VONIS Perkara Pluit diharapkan jatuh minggu ini. Setelah Endang
Wijaya, kini duduk di kursi terdakwa berikutnya adalah seorang
bekas direktur Bank Bumi Daya (BBD), R.S. Natalegawa. Dari bekas
anggota direksi yang mengurus soal kredit ini diharapkan
kejelasan sekitar liku-liku pemberian kredit bagi PT Jawa
Building.
Untuk membangun Pluit -- mematangkan tanah dan membangun ribuan
rumah di bekas rawa-rawa di Jakarta Utara -- melalui Jawa
Building dan perusahaan lain, Endang Wijaya memperoleh kredit
BBD lebih Rp 14 milyar "secara melawan hukum". Hal itu mungkin,
menurut jaksa, karena Natalegawa dan anggota direksi yang lain
memberi kesempatan.
Mula-mula, 28 Februari 1974, tertuduh menyetujui pemberian
kredit bdgi perusahaan real-estate tersebut hampir Rp3,5 milyar.
Yaitu untuk pembangunan sekitar 650 rumah. Kredit diberikan BBD
dengan jangka waktu maksimum dua tahun, atau jangka menengah,
dengan persetujuan anggota direksi lain.
Sekitar akhir September 1974, lagi-lagi tertuduh menyetujui
permohonan kredit Endang Wijaya, dengan plafon lebih Rp 3
milyar. Begitulah, hingga kasus Pluit terbongkar menurut Jaksa
Bagio Supardi, Endang Wijaya selalu mendapat kemudahan
memperoleh kredit BBD.
Terselubung
Padahal, menurut jaksa lagi, peraturan Bank Indonesia (30 Juli
1973) telah melarang BBD memberikan kredit untuk proyek
real-estate seperti yang diminta Jawa Building. Bahkan, menurut
undangundang (UU 14/1967), tertuduh seharusnya tidak memberikan
kredit jangka menengah -- seperti yang diberikan kepada Endang
Wijaya. Sebab kredit jangka menengah hanya diberikan untuk
tujuan produksi. Penyimpangan hanya boleh atas persetujuan BI.
Tertuduh juga dianggap memberikan kredit "terselubung".
Misalnya, seperti yang pernah diberikan kepada PT Kulim
Pakanbaru sebesar Rp 500 juta. Padahal uangnya, menurut jaksa,
ternyata dipakai Endang Wijaya untuk Jawa Building dan
ditanamkan di Pluit juga.
Belum lagi kesempatan yang diberikan tertuduh kepada Endang
Wijaya untuk menarik uang melebihi plafon kredit atau overdraft.
Kemudahan seperti itu tak hanya sekali dilakukannya dan meliputi
jumlah milyaran rupiah untuk membangun sekitar 4000 rumah.
Padahal BI sudah lama melarang cara-cara overdraft. Rupanya,
menurut jaksa, tertuduh "sengaja tidak mematuhi" peraturan
tersebut.
Dari berbagai kemudahan yang diberikan kepada Jawa Building,
menurut jaksa, tertuduh menerima imbalan - baik diterima atas
namanya sendiri, istri, anak maupun saudaranya. Misalnya berupa
pinjaman alat-alat besar dan tenaga untuk membuat jalan di Desa
Megamendung di Cipayung (Jawa Barat).
Jaksa juga menunjuk rumah dan kios tertuduh yang dianggap
pemberian Endang Wijaya. Seperti rumah di Jalan Pluit Samudra
Raya No.9, Pluit Samudra III/4, Pluit Putra Kencana No.24 dan di
Taman Pluit Putra Kencana No. 19 dan 20. Semuanya tentu rumah
kelas wahid.
Jaksa menyimpulkan: Tindakan terdakwa secara langsung atau tidak
merugikan keuangan negara lebih Rp 14 milyar. Juga "dapat
mempengaruhi tugas BBD yang seharusnya diarahkan untuk perbaikan
perekonomian rakyat . . ." Semuanya dilakukan Natalegawa,
menurut jaksa lagi, untuk "memperkaya diri sendiri" dan Endang
Wijaya. Tentu saja jaksa merentangkan sejumlah pasal-pasal
kejahatan korupsi ke hadapan terdakwa.
Mempersulit?
Menarik bagi jaksa, yang mewakili negara melakukan penuntutan,
munculnya pembela dari bagian hukum BBD mendapingi terdakwa yang
dituduh merugikan negara dan "mempengaruhi tugas BBD" tersebut.
Di samping Pengacara Kho Gin Tjan dan Azwar Karim, memang
berdiri Irim Karim dan Ahlan Syarif, keduanya pejabat bagian
hukum BBD.
Jaksa Bagio mempertanyakan: "Apakah penugasan direksi kepada
pejabat BBD sebagai pembela terdakwa . . . ada hubungannya
dengan tugas dan kewajiban direksi dalam rangka menentukan
kebijaksanaan pengurusan bank?" Sebab, menurut jaksa,
undang-undang hanya membenarkan direksi BBD memberi kuasa kepada
pegawainya atau orang luar bila mereka sendiri tak bisa tampil
di pengadilan mewakili bank.
Sedangkan Natalegawa, menurut jaksa, justru dituntut oleh
negara, sehubungan dengan tuduhan melakukan tindak pidana yang
merugikan bank atau negara. Jaksa khawatir, kehadiran pejabat
BBD membela terdakwa, "akan mempersulit diperolehnya kebenaran
material dalam persidangan . . ." Maka ia menolak kehadiran
mereka di persidangan.
Atau BBD sendiri tak menganggap tindakan Natalegawa yang
menguntungkan Endang Wijaya sebagai suatu kesalahan?
"Tindakannya 'kan belum terbukti," sambut Advokat Kho Gin Tjan.
Namun, dengan turunnya kedua pembela tersebut, katanya "memang
berarti BBD sendiri masih ragu tentang kerugian yang dideritanya
akibat tindakan tertuduh. "
Akhirnya memang hakim yang memutuskan. Secara formal, menurut
majelis yang dipimpin Hakim Soedijono di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, para pembela dari BBD tersebut sudah memenuhi
syarat. Majelis berpegang pada ketentuan bahwa pegawai negeri
dan juga ABRI memang diizinkan membela di pengadilan asal
mendapat izin atasannya. Masalahnya, di samping Natalegawa,
perkara ini juga akan menampilkan bekas Dir-Ut BBD R.A.B. Massie
sebagai saksi -- meski tak berarti BBD yang tengah diadili.