Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Gaya Hidup

Cerita Ibu yang Membesarkan Tiga Anak Berkebutuhan Khusus

Kartika Nugmalia belajar menerima anugerah tiga anak berkebutuhan khusus. Awalnya dia sempat menyangkal.

3 Desember 2019 | 18.30 WIB

Kartika Nugmalia, ibu dengan tiga anak berkebutuhan khusus. (Dok pribadi)
Perbesar
Kartika Nugmalia, ibu dengan tiga anak berkebutuhan khusus. (Dok pribadi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Memiliki buah hati, bagi semua orang tua di dunia, mendatangkan kebahagiaan dalam hidup. Begitu juga dengan Kartika Nugmalia. Namun, tiga  sumber kebahagiaannya terlahir sebagai anak kebutuhan khusus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Putra pertamanya,  Shoji, 8, diagnosis ADD dengan dyspraxia. Putra kedua, Rey, 6,  mengidap ADHD dengan dyspraxia. Sementara putri bungsunya, Aisha, 4, mengalami cerebral Palsy, CMV, microcephaly, dysfagia, west syndrome, cortical visual impairment, dan enchepalomalacia lobus parietal bilateral.

Kondisi tersebut membuat tumbuh kembang anak-anak Kartika berbeda. Setiap hari mereka membutuhkan perhatian khusus. Penyangkalan pun pernah singgah di hatinya. 

"Saya rasa semua orang tua pasti ingin punya anak normal dan sehat. Di awal sempat menyangkal tapi ya tidak akan mengubah juga," kata dia.

Akhirnya dia mulai cari-cari informasi dari Internet, meminta pada dokter spesialis yang mumpuni dan menemukan sahabat seperjuangan yang saling menyemangati dan memotivasi. Lambat laun, ia pun bisa menerima kondisi ketiga anaknya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sedari awal membangun keluarga, Kartika dan suami memiliki komitmen yang kuat di awal pernikahan. Satu suara, satu hati, saling terbuka dan saling mendukung adalah salah satu kekuatan terbesar saat mengetahui ketiga buah hati tumbuh dengan kebutuhan khusus. Selain suami, dukungan keluarga adalah motivasi hidup dalam dirinya.

"Keluarga besar, Alhamdulillah juga menerima kondisi Shoji, Rey, dan Aisha, begitu juga sahabat sahabat kami selain teman di media sosial pun memberikan dukungan dari komentar yang menyemangati saat kami berbagi cerita tentang anak-anak," ujarnya.

Kartika Nugmalia bersama suami dan ketiga anaknya. (Dok. pribadi)

Sebenarnya perkembangan anak pertama Kartika, Shoji, layaknya balita-balita normal lainnya hingga usia 17 bulan. Dia mampu mengucap kata seperti "cicak, tutup, ayah". Namun saat usianya menginjak 18 bulan, semakin sulit untuk menyebutkan kata-kata tersebut, Shoji lebih banyak berkomunikasi menggunakan gerak tubuh.

"Hingga usia kurang dari 4,5 tahun, kemampuan bicaranya masih terbatas seperti anak usia 1,5 tahun. Shoji mulai dapat merangkai kalimat sederhana di usia 6 tahun," ceritanya.

Kebahagiaan Kartika saat Shoji berhasil mengucap kata demi kata mungkin telah lebih awal dirasakan oleh para ibu yang lain. Namun bagi Kartika tak ada kata terlambat, Shoji memberikan berkah yang tiada terkira.

Anak kedua, Rey mengalami ADHD. Tandanya si anak terus bergerak, tidak bisa diminta untuk duduk tenang. Kecuali memang ada hal yang menarik perhatiannya sekali. Duduk juga tidak jenak. "Pokoknya penginnya bergerak terus. Lari, nabrak-nabrak, tangannya menggapai-gapai biasanya," imbuhnya.

Kemudian, Aisha. Dia mengungkapkan apa yang terjadi pada Aisha lebih kompleks. Anak bungsunya ini terdiagnosis echepolamalacia lobus parietal bilateral (pelunakan jaringan otak) ditambah kejang epilepsi yang terhubung ke west syndrom yakni salah satu jenis epilepsi kejang halus yang membahayakan otaknya, lebih berbahaya dari epilepsi kejang biasa.

"Namun kata dokter sudah ada pengobatan dan terbukti bisa disembuhkan. Ini salah satu harapan terbesar kami," ujar lulusan Ilmu Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada ini.

Kartika tak pernah lelah berjuang untuk membantu anaknya. Shoji terus menjalani terapi sensori integrasi 4 kali dan fisioterapi 1 kali sehari. Sementara Aisha, pengobatan yang dilakukan saat ini adalah terapi sensori 3 kali seminggu dan terapi wicara (oral) 1 kali seminggu, ditambah terapi obat anti kejang dan beberapa vitamin untuk meningkatkan fungsi otak.

"Untuk mendukung anak berkebutuhan khusus, sebenarnya dimulai dari orang tuanya dulu. Bagaimana orang tua dengan anak berkebutuhan khusus bisa menerima kondisi anak-anak apa adanya," katanya.

Sakit itu Penggugur Dosa

Kartika bercerita, keadaan yang membuatnya drop ialah komplikasi saat kondisinya sedang sangat lelah. Aisha sering begadang lalu susah makan, ditambah rewel tidak mau minum obat. Belum lagi kedua kakaknya yang juga ingin diperhatikan lebih. "Saya bisa nangis sendiri. Kalau sudah gitu langsung deh curhat sama suami, salat biasanya sudah balik semangat lagi," ucapnya.

Diungkap Kartika banyak hal yang membuatnya selalu bersemangat. Perkembangan Shoji belakangan ini semakin pesat, ia sudah bisa merangkai kalimat sederhana. Ditambah Aisha pun menunjukkan peningkatan.

Sebagai seorang ibu yang telah melewati rasa menerima, sabar, dan menangis, Kartika selalu mengingat dua kalimat yang saya ingat saat Aisha dirawat di kamar bayi PICU rumah sakit, yaitu QS Al Insyirah 5-6, di mana artinya adalah "Di mana ada kesulitan di situ terdapat kemudahan" dan "Sakit itu penggugur dosa".

Tak Ingin Patah Semangat

Memiliki pengalaman dengan buah hati berkebutuhan khusus, Kartika tidak ingin melihat ibu-ibu lain patah semangat. Dia kerap mengampanyekan apa yang dia alami, apa yang dia baca. Kartika berbagi ilmu bersama teman-teman terkait di media sosial seperti facebook dan blog, bahkan juga berbagi pengalamannya di komunitas.

"Pernah ikut TORCH Kampanye yang diadakan Rumah Ramah Rubella juga, ikut seminar dan bergabung di komunitas kelompok pendukung anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah Shoji, di grup WhatsApp yang beranggota anak-anak dengan epilepsi, juga di grup Facebook Wahana Keluarga Cerebral Palsy. Makin banyak ilmu dan makin banyak teman itu bikin saya dan suami lebih menikmati proses bareng anak-anak, "katanya.

Selain itu, dalam memberikan informasi, Kartika mengatakan karena dia mewakili orang yang senang bercerita, jadi jika bertemu orang jadi banyak cerita. Ditambah Aisha selalu dibawanya kemana-mana. Saat bertanya banyak yang bertanya tentang usia dan kebisaan Aisha selama tumbuh kembangnya.

"Saat itu juga peluang saya untuk cerita tentang kondisi Aisha dan apa pun yang menjadi penyebabnya. Kadang-kadang tanggapan orang berbeda, ada yang terdiam, ada yang mengiyakan, ada yang membalikkan cerita kondisi saudara teman yang ABK, ada yang menyemangati dan ada pula yang "ngepuk puk" biar lebih sabar. " ujar dia.

Kini harapan ibu cantik itu adalah Shoji, Rey, dan Aisha menjadi anak mandiri yang memiliki karakter. Menjadi manusia yang utuh dengan segala ketidaksempurnaan yang menjadikan manusia sempurna. "Percaya diri, mampu memberdayakan diri sendiri, menjadi pribadi yang takut akan Tuhan, dan bermanfaat bagi sesama," kata dia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus