Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Kementerian Lingkungan Hidup Temukan 47 Pelanggaran Freeport

Pemerintah menjatuhkan sanksi administrasi kepada PT Freeport Indonesia karena telah merusak lingkungan di sekitar tambang Grasberg, Papua.

14 Maret 2018 | 05.45 WIB

20_ekbis_freeport
Perbesar
20_ekbis_freeport

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjatuhkan sanksi administrasi kepada PT Freeport Indonesia karena telah merusak lingkungan di sekitar tambang Grasberg, Papua. Sanksi berupa paksaan supaya Freeport merehabilitasi lingkungan dan memantau limbah hasil tambang secara berkala. Kementerian menyatakan bisa membekukan izin lingkungan jika perusahaan tidak menaati perintah.
 
 
"Kami sejak tahun 2017 mulai melakukan pengawasan. Dari hasil tersebut ditemukan 47 pelanggaran yang dikelompokkan dalam bagian tertentu," ujar Direktur Pengaduan, Pengawasan, dan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Yazid Nurhuda kepada Tempo, Selasa 13 Maret 2018.
 
 
Kementerian Lingkungan menyatakan operasi Freeport tidak sesuai rencana pemantauan dan pengelolaan lingkungan (RKL-RPL). Perusahaan juga tidak memantau dan mengendalikan beragam polusi di udara, laut, sungai, dan hutan. Termasuk di antara polusi itu adalah limbah berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
 
Karena pelanggaran tersebut, ekosistem mulai dari sungai, kawasan hutan mangrove, hingga laut, terpapar limbah pertambangan. Titik pencemaran berasal dari kolam penampungan limbah pasir sisa tambang atau Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA). Selain dari aktivitas pengerukan, fasilitas pendukung seperti pembangkit listrik dan pabrik kapur juga turut mengotori lingkungan. 
 
Temuan Kementerian Lingkungan sejalan dengan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu. BPK menemukan pasir sisa tambang Freeport meluber ke daratan hingga ke laut. Tumpahan disebabkan kapasitas ModADA tidak cukup menampung limbah yang bertambah dari 100 ribu ton per hari pada tahun 1990 menjadi 300 ribu ton per hari pada 2016. BPK mencatat potensi kerugian karena tumpahan limbah mencapai Rp 185 triliun. 
 
Berdasarkan laporan tahun 2017 Freeport McMoran ke Komisi Sekuritas dan Bursa Saham (SEC) Amerika Serikat, pasir sisa tambang dibuang melalui sungai Ajkwa. Metode ini menjadi sentimen buruk di mata lembaga keuangan internasional, khususnya Eropa, karena tidak ramah lingkungan. 
 
Pemerintah sebenarnya sudah meminta Freeport mengubah metode penanganan limbah tambang dari melalui sungai ke jaringan pipa. Pasalnya, kolam penampungan diprediksi tidak akan cukup karena produksi perusahaan bakal jauh meningkat. Terutama saat tambang bawah tanah beroperasi hingga 2041.
 
Namun, berdasarkan laporan tahunannya, perusahaan ngotot memakai cara lama karena berbiaya murah dan minim risiko. "Berdasarkan kajian kami, jaringan pipa justru lebih berisiko gagal," tulis perusahaan dalam laporannya. Terkait hal ini, Juru Bicara Freeport Riza Pratama tidak menjawab konfirmasi Tempo.
 
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Bambang Gatot Ariyono menganggap pelanggaran lingkungan tak menjadi alasan pemerintah untuk menghentikan negosiasi kelanjutan operasi Freeport hingga 2041. "Perundingan jalan terus," katanya.
 
 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus