Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah gubuk berukuran sekitar 4 x 5 meter berdiri tegak di tengah ruas jalan tol Hankam-Cikunir yang membelah Kelurahan Jatiwarna di pinggiran Jakarta. Bangunan semipermanen itu berdiri seperti menghadang para calon pelintas jalan. Inilah bentuk unjuk rasa warga yang merasa urusan ganti rugi atas tanah tak kunjung selesai.
Warga bertekad tak akan membongkar bangunan tersebut sebelum proses ganti rugi terhadap tanah mereka yang kini menjadi jalan tol itu tuntas. "Kami bukan melawan pemerintah, tapi ini soal hak," ujar Enang, seorang warga Jatiwarna. Akibat bentuk unjuk rasa warga itu, tak urung proyek jalan tol yang sudah dikerjakan sejak 1997 itu terhenti.
Berhentinya pengerjaan proyek karena urusan ganti rugi yang tak kunjung akur semacam ini, bisa jadi kelak, tak akan terjadi lagi. Jumat dua pekan lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. "Peraturan presiden ini untuk menggantikan Keputusan Presiden No. 55/1993 tentang hal yang sama," kata juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng.
Ada sejumlah perbedaan mendasar antara "Keppres 55" dan "Perpres 36" yang untuk seterusnya kita sebut peraturan baru. Dalam Keppres No. 55/1993 disebutkan ada 14 jenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Nah, pada peraturan baru, pembangunan yang masuk kategori untuk umum itu bertambah tujuh jenis lainnya, yakni lembaga pemasyarakatan, rumah susun sederhana, tempat pembuangan sampah, cagar alam dan budaya, pertamanan, panti sosial, dan pembangkit tenaga listrik.
Untuk urusan pengadaan tanah, Andi menjelaskan, pemerintah tetap mengutamakan asas musyawarah dengan pemilik tanah. Harga tanah, misalnya, akan tetap berdasarkan nilai jual obyek pajak (NJOP). Hanya, kini waktu musyawarah itu dilakukan paling lama 90 hari. "Tidak bisa terus-menerus tanpa kejelasan, sebab program pembangunan pun juga harus ada batas waktu," ujarnya menambahkan.
Menurut peraturan baru ini, jika musyawarah itu tak tercapai, pemerintah akan menitipkan uang ganti rugi tersebut ke pengadilan. Dan bila pemilik tanah tetap tidak sepakat dengan ganti rugi yang ditawarkan atau menolak melepaskan tanahnya, dalam peraturan baru itu disebutkan pemerintah memiliki "senjata pamungkas" yaitu kewenangan untuk mencabut hak kepemilikan tanah atas nama kepentingan umum.
Tentu saja sejumlah instansi pemerintah yang tugasnya terkait dengan masalah pembebasan tanah menyambut gembira munculnya peraturan baru ini. "Peraturan baru ini lebih memudahkan kerja kami," ujar Direktur Sistem Jaringan Prasarana Departemen Pekerjaan Umum, Eduard P. Pauner. Eduard menilai, salah satu kemajuan dalam peraturan baru itu adalah disempurnakannya tata cara pembebasan tanah serta peraturan yang mencegah munculnya calo tanah.
Menurut Eduard, selama ini peraturan yang lama tidak bisa membendung munculnya para spekulan yang membeli tanah dan kemudian menjualnya kembali dengan harga tinggi, jika lahan itu dijadikan proyek pembangunan. Pada peraturan yang baru ini, setiap jual-beli terhadap tanah yang telah ditetapkan untuk sebuah proyek pembangunan harus seizin pemerintah daerah setempat.
Di mata ketua komisi yang membidangi masalah pertanahan di DPR, Ferry Mursyidan Baldan, peraturan baru ini masih menyisakan kekhawatiran. Ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang. Di satu sisi pemilik tanah akan dihantui kekhawatiran, sementara di sisi lain hal itu akan mempermudah pengembang dalam membangun proyek dengan mengatasnamakan fasilitas umum. "Karena itu, arti kepentingan umum ini harus diperjelas betul," kata Ferry.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Munarman, bahkan menilai peraturan baru ini lebih "kejam" ketimbang yang lama (Keppres No. 55/1993). Menurut Munarman, peraturan lama hanya menyebut dua cara untuk pengadaan tanah bagi kepentingan umum: pelepasan hak dan penyerahan hak . "Tapi, dalam peraturan baru, ada cara ketiga, yaitu dengan ditambahkannya kewenangan pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah," katanya. "Saya khawatir kasus-kasus penggusuran dengan cara paksa justru akan muncul lebih banyak dengan keluarnya peraturan baru ini." Karena itu, bersama sejumlah lembaga lainnya, Munarman berencana mengajukan judicial review terhadap peraturan presiden itu.
Pakar hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada, Maria S.W. Sumarjono, menganggap munculnya peraturan presiden yang baru ini sebagai suatu kemunduran. Menurut Maria, dalam peraturan lama perihal pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dibatasi tiga kriteria, yakni dilakukan dan dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Tiga kriteria ini, kata Maria, tak lagi tecermin dalam peraturan baru.
Andi Mallarangeng menolak jika dikatakan peraturan baru itu akan merugikan masyarakat. Soal pencabutan hak tanah yang dikhawatirkan banyak orang itu, misalnya, kata Andi, tak akan dilakukan sembarangan. "Pencabutan hak tanah bukan karena didasarkan pada peraturan baru, tapi berdasarkan Undang-Undang No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda Di Atasnya," kata Andi. Undang-undang itu, kata Andi, memang memberi kewenangan kepada presiden melakukan hal itu. "Tapi, ini kan merupakan upaya terakhir," ujarnya.
Sukma N. Loppies, Dimas Adityo, Maria Ulfah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo