Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Sebelum Ew, Kini Bekas Direktur

Bekas direktur bbd, r.s. natalegawa kini tampil sebagai terdakwa dalam kasus pluit. ia dituduh merugikan negara & mempengaruhi tugas bbd. ia didampingi pembela-pembela dari bagian hukum bbd. (hk)

11 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VONIS Perkara Pluit diharapkan jatuh minggu ini. Setelah Endang Wijaya, kini duduk di kursi terdakwa berikutnya adalah seorang bekas direktur Bank Bumi Daya (BBD), R.S. Natalegawa. Dari bekas anggota direksi yang mengurus soal kredit ini diharapkan kejelasan sekitar liku-liku pemberian kredit bagi PT Jawa Building. Untuk membangun Pluit -- mematangkan tanah dan membangun ribuan rumah di bekas rawa-rawa di Jakarta Utara -- melalui Jawa Building dan perusahaan lain, Endang Wijaya memperoleh kredit BBD lebih Rp 14 milyar "secara melawan hukum". Hal itu mungkin, menurut jaksa, karena Natalegawa dan anggota direksi yang lain memberi kesempatan. Mula-mula, 28 Februari 1974, tertuduh menyetujui pemberian kredit bdgi perusahaan real-estate tersebut hampir Rp3,5 milyar. Yaitu untuk pembangunan sekitar 650 rumah. Kredit diberikan BBD dengan jangka waktu maksimum dua tahun, atau jangka menengah, dengan persetujuan anggota direksi lain. Sekitar akhir September 1974, lagi-lagi tertuduh menyetujui permohonan kredit Endang Wijaya, dengan plafon lebih Rp 3 milyar. Begitulah, hingga kasus Pluit terbongkar menurut Jaksa Bagio Supardi, Endang Wijaya selalu mendapat kemudahan memperoleh kredit BBD. Terselubung Padahal, menurut jaksa lagi, peraturan Bank Indonesia (30 Juli 1973) telah melarang BBD memberikan kredit untuk proyek real-estate seperti yang diminta Jawa Building. Bahkan, menurut undangundang (UU 14/1967), tertuduh seharusnya tidak memberikan kredit jangka menengah -- seperti yang diberikan kepada Endang Wijaya. Sebab kredit jangka menengah hanya diberikan untuk tujuan produksi. Penyimpangan hanya boleh atas persetujuan BI. Tertuduh juga dianggap memberikan kredit "terselubung". Misalnya, seperti yang pernah diberikan kepada PT Kulim Pakanbaru sebesar Rp 500 juta. Padahal uangnya, menurut jaksa, ternyata dipakai Endang Wijaya untuk Jawa Building dan ditanamkan di Pluit juga. Belum lagi kesempatan yang diberikan tertuduh kepada Endang Wijaya untuk menarik uang melebihi plafon kredit atau overdraft. Kemudahan seperti itu tak hanya sekali dilakukannya dan meliputi jumlah milyaran rupiah untuk membangun sekitar 4000 rumah. Padahal BI sudah lama melarang cara-cara overdraft. Rupanya, menurut jaksa, tertuduh "sengaja tidak mematuhi" peraturan tersebut. Dari berbagai kemudahan yang diberikan kepada Jawa Building, menurut jaksa, tertuduh menerima imbalan - baik diterima atas namanya sendiri, istri, anak maupun saudaranya. Misalnya berupa pinjaman alat-alat besar dan tenaga untuk membuat jalan di Desa Megamendung di Cipayung (Jawa Barat). Jaksa juga menunjuk rumah dan kios tertuduh yang dianggap pemberian Endang Wijaya. Seperti rumah di Jalan Pluit Samudra Raya No.9, Pluit Samudra III/4, Pluit Putra Kencana No.24 dan di Taman Pluit Putra Kencana No. 19 dan 20. Semuanya tentu rumah kelas wahid. Jaksa menyimpulkan: Tindakan terdakwa secara langsung atau tidak merugikan keuangan negara lebih Rp 14 milyar. Juga "dapat mempengaruhi tugas BBD yang seharusnya diarahkan untuk perbaikan perekonomian rakyat . . ." Semuanya dilakukan Natalegawa, menurut jaksa lagi, untuk "memperkaya diri sendiri" dan Endang Wijaya. Tentu saja jaksa merentangkan sejumlah pasal-pasal kejahatan korupsi ke hadapan terdakwa. Mempersulit? Menarik bagi jaksa, yang mewakili negara melakukan penuntutan, munculnya pembela dari bagian hukum BBD mendapingi terdakwa yang dituduh merugikan negara dan "mempengaruhi tugas BBD" tersebut. Di samping Pengacara Kho Gin Tjan dan Azwar Karim, memang berdiri Irim Karim dan Ahlan Syarif, keduanya pejabat bagian hukum BBD. Jaksa Bagio mempertanyakan: "Apakah penugasan direksi kepada pejabat BBD sebagai pembela terdakwa . . . ada hubungannya dengan tugas dan kewajiban direksi dalam rangka menentukan kebijaksanaan pengurusan bank?" Sebab, menurut jaksa, undang-undang hanya membenarkan direksi BBD memberi kuasa kepada pegawainya atau orang luar bila mereka sendiri tak bisa tampil di pengadilan mewakili bank. Sedangkan Natalegawa, menurut jaksa, justru dituntut oleh negara, sehubungan dengan tuduhan melakukan tindak pidana yang merugikan bank atau negara. Jaksa khawatir, kehadiran pejabat BBD membela terdakwa, "akan mempersulit diperolehnya kebenaran material dalam persidangan . . ." Maka ia menolak kehadiran mereka di persidangan. Atau BBD sendiri tak menganggap tindakan Natalegawa yang menguntungkan Endang Wijaya sebagai suatu kesalahan? "Tindakannya 'kan belum terbukti," sambut Advokat Kho Gin Tjan. Namun, dengan turunnya kedua pembela tersebut, katanya "memang berarti BBD sendiri masih ragu tentang kerugian yang dideritanya akibat tindakan tertuduh. " Akhirnya memang hakim yang memutuskan. Secara formal, menurut majelis yang dipimpin Hakim Soedijono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, para pembela dari BBD tersebut sudah memenuhi syarat. Majelis berpegang pada ketentuan bahwa pegawai negeri dan juga ABRI memang diizinkan membela di pengadilan asal mendapat izin atasannya. Masalahnya, di samping Natalegawa, perkara ini juga akan menampilkan bekas Dir-Ut BBD R.A.B. Massie sebagai saksi -- meski tak berarti BBD yang tengah diadili.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus