Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Diketok Hari Ini, Aliansi Nasional Reformasi KUHP Jelaskan 12 Alasan Tolak RKUHP

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai draf akhir Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih mengandung pasal-pasal bermasalah.

6 Desember 2022 | 09.06 WIB

Sejumlah aktivis membentangkan spanduk saat aksi jalan pagi bersama tolak RKUHP dalam Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 27 Noveber 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Sejumlah aktivis membentangkan spanduk saat aksi jalan pagi bersama tolak RKUHP dalam Car Free Day di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu, 27 Noveber 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai draf akhir Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih mengandung pasal-pasal bermasalah. Menurut mereka, RKUHP masih punya pasal yang antidemokrasi, melanggengkan korupsi, mengatur ruang privat, hingga memiskinkan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kemarin, aliansi menggelar aksi simbolik dengan menabur bunga dan membakar kitab RKUHP sebagai tanda matinya demokrasi di Indonesia. Adapun hari ini, RKUHP bakal disahkan jadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aliansi menerangkan alasan penolakan pengesahan draf akhir RKUHP, yaitu:

1. Pasal soal Living Law atau hukum yang hidup di masyarakat
Menurut aliansi, frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu dan merampas kedaulatan masyarakat adat. Pasal ini juga menjadikan hukum adat yang mestinya kewenangannya di masyarakat, malah berpindah ke negara, seperti polisi, jaksa, dan hakim.

Aturan ini turut mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Musababnya, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

2. Pasal soal pidana mati
Universal Periodic Review (UPR) mencatat 69 rekomendasi dari 44 negara yang menentang rencana pemerintah untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi ihwal moratorium atau penghapusan hukuman mati. Aliansi menjelaskan, sudah banyak negara di dunia yang menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia. 

Hak hidup manusia mestinya tidak bisa dicabut oleh siapapun, termasuk negara. Selain itu, aliansi turut menyoroti banyak kasus kesalahan penjatuhan hukuman mati yang baru diketahui usai korban dieksekusi.

 

3. Penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum 
Absennya penjelasan ihwal klausa “paham yang bertentangan dengan Pancasila” berpotensi mengkriminalisasi setiap orang, utamana pihak oposisi pemerintah. Menurut aliansi, pasal ini bakal jadi pasal karet dan kembali menghidupkan konsep pidana subversif seperti era orde baru.



4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara 
Pasal soal penghinaan ini tidak menjelaskan diksi “penghinaan”. Aliansi menyebut pasal ini bakal karet dan berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah maupun lembaga negara.

5. Contempt of court 
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa mengingat tidak ada penjelasan eksplisit soal frasa “penegak hukum”. Aliansi menjelaskan, banyak kasus di persidangan yang menunjukkan bahwa hakim berpihak kepada penguasa. Pasal ini, menurut aliansi, juga mengekang kebebasan pers mengingat ada larangan publikasi proses persidangan secara langsung.

 

6. Kohabitasi
Aliansi menyebut pasal ini berpotensi mempersekusi dan melanggar ruang privat masyarakat. Pasal ini juga tidak menjelaskan ihwal “hidup bersama sebagai suami istri”.

 

7. Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
RKUHP mencabut sebagian pasal dalam UU ITE yang tumpang tindih. Kendati demikian, aliansi menilai RKUHP mestinya mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE.

Aliansi turut menyoroti frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat yang menjadikan pasal ini berbahaya. Musababnya, seseorang yang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana dengan adanya frasa ini.

 

8. Larangan unjuk rasa
Frasa “kepentingan umum” berpotensi menjadikan pasal ini karet. Selain itu, frasa “pemberitahuan” mesti diperjelas bahwa pemberitahuan bukan izin. Sehingga, massa hanya perlu memberitahukan ke aparat yang berwenang tanpa ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.

 

9. Memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggaran HAM berat 
Negara menerapkan asas non-retroaktif, yakni kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru dalam draf akhir RKUHP. Mengingat RKUHP mengatur pelanggaran HAM berat, aliansi mengatakan pasal ini menandakan bahwa segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM yang terjadi sebelum RKUHP sah tidak dapat diadili.

 

10. Mempidana korban kekerasan seksual
Pasal soal kohabitasi dan perzinaan berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.

 

11. Meringankan ancaman bagi koruptor
Draf akhir RKUHP membuat ancaman terhadap koruptor terlalu ringan tanpa memberikan efek jera. Padahal, korupsi merupakan tindakan yang berdampak luas bagi masyarakat.

 

12. Korporasi sebagai entitas sulit dijerat 
RKUHP menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Kendati demikian, pertanggungjawaban ini masih dibebankan pada pengurus. Menurut aliansi, kecil kemungkinan korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.

Aliansi menjelaskan, pasal ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak punya kekayaan sebanyak korporasi. Pasal ini juga rentan melonggarkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

Baca: Hari Ini RKUHP Disahkan, Ini Pasal yang Masih Jadi Sorotan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus