Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI perajin kecil seperti Riyeti Sucherli, pesanan 1 juta potong pakaian yang nilainya Rp 6,5 miliar barangkali sebelumnya tidak dibayangkannya. Maklum, perusahaan garmennya, PT Ari Mustika Putra, di Sukabumi, Jawa Barat, itu belum setahun berdiri. Ia pun hanya baru menerima pesanan kecil- kecilan saja. Tawaran menggiurkan untuk membuat baju batik berlogo Golkar itu meluncur dari pengurus Dewan Pimpinan Pusat Karyawan Pengrajin Indonesia (DPP Karpin), S. Marzoeki. Rezeki menjelang pemilu tahun silam itu keciprat juga ke tangan Noval Almacky, bos PT Bakti Pertiwi Mustika. Perusahaan garmen di Jakarta Selatan ini menerima pesanan 1 juta potong, yang nilainya Rp 5,5 miliar. Selain mereka, ada 44 pengusaha garmen menerima pesanan serupa. Dalam kontrak kerja yang ditangani pada November tahun lalu itu disebutkan, pihak pengusaha harus menyelesaikan pesanan dalam tempo 10 bulan. Malah mereka harus menyetor uang Rp 25 juta kepada Marzoeki, sebagai bukti kesanggupannya. Oleh Riyeti, misalnya, pesanan itu disambut dengan cekatan. Lalu ia mengumpulkan 300 perajin yang ada di Sukabumi. Riyeti juga segera membeli 100 mesin jahit. ''Saya harus bergerak cepat, untuk mengejar target,'' katanya kepada TEMPO. Menurut Riyeti, semula Marzoeki berjanji akan mengedrop bahan atau kain untuk baju itu. Setelah ditunggu-tunggu, rupanya tak ada kabar. Malah Marzoeki mengirim kurir, untuk pinjam uang, membeli kain. Namun, setelah kurir tadi mengantongi uang Rp 16 juta, kainnya tak nongol. Karena dikejar waktu, Riyeti berinisiatif membeli 10.000 meter bahan batik bermotif Golkar berwarna biru itu, sekitar Rp 20 juta. Sebulan setelah kontrak tadi diteken, ia berhasil menyerahkan 7.500 potong baju batik bermotif pohon beringin itu ke DPP Karpin di Jakarta. Ternyata gelagat main curang mulai tercium. ''Sepeser pun belum dibayar, padahal barang itu sudah diterima,'' kata Sucherli, suami Riyeti. Sedangkan sekitar 300 perajin terus melakukan pekerjaannya. ''Sampai sekarang kami mengalami kerugian lebih dari Rp 215 juta,'' katanya. Kini yang namanya untung itu hanya tinggal impian. Apalagi sejak 21 ribu potong baju batik berlogo Golkar itu diparkirkan di gudang dan garasi mobilnya. Gagalnya proyek ini membuat Riyeti tiga bulan dirawat di rumah sakit. Ia malah takut keluar rumah, karena namanya hancur di kalangan para perajin. Rumah mereka di pinggir jalan Jakarta- Sukabumi itu sempat pula diserbu perajin yang kesal. ''Kami kecewa dengan gagalnya proyek ini,'' kata Bubuh Sihabudin. Menurut ketua perajin kecil yang membawahkan 300 perajin di Sukabumi ini, kegagalan proyek ini membuat beberapa perajin telantar karena meninggalkan pekerjaannya di kampungnya. Karena itu Sucherli, selaku ketua Himpunan Pengusaha Putera Indonesia (Hippi) Cabang Sukabumi, melayangkan surat ke DPD Hippi Jawa Barat, dan tembusannya dikirim kepada Ketua Umum DPP Golkar, MKGR, dan Dewan Pembina Hippi. Karena tak ada tanggapan, Rabu pekan lalu Riyeti melaporkan Marzoeki yang dituduh menipu itu ke Polres Sukabumi. Lain lagi cara yang ditempuh Noval Almacky. Untuk mendapatkan baju batik berlogo Golkar yang dipesan Karpin itu, bos PT Bakti Pertiwi Mustika itu langsung membelinya di Yogyakarta dengan harga Rp 4.200 per potong. Setelah Noval mengirim 5.000 lembar baju itu ke Karpin, ia menunggu duit dari Marzoeki. Kali ini Marzoeki berjanji melunasinya. ''Ternyata ia hanya janji-janji saja,'' katanya kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Karena terkatung-katung, akhirnya Noval melaporkan Marzoeki ke Polres Jakarta Selatan Senin pekan lalu. Kemacetan surat perintah kerja model Marzoeki ini juga melanda 44 pengusaha garmen. Tapi mereka belum berani melaporkannya ke polisi. Menghadapi perajin yang telah melaporkannya ke polisi, Marzoeki, 63 tahun, Minggu pagi lalu di rumahnya, mengatakan kepada TEMPO, ''Dalam kasus ini saya tidak bisa dituntut.'' Alasan ayah lima anak ini, karena urusan kemacetan pengadaan batik itu adalah tangungjawab pihak Karpin. ''Saya hanya bertanggung jawab kepada Karpin,'' katanya. Apalagi urusan ke dalam, menurut sarjana ekonomi yang telah 1,5 tahun bergabung dalam wadah Karpin ini, sudah dibereskan ketika kasus ini diaudit. ''Nyatanya tak ada penyelewengan,'' katanya. Justru yang ketahuan adalah adanya pembengkakan biaya. Proyek itu memang harus jalan, sementara uangnya macet karena dari barang yang telah diterima itu tidak bisa mendapatkan uangnya. Ribut-ribut kasus ini membuat proyek pengadaan batik tersebut tahun lalu dihentikan oleh DPP Karpin. Dan agaknya pihak Karpin memang lepas tangan. ''Harus dibedakan antara wadah dan oknum,'' kata Robby Toekidjo, Sekjen DPP Kerpin. Menurut Ketua Tim Pemeriksaan kasus tersebut, uang untuk menangani proyek baju batik itu masuk ke kantong pribadi Marzoeki. ''Ia telah menyalahgunakan wewenang. Saya siap menjadi saksi kalau Marzoeki masuk ke pengadilan. Dan pihak Kerpin tidak akan melindunginya,'' kata Robby. Dana yang macet mengalir ke tangan perajin itu kabarnya Rp 1,3 miliar. Gatot Triyanto dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo