Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Agar Hampers Tak Jadi Gratifikasi

Hampers tak melulu identik dengan gratifikasi yang mengarah pada suap. Ada aturan pengecualian menerima bingkisan hari raya.

4 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hampers atau bingkisan pada hari raya Idul Fitri tak melulu masuk kategori gratifikasi yang mengarah pada suap.

  • Terdapat sejumlah aturan bahwa ASN dan penyelenggara negara masih bisa menerima bingkisan tersebut.

  • Namun langkah KPK membuat imbauan agar tak menerima gratifikasi hari raya mendapat kritik tajam.

HARI Raya Idul Fitri biasanya diikuti dengan pemberian bingkisan atau hampers kepada kerabat, kolega, ataupun sahabat. Namun, ada aturan bagi para aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara negara agar pemberian itu tak menjadi masalah karena dianggap sebagai gratifikasi yang mengarah pada suap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan imbauan kepada pejabat negara dan ASN untuk menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan jabatannya dalam rangka hari raya Idul Fitri 1445 H. Imbauan itu tertuang dalam surat bernomor 1636/GTF.00.02/01/03/2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat bertanggal 25 Maret 2024 itu ditandatangani Ketua KPK Nawawi Pomolango. KPK mengirim surat itu kepada seluruh lembaga tinggi negara, kementerian, aparat penegak hukum, lembaga pemerintah non-kementerian, kepala daerah di semua level, badan usaha milik negara ataupun badan usaha milik daerah, asosiasi/perusahaan/korporasi, dan seluruh ASN.

“Pegawai negeri dan penyelenggara negara wajib menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan tidak memanfaatkan perayaan hari raya untuk melakukan perbuatan koruptif,” demikian tulisan Nawawi dalam surat itu.

Nawawi mengatakan, apabila telanjur menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya, para ASN dan penyelenggara negara wajib melapor kepada KPK maksimal 30 hari kerja setelah menerimanya. Selain kepada KPK, para pegawai negeri dan pejabat negara bisa melaporkannya ke unit pengendalian gratifikasi (UPG) di masing-masing instansi. Nawawi menambahkan, gratifikasi berupa bingkisan makanan atau minuman juga bisa disalurkan sebagai bantuan sosial, dengan melaporkannya.

Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil saat pulang kerja di Jakarta, 27 Februari 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Juru bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati Kuding, menerangkan surat imbauan itu menindaklanjuti Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Surat Edaran KPK Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi Terkait Hari Raya. Menurut dia, dalam imbauan itu tercantum gratifikasi dalam arti luas, baik yang diterima di dalam maupun di luar negeri. “Yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya,” kata Ipi kepada Tempo, Rabu, 3 April 2024.

Dalam Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara bisa dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ipi menjelaskan, tidak semua gratifikasi masuk kategori suap. “Hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B,” kata Ipi.

Rambu-Rambu Gratifikasi

Ipi melanjutkan, ada juga jenis gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan ke KPK. Hal itu, menurut dia, diatur dalam Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi. Misalnya pemberian dari sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya dan tidak terkait dengan kedinasan.

Namun, nilai gratifikasi yang tak perlu lapor itu maksimal bernilai Rp 200 ribu setiap pemberian per orang. Total pemberiannya pun maksimal hanya Rp 1 juta dalam satu tahun dari pemberi yang sama.“ Maka, pemberian hampers atau parsel Lebaran senilai tersebut kepada rekan kerja seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara termasuk gratifikasi yang tidak dilarang dan tak wajib dilaporkan kepada KPK,” kata Ipi.

Contoh lain, kata Ipi, adalah pemberian dari keluarga, seperti ayah atau ibu, anak atau menantu, kakek atau nenek, anak angkat, cucu, besan, hingga sepupu dan keponakan. Namun pemberian itu harus dipastikan tidak terdapat konflik kepentingan dan memenuhi kewajaran atau kepatutan.

Selain pengecualian yang disebutkan dalam peraturan KPK itu, kata Ipi, pemberian kepada ASN atau pejabat negara wajib dilaporkan kepada KPK atau UPG yang terbentuk di masing-masing instansi. “KPK telah mendorong pembentukan UPG di masing-masing instansi pemerintahan, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,” kata Ipi.

Imbauan KPK tersebut mendapat kritik. Ketua IM57+ Institute, organisasi kumpulan eks penyidik KPK, M. Praswad Nugraha mengatakan imbauan itu tidak akan efektif apabila tak ada tindakan konkret oleh lembaga antirasuah itu. “KPK sedang bermimpi di siang bolong untuk bisa memberantas korupsi menggunakan imbauan,” kata Praswad kepada Tempo.

Praswad mengatakan setiap tahun KPK selalu mengeluarkan imbauan soal larangan menerima gratifikasi. Nyatanya penerimaan gratifikasi terus marak. Dia pun menyebutkan imbauan itu hanya omong kosong apabila tidak ada penindakan. “Kalau benar mau komitmen memberantas korupsi, lakukan pemantauan gratifikasi di rumah para pejabat negara, foto, buktikan yang bersangkutan terima parsel, lalu panggil dan minta serahkan parselnya ke negara,” kata mantan penyidik KPK itu.

Langkah lain yang bisa dilakukan oleh KPK, kata Praswad, adalah melakukan antisipasi terhadap setiap penyelenggara negara dan ASN agar tidak menerima gratifikasi. Misalnya dengan mendatangi rumah tiap-tiap penyelenggara negara dan memasang imbauan tersebut. “Pasang patok di depan rumah, dilarang memberi parsel ke rumah ini oleh KPK. Harus dilakukan agar tidak hanya omong kosong,” tuturnya.

Pakar hukum tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih pun sangsi imbauan yang dikeluarkan KPK itu akan dipatuhi oleh ASN dan penyelenggara negara pada hari raya Idul Fitri. Pasalnya, menurut dia, tidak ada mekanisme yang jelas dari KPK untuk menindaklanjuti imbauan itu. “Bagaimana dalam hal mengecek bahwa pejabat atau ASN yang menerima gratifikasi itu ketaatannya betul tidak melaporkan ke KPK, ini yang belum jelas mekanismenya,” kata Yenti.

Yenti menyatakan hal ini sama dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Meskipun ada kewajiban yang diatur dalam undang-undang, menurut dia, masih banyak penyelenggara negara yang tak mematuhinya dengan tidak melaporkannya atau memalsukan laporan itu. “LHKPN saja KPK diam. Nyatanya banyak pejabat yang tidak memasukkan harta kekayaannya dalam LHKPN,” kata Yenti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus