Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA lelaki dungu dan berbau bacin itu menobatkan dirinya jadi raja, para pembantunya bersorak, memberkatinya dengan kata ''tahi''. Raja lama telah dikhianatinya (dan dibunuhnya) dengan keji. Tapi seorang pewarta menyatakan, revolusi telah berjalan dengan damai. Lelaki bernama Ubu itu adalah tokoh utama dalam pentas Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta, 23 April sampai 6 Mei 1993. Dengan pentas itulah kelompok yang berdiri tahun 1977 itu melangsungkan ''pergantian dengan damai''. Tanpa riuh rendah, N. Riantiarno dipanggil Nano beristirahat. Seorang sutradara baru tampil ke depan: Joshua D. Pandelaki. Lelaki 34 tahun yang selama ini adalah aktor andalan Teater Koma ini seyogianya bukanlah ahli waris Nano. Ia mestinya sebuah pribadi, sebuah kekuatan baru. Tapi pergantian itu, sekalipun damai, bukanlah mudah. Barangkali karena Nano sudah menjadi bagian amat penting dari gambaran Teater Koma yang melekat di kepala publiknya: sebuah teater yang sekalipun menghibur, tetap membawakan semangat ''teater serius''. Sebuah teater yang menghimpun kecintaan di kalangan menengah-atas sembari mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Kita pun tahu, pergantian sutradara di beberapa grup teater terkemuka tidak biasa terjadi. Adakah karena teater kontemporer Indonesia adalah teater-sutradara? Setidaknya Nano yakin bahwa seniman dalam hal ini sutradara lahir ''bukan dengan konsep kenaikan pangkat'', karena seniman ''bukan buntut cicak''. Begitulah yang diuraikannya dalam buku acara. Bagi orang macam Joshua, yang sudah lama ngendon sebagai aktor, Raja Ubu niscaya bikin ngiler tapi juga bikin panik. Joshua menyadur naskah Alfred Jarry (1873-1906) si pendahulu kaum absurdis dan surealis itu. Dan di sinilah soalnya. Naskah itu memang mengandung pelbagai peluang yang bisa menyalakan potensi Teater Koma. Tampak dari luar, ia adalah plot yang mengasyikkan: tentang perebutan kekuasaan dengan kekerasan, dan tentang kejahatan yang terkandung dalam kekuasaan itu sendiri. Lebih dalam lagi, ia adalah demonstrasi kegilaan, juga ejekan terhadap rasionalitas. Tokoh-tokohnya, terutama Ubu, pada dasarnya ganjil, jorok, kasar, mengejutkan, dan karena itu lucu sekaligus menyedihkan. Orang Inggris dan Perancis menyebut sifat-sifat itu sebagai grotesque. Raja Ubu sesungguhnya naskah yang sulit diadaptasi. Sebab, sebagaimana naskah Samuel Beckett dan Edward Albee, humor dan sindiran di sana lahir dari permainan bahasa, dari penghancuran dan pemiuhan logika. Joshua bukannya tak melihat potensi ini, tapi ia terseret untuk mengerjakan kelucuan dan kekasaran pada taraf fisik. Lihatlah, misalnya, bagaimana Joshua menonjolkan tokoh Ubu. Si raja gila itu pendek, tambun, berambut dan berjanggut merah. Pakaian kebesarannya bergaris-garis merah putih. Singgasananya berupa kloset. Di bagian belakang, nangkring sebuah kloset raksasa yang lubangnya digunakan untuk menghukum mati para musuh raja. Tata rupa yang menekankan kekonyolan raja yang suka mengumpat ''tahi'' dan ''makdiketempleng'' itu tak bisa diimbangi oleh kelenturan pemerannya sendiri, Dudung Hadi. Adaptasi yang lebih fisik itu agaknya terjadi karena kelemahan individual para pemeran. Dalam pelbagai pentas yang disutradarai Nano, kelemahan akting sungguh terlindung oleh kompaknya ensambel permainan. Sekarang Joshua tampak kerepotan mengorganisasi para pemainnya. Pelbagai humor dan sindiran tak jadi hidup, seakan meluncur dari rencana yang kaku. Mereka terasa tak mempercayai naskah, tapi juga ragu-ragu untuk melenceng sejenak dari naskah untuk berimprovisasi. Kelemahan pentas ini juga bermula dari kepercayaan Joshua yang terlampau besar pada pola lama Teater Koma: koreografi dan nyanyi. Sungguh aneh jika koreografi dalam pentas ini bukannya memperkuat gairah permainan bersama, tapi justru meruntuhkannya. Para pemain yang menari seperti tak percaya pada tubuh mereka sendiri. Juga, pelbagai nyanyian telah mengikis kualitas humor dan ketajaman dari dialog sebelumnya. Mereka bernyanyi seperti menelan suara mereka sendiri. Bukankah rangkaian tari dan nyanyi itu mestinya jadi intermeso yang meneduhkan dan menggirangkan sekaligus, kalau Joshua mau bikin hiburan, apalagi dengan ''H'' besar? Atau dibuang sama sekali? Maka, pentas sepanjang 160 menit ini terasa berkepanjangan, juga melelahkan. Barangkali kita terkesan pada bagian awal, bagian menjelang klimaks. Ketika itu Ubu tengah berkomplot untuk membunuh Penceleos si raja lama, sementara si raja amat menyayanginya. Suasana kontras ini memang lezat, membuat kita mempercayai panggung. Kita menunggu klimaks, yakni kebengisan Ubu, seraya menikmati humor-humor yang diimprovisasi Budi Sobar si Penceleos. Dan setelah Penceleos terbunuh, yang ada hanyalah pameran kekasaran dan kekejaman Ubu, pameran kelucuan yang dipaksakan rangkaian antiklimaks yang enggan mengusik rasa marah dan rasa humor kita. Nano bukan Penceleos, dan Joshua bukan Ubu. Jika pergantian raja dengan kekerasan itu menciptakan situasi lebih buruk, tak seorang pun berharap bahwa pergantian sutradara di Teater Koma akan bernasib sama. Dalam usianya yang ke-16, Teater Koma telah memenangkan jumlah penonton. Tapi tak cuma itu. Sebab, para penonton itu bergerak, berdialektik, dengan pencarian Teater Koma, dengan kehidupan budaya pada umumnya. Mereka niscaya makin kritis. Mereka merindukan kesegaran dan kebaruan, termasuk sutradara baru. Mereka menunggu Joshua Pandelaki, dan selayaknya Joshua menghargai kecerdasan mereka. Nirwan Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo