Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANAK muda 17 tahun itu—sebut saja Doni—baru saja menyuntikkan putaw ke lengan kanannya. Ketika itulah pintu rumahnya terempas keras. Kemudian suara gaduh bergemuruh dari ruang tamu. Doni bergegas turun dari loteng.
Belum sampai di ruang tamu, dari anak tangga kayu yang reyot, ia melihat lima orang berpakaian preman meringkus ayahnya, Harman—bukan nama sebenarnya. Sang ayah, berikut sejumlah putaw dan sabu-sabu yang ditemukan di tempat itu, lalu diangkut entah ke mana. Doni, remaja berkulit gelap itu, kabur ke loteng. Sore itu juga ia menyingkir menyelamatkan diri.
Peristiwa nahas itu terjadi Januari lalu. Kini ayahnya meringkuk di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Harman adalah ”edeb”—sebutan untuk bandar narkoba—terkenal di Menteng Pegangsaan, Jakarta Pusat. Sudah sejak muda ia jadi bandar. ”Pasien”-nya—sebutan untuk pembeli narkoba—tersebar dari Jakarta hingga Depok dan Bogor, Jawa Barat.
Kesohoran Harman tak hanya di kalangan ”junkies”—sebutan untuk pecandu. Lelaki yang ditinggal kabur istrinya itu juga populer di kalangan polisi dan sipir karena sering bolak-balik masuk penjara. ”Mungkin sudah lima kali ditahan,” Doni bercerita, awal Mei lalu. Jika Harman masuk penjara, ”bisnis keluarga” itu dikelola Doni, sang putra bungsu.
Sejak kecil Doni berkelindan dengan urusan narkoba. ”Saya sering melihat ayah membungkusnya dalam plastik, tapi dulu belum tahu itu apa,” katanya. Dia juga sering melihat sang ayah pakau (memakai narkoba) di rumah kecil mereka di Tambak, Menteng, Jakarta Pusat. Kadang sendiri, kadang bersama temannya. Bahkan, kata Odi—”bajong” (calo) yang menghubungkan Tempo dengan Doni—tak jarang Harman pakau sambil menyuapi kedua anaknya.
Doni baru menjajal barang haram itu ketika duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. ”Pertama kali nyoba etep (putaw), ngico (menyuntik)-nya bareng teman di tempat nongkrong,” katanya sambil mempertontonkan bekas suntikan di lengan kanannya. Merasa enak, Doni ketagihan. Ia pun mencuri dagangan ayahnya. Mula-mula itu tak ketahuan, tapi akhirnya Harman mengendus aksi putranya.
Alih-alih melarang, Harman malah menyarankan anaknya mengganti putaw dengan sabu. Alasannya, ”Biar tidak rusak seperti kakak saya,” kata Doni. Kakaknya, Adi, 18 tahun, lebih dulu menjadi junkies putaw. Kini Adi, yang juga putus sekolah di SMP, hidup dari menjadi bajong. Soal putus sekolah, ”Karena bokap (ayah) ketangkap aja,” katanya.
Sejak ditinggal kabur ibunya, hidup kedua remaja itu kacau-balau. Ayah sibuk sebagai edeb. Rumah mereka, yang terbuat dari bata dan kayu seadanya, terjepit di antara rumah-rumah kecil bersesakan, sering ditandangi pasien dan menjadi tempat transaksi serta pesta narkoba. Akhirnya, Doni dan Adi sering nimbrung, pakau bersama ayah mereka. Keduanya pun belajar ngebajong agar bisa membeli etep atau ubas (sabu) sendiri.
Tergiur untung besar dan gaya hidup santai tanpa banyak pikir—kecuali memikirkan cefu (mata-mata polisi) dan bendi yang sewaktu-waktu menangkap—Doni mulai bertekun menjadi bajong. Usahanya sukses: sejak setahun lalu dia dikenal sebagai edeb.
Pasiennya beragam, dari berbagai wilayah pula. Misalnya dari Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Depok, dan Bogor. Cara pemasarannya enteng, cuma duduk di rumah, menunggu pasien. ”Ya, enggak mungkinlah dibawa-bawa, bisa ditangkap bendi,” katanya. Ketika Tempo bertandang, dua pasien sedang meninggalkan rumah Doni.
”Berdagang” di rumah merupakan cara aman mengelabui bendi, sekaligus mengamankan barang bukti bila sewaktu-waktu digerebek. Sebab, barang haram itu bisa disimpan di mana saja. Kadang di pot bunga, di atas pohon, atau tempat lain yang tak mencurigakan. Begitu pasien datang, mereka meletakkan uang di tempat yang telah ditentukan, kemudian mengambil sendiri barangnya.
Pasien juga banyak akal. Ketika Tempo berkunjung ke rumah Ferdi, bajong Doni, seorang pasien laki-laki setengah baya baru saja ”belanja”. Sebelum meninggalkan rumah, pasien itu menyelipkan putaw di bawah lidahnya. ”Biar langsung ditelan kalau dicegat bendi di jalan,” kata Ferdi.
Daya tarik utama bisnis ini bagi para bajong dan edeb adalah mendapat untung besar dengan cara gampang. Doni bercerita, dari satu paket putaw seharga Rp 50 ribu, paling sedikit ia memperoleh Rp 15 ribu. Keuntungan sabu lebih besar karena harga satu paket Rp 200 ribu. Dalam sehari ia bisa mengantongi ratusan ribu rupiah. Pasien mereka banyak karena, ”Barang kami asli, bukan campuran,” kata Doni dan Odi. ”Kami juga tidak pernah membohongi pasien.”
Selain untuk biaya hidup, keuntungan yang diperoleh digunakan buat membeli narkoba kebutuhan sendiri. Dalam sehari, paling sedikit Doni pakau tiga kali: pagi, siang, dan petang. Jika ingin begadang, ia menggunakan sabu.
Menurut Doni, paling banyak ia menjual seperempi (seperempat) atau setengki (setengah) gram sabu atau putaw. ”Jarang satu gaw (gram),” katanya. Harga satu gaw sabu 1,4 juta, sedangkan putaw Rp 700 ribu. Barang haram itu dibeli dari seorang edeb besar di kawasan itu juga.
Dalam aturan main, bajong dan edeb harus saling melindungi. Tapi tak jarang para edeb saling menjatuhkan dengan melapor ke polisi jika seorang edeb dinilai lebih laris dari edeb lainnya.
Bisnis ini tidak mengenal utang-piutang. Semuanya kontan. Jika pecandu wakas (sakau) ketika lagi bokek, mereka ditawari menjadi bajong. Tugas utama mereka adalah mencari pasien baru.
Para tetangga tak pernah mengeluhkan bisnis Doni. Sebab, mereka juga kecipratan rezeki, setidaknya sebagai ”mata-mata” jika bendi atau cefu masuk kawasan Tambak. ”Kalau di gang utama, informannya bisa tukang ojek. Di dalam gang kadang ibu-ibu,” Doni dan Odi bercerita.
Neneng, 23 tahun, tetangga Doni, membenarkan cerita itu. Ibu dua anak yang juga pecandu, yang berprofesi sebagai wanita panggilan, itu menuturkan, selain mendapat jatah uang dari edeb, mereka bisa memperoleh narkoba dengan harga miring.
Anehnya, meski sudah bertahun-tahun menjadi edeb, keluarga Doni tetap hidup melarat. Sambil tertawa, Doni menerangkan, ”Keuntungannya selalu dipakai untuk pakau dan main perempuan.”
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo