Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) pada 3 Februari 2025 menyisakan polemik. Saling beda pendapat mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut direksi atau pejabat BUMN yang terindikasi korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
UU BUMN menyatakan, direksi dan komisaris BUMN bukan lagi termasuk penyelenggara negara. Dalam Pasal 3X undang-undang yang mulai berlaku Februari 2025, dinyatakan bahwa "Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara." Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 9G, yang menyebutkan bahwa "Anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketentuan ini mengancam kewenangan KPK dalam mengusut pejabat BUMN yang terindikasi korupsi. Sebab, seperti disebutkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK mempunyai kewenangan mengusut dugaan korupsi yang dilakukan penyelenggara negara.
Pasal 6 huruf e, UU KPK menyebutkan KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Definisi penyelenggara negara sendiri diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-undang itu menyebutkan penyelenggara negara meliputi:
- Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
- Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
- Menteri
- Gubernur
- Hakim
- Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku
- Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraannegara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
KPK sendiri tengah mengkaji UU BUMN tersebut dan membandingkannya dengan regulasi lain yan sudah berlaku. Anggota Tim Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut kajian dilakukan untuk menelaah lebih dalam implikasi pasal-pasal tersebut, khususnya yang mengeluarkan direksi dan komisaris BUMN dari kategori penyelenggara negara.
“Dalam melakukan kajian tersebut, KPK tentu juga akan melihat peraturan dan ketentuan lainnya, seperti KUHAP, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Keuangan Negara, dan sebagainya,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 5 Mei 2025, seperti dikutip Antara.
KPK sendiri menganggap perlu melakukan pencegahan korupsi sehingga kami bisa mendorong praktik-praktik bisnis yang berintegritas. "Dengan demikian, kami bisa mendorong penciptaan iklim bisnis yang bersih,” katanya.
Lain halnya dengan Kejaksaan Agung. Kejaksaan menyatakan tetap bisa menjerat direksi dan komisaris BUMN dalam dugaan korupsi. “Selagi ada fraud dan indikasi aliran dana negara, bisa. Itu dasarnya,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, pada Senin, 5 Mei 2025.
Harli menjelaskan, fraud yang dimaksud mencakup persekongkolan atau pemufakatan jahat. Ia mencontohkan jika dalam penyertaan modal negara (PMN) ditemukan adanya penyelewengan, maka direksi maupun komisaris BUMN tetap dapat diproses secara hukum.
UU BUMN sendiri menegaskanpengawasan keuangan terhadap BUMN tetap menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini tertuang dalam Pasal 3K: "Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan badan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Dicky Kurniawan, Yudono Yanuar dan Kukuh S. Wibowo berkontribusi dalam tulisan ini.
Pilihan Editor: Kewenangan KPK Mengusut Korupsi BUMN Menyempit