Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Rakyat Luar Biasa menggelar People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat untuk mengadili pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi di Wisma Makara Universitas Indonesia atau UI, Depok, Jawa Barat pada Selasa, 25 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Gugatan yang mereka adili disebut sebagai sembilan dosa atau “Nawadosa” rezim Jokowi. Di antaranya soal perampasan ruang hidup, persekusi, korupsi, militerisme dan militerisasi, komersialisasi pendidikan, kejahatan kemanusiaan dan impunitas, sistem kerja yang memiskinkan, serta pembajakan legislasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mahkamah Rakyat merupakan peradilan alternatif yang dikenal dalam sistem demokrasi untuk menyelesaikan masalah hukum. Mahkamah Rakyat adalah gerakan yang berasal dari ketidakpercayaan masyarakat sipil terhadap kebijakan dan penegakan hukum yang diselenggarakan negara.
Ada sembilan hakim dalam sidang Mahkamah Rakyat ini. Salah satunya, Asfinawati. Ia juga menjabat sebagai Hakim Ketua. Asfinawati mengatakan, Presiden Jokowi terbukti memundurkan demokrasi dengan mengembalikan dwifungsi TNI-Polri, melemahkan lembaga dan gerakan pemberantasan korupsi, serta memberlakukan kembali konsep domein verklaaring dari masa kolonial. Konsep itu berarti tanah yang tidak bisa dibuktikkan kepemilkannya dengan surat, otomatis akan menjadi tanah negara.
Berikut Profil Asfinawati:
Asfinawati merupakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2021. Ia lahir di Bitung, 26 November 1976. Sebelum menjadi Ketua YLBHI, Asfinawati merupakan guru les piano. Namun, akhirnya berubah haluan menjadi pengacara publik.
Asfinawati dikenal sebagai advokat yang memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas dan para pencari keadilan. Perjuangan itu berasal dari pembacaannya saat membaca buku-buku kisah perjuangan para pembela keadilan yang ditekuni sejak belia bersama keempat saudaranya.
Alasan itu juga yang membuat Asfinawati memutuskan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Setelah lulus, ia bergabung dengan LBH Jakarta pada 1999.
Tahun pertama bergabung LBH Jakarta, perempuan yang kerap disapa Asfin ini menjabat sebagai asisten pengacara publik selama 9 tahun. Banyak kasus yang ditanganinya mulai dari isu perburuhan, sengketa tanah, kebebasan beragama dan berkeyakinan, hingga kekerasan seksual.
Asfin juga salah satu advokat yang menolak pengesahan UU Cita Kerja Omnibus Law. Asfin memandang rakyat akan dirugikan karena karena banyak ketidakjelasan peraturan dalam UU itu. UU itu juga menilai, Omnibus lebih berpihak kepada oligarki tapi tidak menguntungkan rakyat. Selain sebagai advokat dan direktur YLBHI, Asfin saat ini juga menjadi dosen di Jentera Law Scholl sejak 2015.
Pengalaman Kerja:
1999-2001: Sukarelawan di LBH Jakarta
2001-2003: Staf Divisi Ketenagakerjaan LBH Jakarta
2003-2005: Koordinator Divisi Riset LBH Jakarta
Januari-Agustus 2006: Koordinator Divisi Penanganan Kasus LBH Jakarta
Agustus 2006-2009: Direktur LBH Jakarta
2007-2009: Koordinator Divisi Hukum KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir)
2009-sekarang: Relawan pada KASUM
2015-sekarang: Dosen Jentera Law School
2020-2024: Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan Editor: YLBHI Duga Somasi Jadi Modus Baru Tekan Kebebasan Berpendapat