Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 3 tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa suap, terkait pengadaan barang dan jasa di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan tahun 2021-2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah MK yang merupakan pelaksana tugas Kadis PU pada Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara sekaligus pejabat pembuat komitmen dan kuasa peminta anggaran, MRH Direktur CV Hanamas sebagai penyuap, dan FH Direktur CV Kalpataru sebagai penyuap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tim KPK menerima informasi dari masyarakat terkait adanya penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara yang diduga sudah disiapkan dan diberikan oleh MRH dan FH," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, dalam konferensi pers, Kamis, 16 September 2021.
Pada Rabu, 15 September 2021, Tim KPK kemudian bergerak dan mengikuti MJ, orang kepercayaan MRH dan FH, yang baru mengambil uang sejumlah Rp 170 juta di salah satu bank. MJ kemudian bergerak ke kediaman MK.
Setelah uang diterima MK, tim KPK menangkap MK. Di sana, ditemukan pula uang sejumlah Rp 175 juta dari pihak lain dan beberapa dokumen proyek.
"Selain itu tim juga mengamankan FH dan MRH di rumah masing-masing," kata Alex.
Selain MK, FH, dan MRH, tim KPK juga sempat menangkap 4 orang lain. Mereka adalah MJ, sebagai orang kepercayaan MRH dan FH, KI yang merupakan PPTK Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara, LI yang merupakan mantan ajudan Bupati Hulu Sungai Utara, dan MW yang merupakan Kepala Seksi di Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara.
"Semua pihak yang ditangkap kemudian dibawa ke Polres Hulu Sungai Utara untuk dimintai keterangan dan dibawa ke KPK untuk diperiksa lebih lanjut," kata Alex.
Dari penangkapan itu, KPK menyita barang bukti berupa berbagai dokumen dan sejumlah uang total sebesar Rp 345 juta. Dari 7 orang yang ditangkap, KPK menetapkan 3 tersangka, yakni MK, MRH, dan FH.
FH dan MRH sebagai pihak pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 65 KUHP.
Sedangkan MK selaku penerima disangkakan Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11, juncto Pasal 64 KUHP Jo Pasa 65 KUHP.
Alex menjelaskan bahwa MK sebagai Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang dan Pertanahan Hulu Sungai Utara, diduga telah lebih dulu memberikan persyaratan lelang pada MRH dan FH sebagai calon pemenang kedua proyek irigasi. Keduanya disebut sepakat memberikan sejumlah uang komitmen fee 15 persen.
Adapun kedua proyek irigasi itu adalah Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah, Amuntai Selatan dengan HPS Rp 1,9 miliar dan Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang Desa Karias Dalam, Banjang dengan HPS Rp 1,5 miliar.
Akhirnya, lelang Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah dimenangkan oleh CV Hanamas milik MRH dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar. Sedangkan lelang proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang Desa Karias, dimenangkan oleh CV Kalpataru milik FH dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar.
"Setelah semua administrasi kontrak pekerjaan selesai lalu diterbitkan Surat Perintah Membayar pencairan uang muka yang tindaklanjuti oleh BPKAD dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana/SP2D untuk pencairan uang CV Hanamas dan CV Kalpataru yang dilakukan oleh MJ sebagai orang kepercayaan dari MRH dan FH," kata Alex.