Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mucikari dan pasal yang pingsan

Pengadilan negeri bogor menjatuhkan vonis terhadap beberapa germo di bogor, berdasarkan pasal kuhp yang selama ini sudah jarang dipakai. (hk)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu vonis berjatuhan di Bogor - dari pagi sampai malam. Dan malam itu iuga, para germo atau mucikari yang tadi antre di muka hakim menunggu putusan, diangkut dengan truk dinas sosial ke penjara dengan status narapidana. Dan puluhan pelacur, yang pada sidang pengadilan awal bulan ini duduk sebagai saksi, masih harus menunggu nasib. Mereka adalah yang terjaring Operasi Kupu-Kupu 1 April. Operasi yang berlangsung semalam suntuk itu, mengobrak-abrik daerah mesum di Kabupaten Bogor, seperti di Cileungsi, Bojongsari, Sawangan, dan di beberapa tempat di Puncak (dari Cipayung sampai Tugu). Menurut Letkol Pol. Drs. Rusdoyo, komandan Kepolisian Bogor, tindakan tersebut untuk menumpas habis pelacuran di daerah itu - seperti yang dicita-citakan Muspida Kabupaten Bogor. Tapi operasi rupanya belum berhasil baik. Karena menurut Danres beberapa rumah pelacuran sudah kosong begitu didatangi petugas. "Entah siapa yang membocorkannya," ujar Rusdoyo kesal. Namun begitu malam itu polisi berhasil menjerat 37 mucikari - empat di antaranya wanita dan 87 pelacur. Setelah semalam mendekam di rumah tahanan, besoknya 37 mucikari itu antre dihadapkan ke meja hijau, sedangkan para pelacurnya duduk berjejer di kursi saksi di Pengadilan Negeri Bogor. Sidang pengadilan, yang mulai dari pagi dan baru usai pukul 19.00 malam, mempersalahkan mereka sebagai mucikari (melanggar pasal 296 jo 506 KUHP) dan menghukum mereka mulai 1 sampai 3 bulan penjara. "Ini memang kejutan," kata Ketua Pengadilan Negeri Bogor, Soebiyakto, SH. Soalnya pasal KUHP yang digunakan menggasak kaum mucikari itu sudah jarang dipergunakan pengadilan. Namun jangan lupa, Soebiyakto mengingatkan, "pasal itu tak pernah mati dan dapat saja dipergunakan apabila diperlukan." Ketika menjadi hakim di Pengadilan Negeri Lumajang (Ja-Tim), 1963, Soebiyakto mengatakan dia menggunakan juga pasal itu untuk mengadili para germo. Dan sekarang di Bogor rupanya pasal itu dirasakan perlu lagi dinaikkan ke permukaan. Menurut Teja Sumantri, salah seorang jaksa yang menyeret para mucikari itu ke meja hijau, kegiatan pelacuran "sudah meresahkan masyarakat." Di sekitar daerah hitam menurut Letkol Rusdoyo, sering terjadi peristiwa kriminalitas. Karena itulah vonis yang dijatuhkan, menurut Hakim Nyonya Christi Purnami, SH, cukup berat: "Mereka diperintahkan segera masuk rumah tahanan." Sedang berat dan entengnya hukuman, menurut Hakim Nyonya Maryati Akman, SH, berdasarkan "masa kerja" mucikari. Beberapa mucikari, yang ditemui TEMPO di rumah penjara Pledang di Bogor, memang merasa heran ketika dijatuhi hukuman itu. "Saya menyewakan ruangan dihukum, tapi yang berbuat mesum di ruangan itu kok nggak apa-apa?" kata Ujang bin Emod, 20 tahun dengan polos. Di warungnya di Cisarua dia punya dua kamar sewaan dan dua WTS. Rata-rata tiap malam dia memperoleh Rp 8.000. Tapi dari jumlah itu harus disisihkan sebagian untuk "uang hansip". Menurut Itom, 35 tahun, mucikari yang lain, setiap ada wanita baru menghuni warungnya, dia melaporkannya kepada polisi setempat sambil menyerahkan "uang administrasi". "Sekarang kami ditangkap juga," kata narapidana dengan hukuman 3 bulan penjara itu. Dia merasakannya sebagai tak adil karena, "di mana-mana juga banyak pelacuran, kok tak ditangkap seperti kami?" keluhnya. Reaksi semacam itu muncul secara wajar. Sebab mucikari selama ini merasa telah memperoleh semacam "pengertian" dari petugas keamanan maupun masyarakat sekitarnya. Pasal KUHP yang mengancam kegiatan mereka, seperti praktek selama ini, mungkin dianggap telah "pingsan". Bukankah beberapa pasal yang menyangkut Keluarga Berencana (KB) juga demikian? Pasal 283 menyediakan ancaman hukuman penjara 9 bulan, yang kalau diterapkan, akan mengancam para petugas KB yang begitu aktif di desa-desa. Tapi Soebiyakto tak setuju pasal itu dihubungkan dengan mucikari. Kampanye KB tak pernah dinyatakan oleh pendapat umum sebagai pelanggaran kesopanan. "Sedangkan kegiatan mucikari, saya yakin, semua berpendapat perbuatan yang melanggar kesopanan," katanya sengit. Operasi Kupu-Kupu, yang melibatkan berbagai aparat keamanan itu, memang berdasarkan surat perintah Bupati Bogor, 29 Maret 1983. Tapi Soebiyakto sangat keberatan kalau diartikan pengadilan diperintah bupati untuk memberlakukan pasal yang "pingsan" itu. "Hakim bebas dari instruksi maupun intrik dalam mengadili suatu perkara," katanya. Bahwa pelacuran sudah berlangsung lama di daerah itu, tapi sekarang baru berhadapan dengan pengadilan, kata Soebiyakto dengan suara agak marah, "tetap saja pekerjaan itu salah di mata hukum."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus