Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Polda Metro Jaya belum membuka status EMT yang diduga menyekap remaja perempuan berusia 15 tahun dan memaksanya menjadi pekerja seks komersial (PSK) di sebuah apartemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Saat ini, dugaan kasus penyekapan dan eksploitasi anak di bawah umur masih terus diusut oleh penyidik Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan dalam keterangannya, Jumat, 16 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Zulpan mengatakan belum bisa membuka apakah terlapor sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus prostitusi ini. Namun kepolisian telah menaikkan status kasus ke tahap penyidikan usai dilakukan gelar perkara.
Sebelumnya, remaja perempuan berinisial NAT diduga disekap dan dipaksa menjadi PSK di apartemen wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara.
Kuasa hukum korban, M Zakir Rasyidin mengatakan peristiwa tersebut sudah terjadi selama 1,5 tahun, sejak Januari 2021. Kasus ini baru diketahui pihak keluarga pada Juni 2022.
Keluarga korban melaporkan kasus ini ke Polda Metro Jaya dengan nomor LP/B/2912/VI/2022/SPKT Polda Metro Jaya tanggal 14 Juni 2022.
“NAT diduga disekap dan dipaksa menjadi PSK di apartemen wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara,” kata Zakir.
Kronologi Penyekapan
Menurut Zakir, kejadian bermula saat korban diajak EMT ke salah satu apartemen di Jakarta Barat. Setibanya di lokasi, korban dilarang keluar atau pergi meninggalkan apartemen.
Berdasarkan pengakuan korban, EMT mengiming-iminginya dengan sejumlah uang. EMT juga berjanji akan membiayai korban untuk mempercantik diri.
“Anak ini tidak bisa pulang. Dia diiming-imingi, dikasih uang dengan cara bekerja tapi pekerjaan yang diberikan itu dia dijual ke pria hidung belang,” kata Zakir.
Menurutnya, selama disekap, korban diduga diintimidasi agar tidak mencoba kabur atau menolak melayani pelanggan. Selain itu, korban diberi target untuk mendapatkan uang minimal Rp 1 juta per hari.
Apabila tidak memenuhi target, ujar Zakir, NAT dianggap berutang uang kepada pelaku. “Kalau tidak menghasilkan uang Rp 1 juta per hari, dia diminta untuk bayar utang dengan menjajakan diri. Jika tidak memenuhi target, maka dia diminta untuk membayar utang,” ujarnya.
Zakir mengatakan bahwa dalam melancarkan aksinya selama 1,5 tahun, EMT sesekali mengizinkan korban untuk pulang ke rumah menemui orangtuanya. Namun, korban tetap diawasi dan diminta tidak berlama-lama.
Korban prostitusi anak itu dilarang menceritakan soal pekerjaan maupun tempatnya bekerja kepada pihak keluarga. “Jadi korban hanya menyampaikan kepada keluarga bahwa dia bekerja, tidak sampaikan detail pekerjaannya seperti karena dalam tekanan,” tutur Zakir.
Jika remaja yang dipaksa jadi PSK itu bercerita kepada keluarganya, kata Zakir, ia harus membayar utang Rp 35 juta.