Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Public Interest Lawyer-Network (PilNet) Indonesia mengutuk keras kebrutalan aparat Kepolisian Resor (Polres) Seruyan dan Polda Kalteng yang menembaki warga Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Akibat penembakan oleh polisi itu, dua orang mengalami luka berat dan satu orang dinyatakan meninggal dunia di lokasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PilNet merupakan gabungan dari WALHI, Sawit Watch, Greenpeace Indonesia, Perkumpulan HuMa, Gemawan, Trend Asia, dan ELSAM. Para warga saat itu tengah menggelar aksi menuntut haknya di PT HMBP 1 (Best Agro International Group). Koordinator PilNet Indonesia, Sekar Banjaran Aji menilai kepolisian sepertinya tidak belajar dari kesalahan. Lagi-lagi rakyat yang berdiri memperjuangkan haknya terhadap PT HMBP yang merupakan bagian dari Best Argo Internasional Group menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi protes warga dilakukan sejak 16 September 2023. Warga menutup akses jalan masuk perusahaan PT HMBP. Sebab, tuntutan warga tidak kunjung dipenuhi oleh pihak perusahaan dan rencananya warga melakukan kegiatan blokade lahan area perkebunan sawit yang selama ini dituntut untuk diberikan kepada masyarakat (area berada di luar HGU PT HMBP).
Alih-alih turut memberikan pengayoman, aparat kepolisian yang berjaga di lokasi areal perusahaan justru melakukan tindakan represif kepada warga dengan menembakkan gas air mata dan menembak menggunakan peluru tajam. Tindakan ini dilakukan tanpa dasar dan pemicu yang jelas. Akibatnya, berdasarkan informasi yang didapatkan dari lapangan, setidaknya terdapat 3 orang terkena tembakan. Dari jumlah itu, 2 orang mengalami luka berat, dan 1 orang meninggal dunia di lokasi.
Menurut Pilnet, penggunaan senjata api dengan peluru tajam dalam penanganan aksi massa tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Merujuk Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, disebutkan bahwa anggota satuan pengendalian massa dalam unjuk rasa dilarang untuk melakukan delapan hal. Salah satunya membawa senjata tajam dan peluru tajam.
Sekar mengatakan tragedi semacam ini tentu tidak dapat dibenarkan. Aparat Kepolisian sebagai alat negara yang seharusnya menegakkan hukum dan HAM, justru menjadi pengkhianat dengan mengekang kebebasan berpendapat dan perjuangan warga Desa Bangkal yang telah jelas diatur dalam berbagai peraturan nasional maupun internasional. "Kepolisian nampaknya jelas-jelas mengabaikan hal ini," ujar Sekar.
Padahal setiap aparat kepolisian seharusnya tunduk dan patuh terhadap Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam setiap penyelenggaraan tugas Kepolisian. Selain itu kepolisian telah pula melanggar Standar Norma dan Pengaturan (SNP)
Karena itu, PilNet menyatakan sikap dan menuntut tindakan aparat kepolisian yang arogan dan menghilangkan nyawa orang lain adalah merupakan sebuah tindakan yang merendahkan harkat martabat sebagai manusia yang tidak dibenarkan. Karena itu, mereka menuntut Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja kepolisian yang semakin hari semakin menunjukkan watak represifnya. Polri mengevaluasi dan mengubah pendekatan pengendalian massa agar sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia yang berlaku, termasuk yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 16 tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
PilNet juga menyatakan perlu adanya upaya pembentukan aparat kepolisian yang berkompeten agar tidak terjadinya perlakuan represif terhadap masyarakat. Meskipun aparat merupakan para penegak hukum, bukan berarti mereka berhak semena-mena apalagi menggunakan senjata. "Karena pada dasarnya masyarakat bukanlah para penjajah," ujar Sekar.
PilNet menuntut Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah untuk bertanggung jawab dan menindak tegas dengan melakukan proses hukum baik etik maupun pidana anggota Polri di jajarannya yang melakukan kekerasan dan pelanggaran protap dalam penanganan aksi. Mereka meminta Kapolres Seruyan untuk membuka akses bantuan hukum kepada seluruh peserta aksi yang ditangkap. Mereka juga mendesak Kompolnas untuk melakukan investigasi terhadap tindakan aparat Polres Seruyan. "Serta Komnas HAM agar melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polres Seruyan," ujarnya.
OHAN