Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kriminal

Cerita Slamet Penghuni Kolong Tol Pelabuhan Selama 20 Tahun: Yang Penting Tidur

Hunian Slamet di kolong tol pelabuhan tidak disekat. Atapnya beton. Pembatas antara tempatnya tidur dan tetangganya hanya kompor bekas

24 Juni 2023 | 14.47 WIB

Seorang penghuni bernama Slamet saat bercerita kesehariannya tinggal di kolong Jalan Tol Pelabuhan, Jakarta Utara, Jumat, 23 Juni 2023. Tempo/M. Faiz Zaki
Perbesar
Seorang penghuni bernama Slamet saat bercerita kesehariannya tinggal di kolong Jalan Tol Pelabuhan, Jakarta Utara, Jumat, 23 Juni 2023. Tempo/M. Faiz Zaki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Slamet alias Bewok, telah menghuni kolong Tol Pelabuhan atau selama 20 tahun. Laki-laki berusia 71 tahun itu sebelumnya tidak tinggal berada di bawah beton jalan tol yang berada di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sebelum jadi warga permukiman bawah kolong tol, dia mengontrak sebuah rumah di Gang Slamet yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari tempatnya sekarang. Namun, terpaksa pindah setelah area tersebut mengalami kebakaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia pun memilih tetap tinggal di kolong tol, tidak seperti rekan-rekannya sesama pencari barang rongsok yang nomaden. Ketidakmampuan ekonomi juga menjadi salah satu alasannya bertahan. “Karena enggak ada tempat lagi, yang penting tidur,” ujarnya saat ditemui di tempat tinggal sederhananya, Jumat, 23 Juni 2023.

Slamet berangkat dari kampung halamannya di sebuah desa di kaki Gunung Sumbing, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menuju Jakarta pada 1972. Dia mencoba keberuntungan dengan pekerjaan awal sampai sekarang ini sebagai pencari barang rongsokan, seperti botol plastik, alat makan, dan gelas pastik.

Hidupnya seorang diri tanpa ditemani istri dan empat anaknya. Mereka semua memilih menetap di Wonosobo, namun rutin mengunjungi Slamet di kolong tol. “Kalau enggak ke sini, ya, ngirimin Rp100 ribu, Rp200 ribu,” tutur laki-laki kelahiran 1952 itu.

Berdasarkan pantauan Tempo, hunian Slamet di kolong tol tidak disekat menggunakan kayu triplek, tirai, kardus ataupun spanduk bekas sebagai penutup. Atapnya hanya mengandalkan beton jalanan yang lebar dan panjang.

Dia tinggal dengan sesama pencari barang rongsok, lokasinya bersebelahan dengan Taman Pendidikan Al-Quran atau TPA At-Taubah. Wilayah kamar mereka tidak pula disekat dan dibiarkan terbuka, pembatasnya hanya pada kompor bekas yang masih bisa dimanfaatkan bersama-sama.

Semua benda yang dimiliki lansia ini barang bekas, termasuk lemari, meja, bantal, dan kasur yang dia gunakan untuk tidur. Kamar terbukanya itu juga dipenuhi barang-barang hasil memungut di berbagai lokasi.

Ketika tidur, suara bising kendaraan silih berganti, klakson truk dan mobil saling bersahutan dari atas Jalan Tol Pelabuhan. Tetapi Slamet terpaksa walaupun suara-suara itu mengganggu. “Soalnya udah biasa, jadi telinganya ini udah tebal,” katanya sambil tertawa.

Slamet masih memiliki fisik yang tampak bugar, kulit sawo matang gelap, potongan rambutnya pendek dan sudah banyak beruban. Masih akrab dipanggil ‘Pak Bewok’ oleh warga yang mengenalnya, meski janggutnya sudah dipangkas.

Suasana tempat tinggalnya sangat lembap, berdebu, dan keadaan yang serba terbatas. Selama tinggal di lokasi, dia hanya membayar iuran listrik Rp100 ribu kepada pengepul barang rongsokan yang memberinya akses kabel.

Untuk mandi, dia memanfaatkan kamar mandi umum yang tersedia juga untuk penghuni kolong tol lainnya. Bangunannya terbuat dari kayu dan besi seng semi permanen dengan bentuk sangat sederhana.

Selain mencari barang rongsokan, dia juga menyewakan empat unit odong-odong. Namun, itu tidak setiap hari ada yang menyewa.

Penghasilan pun tidak menentu, yang penting masih bisa makan walau terkadang sehari mendapatkan Rp5 ribu atau Rp7 ribu saja. “Begitulah merongsok, jalan-jalan sejauh mungkin. Pagi berangkat, nanti sore pulang,” kata Slamet.

Menurut keterangannya, permukiman kolong tol ini pernah digusur dua kali, Slamet tetap bertahan karena potensi penghasilannya lebih pasti. Walau dia menyadari tempat tinggal ini tidak nyaman dan berharap untuk dapat yang lebih layak pada sisa masa hidupnya.

Ada harapan baginya untuk kembali ke desa, tapi di usianya yang sudah senja, merasa kesulitan ingin melakukan apa agar tetap produktif. Mengais barang rongsokan tetap dia lakoni, meski pernah diminta pulang kampung oleh keluarga, berhubung juga tiga anaknya sudah bekerja.

Selama ini dia pernah pulang kampung ke Wonosobo, tetapi hanya dua atau tiga hari saja. Setelah itu, dia kembali lagi ke Jakarta dengan modal ongkos secukupnya. “Ibaratnya mau usaha apa, usaha apa aja susah. Soalnya tadi itu pas di bawah Gunung Sumbing,” tuturnya.

Selain Slamet alias Bewok, ada sekitar 20 keluarga yang tinggal di kolong Jalan Tol Pelabuhan. Mereka juga ada yang warga pendatang, bahkan warga sekitar dari Kampung Kubur Koja juga membuat gubuk karena keterbatasan lahan tempat tinggal.

Papan yang bertuliskan larangan untuk memanfaatkan atau memasuki lahan tol layang juga ada dari Direktorat Jenderal Bina Marga. Tulisan di papan putih itu masih mencatatkan atas nama Departemen Pekerjaan Umum, yang kini bernama resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Fisiknya yang hanya sebagai pajangan itu tak digubris para penghuni, dibiarkan terlapis debu. Tulisannya masih terbaca jelas, namun samar terbaca karena debu yang menumpuk seiring jalannya waktu.

Permukiman di kolong Tol Pelabuhan mudah ditemui di wilayah Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Akses mudahnya dapat melalui Jalan Jembatan 3 Raya dari Rumah Sakit Atmajaya menuju arah selatan ke arah Grogol dan Roxy.

Catatan Redaksi: Artikel ini telah diubah pada Ahad, 25 Juni 2023 pukul 16.11 WIB untuk memperbaiki bagian judul. Sebelumnya tertulis Cerita Slamet Penghuni Kolong Tol Angke Selama 20 Tahun: Yang Penting Tidur seharusnya yang benar adalah Kolong Tol Pelabuhan. Kami mohon maaf atas kesalahan ini.

 

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus