Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang melebihi kepanikan seorang ibu bila kehilangan anak. Itu terjadi pada Nyonya Erna Wouthuyzen, 26 tahun. Anak perempuannya yang masih 4 tahun, Samantha Deborah, dirampas dan diboyong bekas mertuanya, Nyonya Ochtman, ke Belanda dengan bantuan petugas Imigrasi di Indonesia. "Saya sedih, terbayang-bayang terus. Apalagi kalau melihat barang-barang yang pernah dipakai Samantha," ujar Erna, yang tidak henti-hentinya menitikkan air mata, di kediamannya di bilangan Margahayu, Bandung, Kamis malam pekan lalu. Sampai pekan ini, Erna berupaya mengembalikan Samantha, yang dilarikan pada November silam, ke pelukannya. Samantha, yang dilahirkan Erna di Belanda pada 8 November 1987, adalah hasil perkawinannya dengan Arnold Johan Ochtman, 38 tahun. Namun, pada Februari 1989, Erna dan Johan bercerai. Pengadilan di Dordrecht, Belanda, memutuskan Erna menjadi wali Samantha. Pada November 1990, Erna membawa Samantha ke Indonesia. Samantha, yang masih warga negara Belanda, dilengkapi visa kunjungan sosial budaya. Mereka tinggal di rumah orangtua Erna di Bandung. Belakangan, Erna menikah dengan Nono Suwarno dan dikaruniai seorang putra. Salahnya, sampai berbulan-bulan kemudian, Erna tak mengurus perpanjangan visa Samantha, yang habis masa berlakunya pada Februari 1991. Kartu izin menetap sementara (KIMS) untuk Samantha, yang ia percayakan kepada seorang bekas pegawai Imigrasi agar diurus, tidak kunjung muncul. Akhirnya, petugas Imigrasi menyatakan bahwa Samantha harus dideportasi. Hanya, sebagaimana lazimnya praktek deportasi, petugas itu menyarankan agar Samantha diterbangkan saja ke Singapura, kemudian kembali dengan visa baru. Erna setuju. Namun, sewaktu mengurus persiapan deportasi itu, pada 12 November 1991, tanpa diduga-duga, Nyonya Ochtman bersama seorang temannya muncul di Kantor Imigrasi Bandung. Nyonya Ochtman, yang sejak di Belanda dulu bersikeras agar Samantha ikut Johan, khusus datang ke sini untuk mengambil Samantha. Janggalnya, Kepala Kantor Imigrasi Bandung, Suharto, malah membatalkan rencana deportasi Samantha. Karena Samantha berkewarganegaraan Belanda, dalih Suharto, anak itu harus dibawa kembali oleh neneknya. Erna, yang didampingi Nono, mencoba memprotes. Toh segala dalih wali sah Samantha itu tidak digubris Suharto. Puncaknya, pada 15 November, Samantha ditahan di Imigrasi. Erna menangis melolong-lolong. Suharto tak peduli. Bahkan beberapa polisi yang dipanggil Nono setelah ia melapor bahwa anaknya diculik, dengan mudahnya dihalau Suharto. Dalam keadaan tidak berdaya, Erna dipaksa kembali esok harinya. Esoknya, ternyata Samantha sudah tidak ada di Imigrasi. Suharto hanya bilang bahwa Samantha sudah dibawa Nyonya Ochtman ke Belanda, lewat Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Erna histeris. Bersama Nono dan keluarganya dia mengejar ke Cengkareng. Sesampainya di sana, di loket pemberangkatan, Samantha tampak digendong Nyonya Ochtman. Usaha Erna untuk merebut bocah itu ditepis petugas Imigrasi Bandung, yang hebatnya mengawal Nyonya Ochtman sejak dari Bandung. Beberapa polisi yang dilapori Nono juga kalah "wibawa" untuk menghalangi kepergian Samantha. Sementara itu, beberapa petugas Imigrasi berupaya menenangkan Erna dengan menawarkan uang Rp 3,5 juta dari Nyonya Ochtman. Tapi Erna menolak keras, sampai akhirnya pesawat KLM yang membawa Samantha dan Nyonya Ochtman terbang dan lenyap dari pandangan. Kepala Kantor Imigrasi Bandung, Suharto, menyatakan bahwa pihaknya sekadar menjalankan peraturan. Sesuai dengan ketentuan Imigrasi, katanya, Samantha, yang izin tinggalnya sebagai orang asing sudah delapan bulan habis, mau tak mau harus dideportasi -- tak pandang usianya berapa. "Itulah risiko kawin dengan orang asing," ucap Suharto singkat." Happy S. dan Ardian T. Gesuri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo