkan modal dan keahlian yang diperlukan untuk sepenuhnya mengembangkan peluang di bidang alam, teknologi, dan pasar karbon,” ujar Frederick.
Perangkat desa menunjukkan instalasi pembangkit listrik tenaga angin di desa Sindang, Indramayu, Jawa Barat, 17 Mei 2023. ANTARA/Dedhez Anggara
Ekonomi hijau di Asia Tenggara juga disebut dapat menciptakan beberapa peluang ekonomi. Salah satunya penciptaan 5-6 juta lapangan kerja baru di bidang perencanaan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur energi bersih, serta manufaktur. Hal itu diperkirakan tercapai pada 2030 jika investasi hijau di enam negara utama ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, bisa terus ditingkatkan. Adapun potensi investasinya diperkirakan bisa mencapai US$ 2 triliun jika didukung oleh upaya kolektif.
Pemerintah negara-negara ASEAN disarankan mengembangkan peta jalan transisi yang jelas, mempercepat pembangunan infrastruktur, membuka insentif, dan menegakkan peraturan untuk mengkatalisasi momentum. Kemudian, dari sektor swasta, perusahaan harus bergerak lebih dari sekadar menetapkan ambisi iklim, dengan menetapkan peta jalan yang jelas dan meningkatkan kegiatan pengurangan emisi mereka. Lalu, dari sisi investor, harus ada upaya untuk memfasilitasi lebih banyak pembiayaan campuran, menilai aset bahan bakar fosil yang ada, sambil berinvestasi dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Kondisi Investasi Hijau di Indonesia
Laporan Ekonomi Hijau Asia Tenggara mencatat nilai investasi hijau di Indonesia sepanjang 2020-2022 mencapai US$ 1,786 juta. Jumlah itu didominasi oleh investasi korporasi di sektor energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan mobilitas, yang nilainya mencapai US$ 1,498 juta. Sisanya, sebesar US$ 287 juta, berasal dari investasi swasta, anggaran pemerintah, dan dana penanganan krisis iklim.
Pemerintah memang belum menyediakan porsi anggaran besar untuk penanganan krisis iklim. Global Green Growth Institute (GGGI)—organisasi pembangunan internasional antar-pemerintah berbasis perjanjian—mencatat alokasi anggaran negara untuk sektor iklim baru sebesar 4,3 persen pada 2018-2020. Dengan alokasi anggaran yang rendah tersebut, Indonesia memang membutuhkan gelontoran dana dari sumber lain. Dokumen NDC Indonesia menyebutkan kebutuhan dana penanganan krisis iklim di dalam negeri diperkirakan mencapai Rp 343 triliun per tahun. Jumlah itu mencapai 27 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Untuk memenuhi kebutuhan pendanaan itu, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan. Senior Associate Green Finance GGGI Indonesia, Titaningtyas, mengatakan tantangan terbesar Indonesia adalah kurangnya koordinasi pendanaan perubahan iklim antar-pemangku kepentingan. Masih belum meratanya penyebaran informasi mengenai program dan pendanaan penanganan krisis iklim juga menghambat penyaluran investasi.
“Sumber pendanaan sebenarnya ada. Investor yang berminat masuk ke Indonesia juga banyak. Namun banyak pemilik inisiatif atau proyek yang tidak tahu cara mengakses sumber pendanaan itu,” ujar Titaningtyas dalam diskusi Indonesian Climate Journalist Network yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia dan Kedutaan Besar Denmark di Jakarta, akhir Mei lalu.
Di sisi lain, pembiayaan untuk berbagai proyek dan inisiatif yang berhubungan dengan penanganan krisis iklim pun masih dianggap terlalu berisiko. Akibatnya, lembaga keuangan dan perbankan konvensional masih ragu menyalurkan pembiayaan ke sektor ini. “Kalaupun ada, suku bunganya bisa besar karena mengimbangi tingkat risiko yang masih dianggap tinggi.”
Karena itu, menurut Titaningtyas, perlu ada solusi untuk mengatasi kesenjangan kebutuhan pendanaan dengan masih terbatasnya akses terhadap sumber pendanaan. “Solusinya bisa berupa mobilisasi pendanaan iklim, seperti yang dilakukan GGGI melalui Green Cilmate Fund.” Lewat program ini, GGGI mencatat setidaknya dana sebanyak US$ 436,3 juta sudah disalurkan untuk 12 proyek.
Berbeda dengan pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional, inisiatif pendanaan iklim global biasanya memiliki tenor panjang dan suku bunga di bawah pasar. Skema pembiayaannya, Titaningtyas melanjutkan, bisa berbentuk ekuitas, hibah, pinjaman, garansi, ataupun pembayaran berbasis hasil. “Pembiayaan dari lembaga internasional bisa menjadi alternatif untuk menggenjot proyek-proyek iklim sambil menunggu keterlibatan sektor swasta dan industri keuangan.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo