Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta-- Delapan ekor anjing tergeletak tak berdaya di sebuah kandang. Badan dan kakinya terbebat kain liri. Beberapa di antaranya bungkam karena mulut hewan peliharaan itu terikat tali rafia.
Sukijo, penjual tongseng daging anjing alias sengsu, meletakkan seekor anjing yang sudah tak berdaya itu di halaman belakang rumahnya. Lidah anjing berambut hitam itu berusaha menjulur meski mulutnya terikat tali.
Lelaki berusia 68 tahun itu mengambil sebatang kayu sepanjang 1 meter dan digenggam erat-erat. Sembari membungkuk, dia melepaskan pukulan dengan kayu tepat di kepala anjing malang itu.
Anjing itu sempat mengaing lemah, tapi Sukijo malah memberinya pukulan kedua. Binatang itu pun langsung ambruk tak berdaya. Proses “penjanggalan” dengan cara dipukul, kata dia, untuk memudahkan penyembelihan. “Dipukul agar pingsan biar mudah dipotong,” kata dia kepada Tempo, akhir pekan lalu.
Bapak dua anak itu kemudian melepas karung liri dan membuka bebat rafia dari mulut anjing tersebut. Diambilnya pisau dan langsung menyembelihnya. Dibantu sang istri, dengan cekatan mereka menguliti hewan yang beratnya sekitar 11–12 kilogram itu.
Beralaskan tambir, mereka memilah daging yang akan diolah, bagian jeroan dibuang, tulang dan daging dipisahkan. Daging yang akan dimasak digantung pada kaitan besi dan dibawa ke depan rumah.
Menurut Sukijo, sengsu berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. “Bisa menyembuhkan diabetes, juga mencerdaskan otak,” kata dia. Bahkan, ada pelanggan bercerita, akibat kecelakaan lalu lintas kakinya tak bisa digerakkan. “Namun setelah mengkonsumsi sengsu, kakinya kembali normal.”
Di Dusun Kanutan, Bantul, Sukijo bukan satu-satunya penjaja sengsu alias tongseng jamu. Temu atau yang akrab disapa Mbah Temu (72 tahun) telah menggeluti usaha ini sejak 1961. “Di Bantul saya ini yang pertama jualan sengsu,” ujar dia kepada Tempo.
Dalam sehari Mbah Temu mengaku bisa memotong 2–3 ekor anjing. Cara mengolahnya pun ia pastikan bersih. “Setelah disembelih darah dikeluarkan semua. Kalau ada darahnya daging itu tidak bersih, masih merah, pembeli tidak suka,” kata Mbah Temu.
Dia mengaku mendapat pasokan anjing dari Purworejo. “Dari sekitar sini jarang,” tutur dia. Terkadang ada juga warga sekitar yang menjual anjing peliharaannya ke Mbah Temu. Satu porsi tongseng dia jual seharga Rp 12 ribu.
Mitos daging anjing berkhasiat mengobati berbagai penyakit dibantah ahli gizi Universitas Gadjah Mada, Lily Arsanti Lestari. Faktanya, kata dia, justru sebaliknya. Darah dan daging anjing berisiko mengandung mikroba patogen, seperti E. coli dan salmonella yang bisa menyebabkan diare dan tifus.
Mengkonsumsi daging anjing, kata Lily, juga berisiko tertular rabies. “Rabies cepat menular lewat gigitan, tapi mengkonsumsi daging dari anjing rabies juga berisiko tertular,” kata dia kepada Tempo.
Menurut Lily, sampai kini belum ada penelitian tentang khasiat daging anjing. “Kalau ada yang bilang bisa menambah vitalitas atau menyembuhkan penyakit, itu hanya mitos.” Tak hanya itu, anjing juga bukan tergolong hewan ternak. “Sehingga tidak ada standar dan pengawasan pemeliharaan.”
VENANTIA MELINDA | ALI NY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini