Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Perjalanan

Museum Tani Bantul Terus Melengkapi Koleksi dari Pelosok Jawa

Pengelola Museum Tani Jawa di Desa Wisata Candran, Kecamatan Imberharap dapat mengoleksi alat-alat pertanian tradisional dari seluruh daerah di Jawa.

11 November 2017 | 12.15 WIB

Komunitas Lima Gunung menampilkan teater musikal menggunakan alat bajak sawah dengan tema Lakon Kuning Laku di Gedung Pusat perfilman Usmar Ismail, Jumat, 3 Oktober 2014. TEMPO/Frannoto
Perbesar
Komunitas Lima Gunung menampilkan teater musikal menggunakan alat bajak sawah dengan tema Lakon Kuning Laku di Gedung Pusat perfilman Usmar Ismail, Jumat, 3 Oktober 2014. TEMPO/Frannoto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Bantul - Pengelola Museum Tani Jawa di Desa Wisata Candran, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berharap dapat mengoleksi alat-alat pertanian tradisional dari seluruh daerah di Jawa.

"Selain alat pertanian tradisional dari Bantul, ada juga dari Bojonegoro. Kami namakan Museum Tani Jawa Indonesia dengan harapan koleksinya bisa dari seluruh pulau Jawa," kata Pengelola Museum Tani Jawa Candran Kristyo Bintoro di Bantul, Jumat, 10/11.

Menurut dia, Museum Tani Jawa yang didirikan sejak 1998 sampai sekarang sudah memiliki koleksi sekitar 600 alat pertanian tradisional. Beberapa diantaranya adalah garu, yakni alat untuk meratakan tanah, alat bajak tradisional, cangkul, arit dan gosrok alat untuk menyiangi rumput.

Dengan mengoleksi alaat-alat pertanian dari penuru Jawa diharapkan bisa mewariskan semangat kejuangan petani tempo dulu. Mengingat bentuk dan konstruksinya berbeda di tiap daerah. Misalnya cangkul yang ada di Yogyakarta beda dengan Wonosobo, beda dengan di Klaten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Cangkul untuk masyarakat pegunungan pun beda bentuk dan konstruksinya. “Saat ini ada yang dari Klaten, dari Bojonegoro seperti lumpang untuk menumbuk jagung ada di tempat kita," katanya. Kristyo menjelaskan, alat pertanian tradisional yang ada di museum itu merupakan sumbangan masyarakat petani.

Kristyo menerangkan petani juga selalu belajar tentang astronomi, tentang cuaca atau di pertanian itu disebut pranoto mongso. Petani juga belajar sebagaimana seorang dokter, yakni bagaimana agar tanamannya tidak sakit dan tidak terkena penyakit atau hama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani, kata dia, meyemprot obat untuk pencegahan. Dan bila saat tanaman kena wereng dia mengobati. "Petani selalu belajar bagaimana budi daya tanaman, kemudian belajar membangun kedaulatan pangannya itu.

ANTARA

Baca juga:

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus